Penulis: Yunita Sari
Aku yakin, seandainya ia kuasa memutar waktu, tentu ia akan mengulang kejadian 20 tahun yang lalu. Agar ia mampu memusnakan bayangan kelabu tentang penyesalan tak berkepanjangan. Penyesalan tentang seseorang yang paling ia sayang. Bukan soal kematian yang ia tangiskan setiap malam, karena ia telah meyakini kontrak hidup masing-masing orang berbeda, kita akan meninggalkan dunia saat waktunya tiba. Bukan, bukan itu melainkan tentang perkara sepele yang tak sempat dicicipi oleh orang yang ia tangisi setiap malam.
***
“Oi homiku, alangke lemak e kalu musim ujan kak kite makan gulai pindang ikan. Acacam alangke lemak e, kalu banyak dapat ikan pacak dipais tempoyak pule. Dem lame nian ku nak makan e1.”
“Ao nian homaku, amen cak tu isuk ku nak mancing hape tau cak dapat ikan benyak2.” Aku asik mengerjakan PR malam itu, namun sayup-sayup kudengarkan percakapan Umak3 dan Bak4. Mungkin Bak akan memancing lagi besok.
***
“Homaku sayang, buatke kopi. Dem kak ku nak mancing5,” kata Bak pada Umak. Aku baru saja meletakkan seragam SMP-ku saat kudengar percakapan mereka.
“Ai homiku, ngopi tulah nga kak, subuh tadi dem ngopi. Sebelum beumeh tadi lah ngopi. Sekarang baru tengah ahai lah nak ngopi lagi? 6” repet umak. Entah mengapa umakku malas sekali beranjak dari ranjangnya. Padahal setahuku ia paling senang membuatkan kopi untuk Bak, ia pun sangat menikmati aroma kopi beradu gula yang melebur bersama tersiram air panas. Mungkin saja suasana gerimis sepanjang hari ini telah menggodanya untuk menarik selimut daripada membuatkan kopi untuk suaminya itu.
“Ayo lah homaku, mbai nga enggan nian buat kopi untuk homi nga kak. Ku nak minum kopi buatan nga nian. Ayo lah sayang7.” Bak merayu lagi. Perempuan yang dirayunya tak menjawab lagi, lalu ia pun memutuskan untuk pergi memancing tanpa berpamitan seperti biasanya. Sepertinya ia merajuk. Kulihat Umak semakin enggan beranjak, matanya justru hendak terpejam. Hanya mulutnya saja yang aktif bersuara. Setelah beberapa saat rupanya Umak berubah pikiran
Aku hanya diam saja menyaksikan perselisihan kecil itu. Biasa terjadi di rumah. Sesekali Bak merajuk pada Umak, tapi lebih sering Umaklah yang merajuk.
“Dem ai nga kak manje nian, buat dewek ai. Dak pacak nian nengok homa nga tido siang8.” Sambil mengoceh Umak terus menuju dapur, ujung-ujungnya tetap saja dibuatkannya kopi untuk suaminya. Dengan bergegas dibawanya air kopi yang sudah dibuat dengan setengah terpaksa. Namun ternyata dia mendapati suaminya sudah berlalu sebelum ia sempat menyuguhkan kopi panas itu padanya.
***
Kulihat Umak nampak asik menggoreng opak ubi9, umak pasti tahu Bak merajuk. Jika begini ia pasti akan meminta maaf sambil menyuguhkan opak ubi dan kopi panas untuk Bak. Selalu begitu, ia pun pasti akan duduk di samping bak, memijit badan Bak yang lelah setelah seharian bekerja. Dan Bak, marahnya takkan pernah bisa lama jika telah terhidang kopi beserta opak ubi kesukaannya, biasanya Bak akan langsung luluh hatinya.
“Umak Rezaaa! Oi umak Reza! Cepatlah keleho! 10” pekik tetanggaku.
“Mbai wak, umak lagi didapo?11” kataku bingung. Umak langsung menyusul ke depan rumah. Aku semakin bingung banyak orang berdatangan ke rumahku.
“Homi nga! Homi nga! Tenggelam gok ayo kelingi12.”
“Wang benyak negah ye mancing, ayo dang dalam nya tapi ye makso nya. Ye dak selamat. Rudi kuat e mancing juge tenggelam pas nak nolong homi nga. Tapi ye pacak berenang13.”
Aku sudah tak tahu apa yang terjadi, tiba-tiba pandanganku kabur lalu perlahan menghitam. Saat aku siuman, jenazahnya sudah siap dikuburkan. Tubuhku lemah lunglai, tak berdaya tapi aku harus tetap kuat demi Umak, ia pasti lebih terluka dan semakin merasa bersalah karena kejadian siang tadi, ia terus saja menyesali diri.
***
Umak selalu terlihat murung sejak kepergian Bak. Ia menjadi aneh sekarang. Tak pernah lagi kulihat kopi terhidang di rumah kami. Umakku itu seperti alergi kopi, seolah memutuskan untuk mengharamkan kopi di rumah ini. Entahlah, padahal Umak dan Bak selalu suka minum kopi apalagi di saat musim buah durian, Umak akan mencampur kopi dengan durian. Umak bahkan berhenti menjadi petani kopi dan karet, menjual semua kebun kopi kami. Untung saja kebun durian tak sampai dijualnya, ia juga memutuskan beralih profesi menjadi pedagang. Sungguh heran aku memikirkannya.
Sebagai seorang pedagang Umak terbilang sukses, usaha umak terus beranak pinak. Setelah memutuskan menjual semua kebun kopi kami, umak membeli sawah untuk dibajak dan dikelola oleh orang kepercayaannya. Sawahnya berhektar-hektar di Merasi. Umak juga membuka kios di pasar pemiri Lubuklinggau, membangun ruko di Taba Jemekeh. Untuk kemudian disewakan. Kehidupan kami semakin mapan, tapi tak sekalipun umak berniat untuk menikah lagi. Setiap Jumat ia selalu mengunjungi makam Bak. Membawa seikat bunga sepatu kesenangan Bak, menangis, lalu pulang. Sampai kini aku tak pernah absen menemaninya ke makam Bak.
Aku kini telah beranjak dewasa, kepiawaian Umak dalam berbisnis menurun kepadaku. Di umurku yang terbilang muda, aku selalu ingin mencoba banyak hal. Sejak kecil aku selalu bercita-cita menjadi pengusaha seperti Umak. Aku memulai usaha kecil-kecilan. Tanpa sepengetahuan Umak, aku menumpang di rumah temanku. Aku tahu setelah kepergian Bak, Umak pasti menentangku jika aku menyeduh kopi. Jangankan menjadi pengusaha kopi, menyebut nama kopi saja dilarang dirumah ini. Aku melakukannya supaya bisa belajar meracik kopi duren yang dulu sering dibuatkan oleh Umak unttuk Bak saat beliau masih hidup. Ternyata, banyak orang yang suka dengan kopi duren racikanku. Aku pun mulai menjualnya. Tapi kendalanya, aku tidak selalu bisa membuat kopi duren setiap waktu karena duren adalah buah musiman. Dari situlah aku berpikir membuat kopi duren yang tahan lama. Idenya, menjadikannya bentuk bubuk supaya praktis dan bisa dibawa ke mana-mana.
Jadilah kini usahaku terbilang sukses. Meski tak pernah berkomentar apa-apa, aku tahu Umak pasti bangga kepadaku. Kulihat Umak tersenyum saat bapak walikota menganugerahi aku sebagai pengusaha muda tersukses di Lubuklinggau. Usaha kopiku sangat didukung oleh beliau. Aku berhasil mengubah kenangan menjadi kemenangan. Umak tak menolak saat aku memintanya menyicip kopi durenku. Sejenak ia memejamkan matanya, kemudian tanpa terasa air matanya mulai menganak sungai di kedua sudut matanya.
***
Jumat kali ini terasa berbeda. Umak bukan hanya membawa seikat tapi dua ikat bunga sepatu. Seperti biasa aku selalu setia menemani Umak mengunjungi makam Bak. Selesai memimpin doa, aku dan Umak pun berdoa sendiri-sendiri. Lambat-lambat suara lirih itu makin membesar. Kukedipkan sebelah mataku, sedangkan yang satunya melirik ke arah sumber suara itu.
“Homiku ahai kak ku unde due ikat bunge, hikok tande cinteku ngen nga hikok gi tande sukses anak kite jedi pengusaha kopi duren. Ku minte maaf nian Sayang, hampai harang ku kempunan dak cak muat kopi terakhir yang nga mintek”14.(*)
Catatan kaki:
- “Oi suamiku, alangkah nikmatnya jika saat musim hujan seperti ini kita makan gulai pindang ikan. Alangkah nikmatnya, jika banyak dapat ikan, bisa dipepes tempoyak juga. Sudah lama sekali aku ingin memakannya.”
- “Iya benar istriku, kalau seperti itu besok aku akan memancing siapa tahu bisa dapat banyak ikan.”
- Ibu
- Bapak
- “Istriku sayang, buatkan kopi. Setelah ini aku akan memancing.”
- “Aduh suamiku, ngopi terus kamu ini, padahal subuh tadi sudah ngopi. Sebelum ke kebun tadi juga sudah ngopi. Sekarang baru siang hari sudah mau ngopi lagi?”
- “Ayolah istriku, kenapa kamu tidak ingin membuatkan kopi untuk suamimu ini. Aku mau minum kopi buatan kamu. Ayo lah sayang.”
- “Sudah lah kamu ini manja sekali, buat sendiri saja. Seperti tidak rela melihat istri tidur siang.”
- Kerupuk ubi
- “Cepatlah keluar.”
- “Kenapa, Wak, Ibu sedang di dapur?”
- “Suamimu! Suamimu tenggelam di sungai kelingi.”
- “Orang banyak mencegahnya memancing, air sedang dalam (deras) tapi ia memaksa. Ia tidak selamat. Rudi kawannya mancing juga tenggelam saat akan menolong suamimu, tapi dia bisa berenang.”
- “Suamiku hari ini aku membawa dua ikat bunga sepatu, satu tanda cintaku padamu satu lagi tanda sukses anak kita jadi pengusaha kopi durian. Aku sungguh minta maaf Sayang, sampai sekarang aku kempunan tidak bisa membuatkanmu kopi terakhir yang kamu minta.”
Yunita Sari, menetap di Lubuklinggau (Watervang).