MYTH

MYTH

MYTH

Oleh : Veronica Za

 

Haruskah aku mengingkarinya dan menyakiti orang yang kusayang? Ataukah mempercayainya demi aturan yang sudah mendarah daging dan melekat dalam hukum tak kasat mata?

Aku menatap wajah Ibu yang terlihat pucat saat memaparkan perbuatan adikku. Air mata mulai mengalir di pipi Ibu yang keriput termakan usia. Aku hanya terdiam. Entah perasaan apa yang kini menghinggapiku, tapi satu hal yang aku yakini dan itu bukanlah penyesalan. Aku tersenyum melihat bayi mungil yang baru saja dilahirkan Sasha sore tadi.

Masih teringat jelas tangis dan permohonan yang diajukan Sasha malam itu. Ia bersama seorang lelaki mendatangi kontrakanku yang berada di Jakarta. Dua orang itu meminta izinku untuk menikah lebih dulu. Tentu aku terkejut. Pasalnya, aku adalah seorang gadis yang sama sekali belum menikah, bahkan pacar pun aku tiada.

Meskipun aku tak begitu memegang adat di daerah asal kami, tetapi aku tahu itu tak diperbolehkan. Akan ada masalah dalam pernikahan adikku kelak atau lebih parahnya, aku akan menjadi perawan tua seumur hidup. Aku tak ingin itu terjadi.

“Aku hamil, Kak!” Satu kalimat yang menjelaskan semua aksi nekat adikku itu. “Sudah dua bulan, dan aku tidak mau jika Ibu tahu soal ini. Aku tak ingin membuatnya kehilangan muka. Jika Kakak mengizinkan, malam ini juga kami menikah secara agama.”

Aku bergeming. Kabar ini terlalu mendadak dan aku tak mampu langsung mencernanya. Akhirnya, aku hanya mengangguk pasrah. Malam itu, tangisanku teredam bantal membayangkan akan semakin jauh jodoh yang akan menghampiriku nantinya.

 ***  

Lima kali Idul Fitri aku lewati di Ibukota. Rasa rindu pada Ibu terkubur bersama rasa enggan mendengar rentetan pertanyaan dan nyinyiran keluarga di desa. Biasanya Ibu yang datang menjenguk dan menetap beberapa lama. Seandainya Ayah masih hidup, mungkin cibiran keluarga besar tak akan begitu menjadi beban.

“Apa kamu belum mau menikah, Nduk?” tanya Ibu saat sama-sama menikmati lembayung senja di kota besar ini.

“Bukannya belum mau, Bu. Tapi memang belum ada jodohnya,” jawabku lembut. Aku tak ingin melukai hati wanita yang berjasa besar di hidupku itu.

“Bagaimana hubunganmu dengan Nak Romi?” 

“Berakhir, Bu. Kami punya tujuan yang berbeda dan tak ada solusi lain. Mungkin belum berjodoh.”

“Apa mungkin ini akibat dari adikmu yang melangkahimu, ya, Nduk? Apalagi bulan lalu Nak Dodi sudah datang melamar adik keduamu itu dan berencana menikah akhir tahun ini,” suara Ibu bergetar.

Aku tahu Ibu pasti khawatir dengan pernikahanku. Di usiaku yang menginjak 30 tahun tetapi masih melajang, sedangkan adik bungsuku yang terpaut lima tahun denganku malah sudah menemukan jodohnya.

“Entahlah, Bu. Aku masih meragukan mitos itu sampai sekarang. Kalaupun benar adanya, aku ikhlas!” Senyum mengembang di wajahku demi menghilangkan kekhawatiran Ibu.  

Aku ikhlas jika seumur hidupku tanpa pendamping, asalkan aku tidak menjadi penghambat kebahagiaan adik-adikku.

***

Suasana riuh di luar kamar terdengar sangat jelas di telingaku. Tawa dan canda mewarnai pagi ini. Keluarga besar sudah bersiap menyambut kehadiran pihak mempelai lelaki.

“Akhirnya si bungsu sudah menemukan imamnya,” godaku seraya mengedipkan sebelah mata. Senyum jahilku membuatnya merona. Vina, adik keduaku bersiap dengan pernikahannya. Kentara sekali aura kebahagiaan di wajahnya. 

“Aku tetap merasa bersalah sama Kakak.”

Aku menggeleng pelan. “Mungkin ini sudah jalan-Nya. Percaya, deh, sama Kakak!”

“Terima kasih, Kak!” Kami berpelukan. Jauh-jauh hari aku sudah berpesan padanya supaya jangan ada air mata hari ini.

“SAH!” suara para saksi menggema hingga ke kamar kami. Prosesi ijab kabul sudah berjalan tanpa hambatan. Aku merapikan sedikit riasan pada wajah Anisa dan kembali memeluknya.

Suara ketukan pintu mengurai pelukan kami. Ibu datang menjemput Anisa untuk bertemu suaminya di hadapan penghulu. Wajah tuanya menyiratkan seribu arti yang hanya beliau ketahui seorang diri.  

“Kita keluar sekarang, Nis,” ajak Ibu seraya berjalan mendekat ke arah kami. Anisa tersenyum dengan begitu cantiknya. Ini hari bahagianya, tentu saja.

Ibu dan Anisa berjalan keluar meninggalkan aku sendirian di dalam kamar. Aku memasukkan beberapa alat kosmetik yang berceceran di meja ke dalam kotak. Tiba-tiba, sebuah lipstik menggelinding tersenggol lenganku tanpa sengaja. Aku berjongkok untuk mengambilnya, tetapi kalah cepat dengan tangan seseorang di hadapanku. Aku mendongak, penasaran.

“Ayo, kita juga keluar, Sayang!” Uluran tangannya kusambut dengan senyuman.

Lelaki itu Romi, suamiku sejak enam bulan yang lalu. Satu bulan setelah keputusan kami untuk berpisah, ia datang bersama orangtuanya ke rumah Ibu. Aku tak menyangka perpisahan malah menjadi jembatan bagi kami untuk melangkah ke jenjang pernikahan yang terlaksana tak lama kemudian.

Jadi, masih percaya?(*)

 

Tangerang, 14 Juli 2019

 

Veronica Za, seorang Ibu dari dua anak mungil sekaligus yang hobi menulis. Hingga saat ini masih mencoba mengejar mimpi. bisa dihubungi via surel veronica160.vk@gmail.com dan FB dengan nama yang sama.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

Leave a Reply