Kue dan Rencana Bunuh Diri
Oleh : Imas Hanifah N.
Hari ini, adalah minggu kedua Danu berpikir untuk melakukan bunuh diri. Berhari-hari dalam kegamangan, kini ia merasa mantap untuk melakukan hal itu. Semua kesedihan sudah terakumulasi dan mencapai puncak. Ia lelah dan ingin semuanya benar-benar berakhir.
Dari balkon lantai tujuh belas apartemennya, Danu hendak melompat. Keputusan itu sudah bulat. Segera, ia mengangkat satu kakinya.
Namun, suara ketukan pintu menghentikan Danu. Ia kembali masuk ke kamar. Membuka pintu demi mendapati seorang gadis polos asing, tersenyum. Gadis yang tampak sangat kurus itu menyodorkan kantung kresek, entah apa isinya.
“Ini, kue. Saya disuruh ibu saya, Bu Jumarni, untuk antarkan,” ujarnya ragu-ragu.
“Tapi, saya tidak pesan ….”
Danu tahu betul, Bu Jumarni yang tinggal di sebelahnya adalah seorang pembuat kue.
“Bukan, ini bukan untuk dibeli. Ini tidak usah dibayar.”
Danu terdiam. Bu Jumarni memang baik. Danu juga baru tahu kalau Bu Jumarni punya anak perempuan yang lumayan cantik.
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Kemudian, gadis itu berlalu. Danu memandang bungkusan kue di tangannya lama-lama. Tak ada salahnya. Ya, tak ada salahnya memakan kue sebelum ia mati. Terdengar konyol memang. Akan tetapi, Danu sedang merasa lapar. Saat ia membukanya, kue itu mengingatkannya pada seseorang. Kue Bika Ambon. Dulu sekali, saat ia masih kecil, pernah mendapatkan pertanyaan dari pamannya, tentang berasal dari mana kue tersebut. Danu dengan polosnya mengatakan tentu saja, Bika Ambon itu asalnya dari Ambon. Dan jawabannya salah besar. Pamannya menyanggah sambil tertawa.
“Bika Ambon itu, dari Medan. Haha.”
Danu kesal sekali saat itu. Sampai-sampai, ia tak mau bicara lagi dengan pamannya seharian. Danu merasa dipermalukan. Masa itu, masa yang pernah sangat dirindukan oleh Danu sekaligus disesalkannya. Bahkan keluarga pun terasa jauh dan asing.
Tak terasa, ia hampir menghabiskan kue dari Bu Jumarni.
Kuenya ternyata sangat enak. Melebihi ekspektasi Danu sendiri. Sebelumnya, jujur saja, ia bukanlah seseorang yang menyukai makanan manis. Namun, entah kenapa, kue di depannya, terasa sangat enak saat ini.
Danu melihat ke arah balkon. Sekarang, setelah menghabiskan kue, ia merasa tidak tertarik lagi untuk bunuh diri. Semudah itukah? Danu mempertanyakan keyakinannya sendiri. Keyakinan bahwa bunuh diri adalah hal terbaik yang seharusnya sudah ia lakukan sejak lama. Danu merasa malu pada diri sendiri. Meski begitu, ia masih berharap, bahwa hasratnya untuk mengakhiri hidup akan muncul kembali. Ya, kebahagiaannya kini, kebahagiaan tentang gadis cantik yang mengantarkan sekotak kue enak hanyalah sesuatu yang sangat sesaat. Maka, mungkin, Danu berpikir, ia akan bunuh diri, besok saja.
***
Hari yang cerah, sepulang dari kantor, Danu sedikit canggung menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bu Jumarni. Mengingat, ia memang jarang bersosialisasi dengan penghuni lain.
“Tak apa, Nak Danu. Nak Danu sendiri sudah sangat baik, pernah mengantarkan saya ke rumah sakit saat itu. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan Nak Danu.”
Danu terdiam sesaat mendengar apa yang dikatakan oleh Bu Jumarni. Ia mulai mencoba mengingat apa yang pernah dilakukannya.
“Ah, Nak Danu mungkin sudah lupa. Itu, setahun lalu, dulu anak saya, Dina sakit keras. Lihat saja badannya. Kurus sekali. Waktu Nak Danu mengantar saya, Dina sedang kritis. Saya panik.”
Danu tersenyum tipis, “Sekarang, sudah sembuh ya?”
Bu Jumarni menggeleng, “Semoga. Mudah-mudahan. Kada dokter, perkembangannya terus membaik.”
“Ah, memangnya, Dina itu, sakit apa, Bu?”
“Kanker.”
Seketika Danu menelan ludah. Terlalu banyak cerita-cerita mengenai penyakit yang dikatakan oleh Bu Jumarni. Semua kengerian yang terlintas di pikiran Danu, semuanya tentang penyakit mematikan tersebut.
“Semoga, Dina selalu baik-baik saja. Saya permisi, ya, Bu.”
Bu Jumarni mengangguk. Danu beranjak pergi. Ketika ia beristirahat dan matanya tak sengaja melihat ke balkon, ia merasa bahwa hasratnya untuk mati belum benar-benar muncul. Bahkan, keinginan itu perlahan terkikis.
Sekali lagi, Danu meyakinkan. Danu meyakinkan dirinya sendiri, bahwa mungkin saja, besok akan ada badai kesedihan seperti hari-hari lalu. Badai kesedihan yang mungkin saja, mampu membangkitkan keinginannya untuk bunuh diri lagi.
Danu terpejam. Semua bayangan menyakitkan kembali menari-nari. Kematian kedua orang tua, perselisihan dengan Tomi, adik satu-satunya, dan kenyataan bahwa ia tak kunjung menemukan tambatan hati. Semuanya terasa menyesakkan jika diratapi. Danu menikmatinya dan memang ingin rasa sakit yang lebih.
“Ah, memangnya, Dina itu, sakit apa, Bu?”
“Kanker.”
Percakapan dengan Bu Jumarni kembali terngiang. Danu merasa lucu. Ia bahkan tak pernah terpikir sama sekali kalau apa yang pernah dilakukannya kepada Bu Jumarni merupakah suatu hal yang penting.
Apakah ini cara Tuhan menghentikannya?
Bahkan, keesokan harinya, dan keesokan harinya lagi, badai kesedihan yang sangat diharapkan oleh Danu tidaklah muncul.
“Nak Danu, ini kue lagi.”
Dengan riang, Danu menerima kotak kue tersebut. Ia membawanya ke dalam kamar dan memakannya dengan lahap. Kali ini, hampir setiap minggu, Danu memesan kue dari Bu Jumarni. Kadang-kadang, ia juga bercengkrama dengan Bu Jumarni atau Dina. Perlahan, kesedihan demi kesedihan lenyap. Danu masih menatap balkon lama-lama. Niatnya untuk melompat masih ada. Namun, tidak sebesar beberapa waktu yang lalu. Sekarang, ia mulai memotivasi dirinya sendiri untuk melupakan setiap kesedihan.
Kue yang enak, Bu Jumarni yang mengingatkan betapa berartinya yang pernah Danu lakukan. Serta keramahan mereka, telah mengubah hari-harinya.
Dan suatu hari, saat kesedihan demi kesedihan melebur, Tomi datang dalam keadaan mabuk. Apartemennya mendadak bau alkohol. Danu hanya memandangi adiknya itu dengan tatapan menyedihkan. Perselisihannya selama bertahun-tahun, kembali menguar. Bayangan masa-masa kelam memenuhi ingatannya. Tomi, pemuda bengal itu, tak pernah mau mendengarkan Danu walau pun sebentar.
Sampai Tomi tersadar, ia hanya meminum segelas air putih dan pamit pulang. Sebuah kemajuan yang mengejutkan. Karena sebelumnya, Tomi bahkan tak pernah mengatakan apapun kecuali kalimat-kalimat kasar.
“Ada masalah, Tom?”
Baru beberapa langkah, Tomi berhenti. Danu sedikit takut, menerka-nerka jawaban kasar dari sang adik.
“Cuma masalah biasa. Nanti lebaran haji, paman bilang kita mesti kumpul di Surabaya.”
“Oh, iya.”
Danu menjawab pendek. Setelah itu, ia hanya melihat adiknya berlalu mengendarai mobil. Danu menarik napas panjang. Adiknya berubah. Semua terasa berbeda sekarang.
Dinginnya udara pagi, tak membuat Danu ingin kembali ke tempat tidur. Ia justru berjalan ke balkon. Menatap jauh ke depan dan kemudian melihat ke bawah. Perlahan, Danu tersenyum dan menangis.
Ia telah mengambil keputusan yang tepat. Tuhan telah menyelamatkan dirinya. Lewat Bika Ambon dan kenangan. Sedetik saja anaknya Bu Jumarni terlambat mengetuk pintu apartemennya, maka selesai sudah. Mungkin, ia tak akan pernah mendapatkan begitu banyak kebahagiaan.
Danu mengerti sekarang. Tak ada yang selamanya bersedih atau selamanya bahagia. Keduanya datang silih berganti, berebut ruang dan waktu. Seperti itu, selamanya akan selalu seperti itu.
Tasikmalaya, 2019
Imas Hanifah Nurhasanah. Wanita kelahiran 22 tahun silam ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Ia juga menyukai jus alpukat, kucing dan kelinci. Ia bisa dihubungi via sosial media di Facebook: Imas Hanifah N atau IG: @hanifah_bidam.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata