Tentang Masa Tua
By: Reza Agustin
Berapa darsa telah berlalu begitu saja, waktu seakan tak mengizinkan diriku untuk melupa tentang kisah lama kita. Tentang setiap langkah yang tercipta saat kita sama-sama menyusuri tepi danau Sarangan. Suhu yang dingin seakan tak dirasa oleh telapak tangan yang saling berkaitan. Terhangatkan oleh sejuta senyum dari bibirmu kala itu.
Namun waktu juga yang membuat kita melebarkan jarak tiap kali bersua. Kita masih hidup dalam satu atap yang sama, memiliki buah hati yang telah sepenuhnya beranjak dewasa. Ia telah meninggalkan timanganmu yang hangat untuk membuat sebuah keluarga kecil baru.
Tak ada alasan mengapa aku harus meninggalkan dirimu yang mulai menua. Rambut hitam panjangmu yang dulu tergelung sempurna telah memutih. Tangan-tanganmu yang dulu halus mulai mengering, saat tanganmu terjulur untuk mengambil setangkai mawar merah yang aku letakkan di samping nakas. Tak ada senyum pada wajahmu. Entah mengapa.
“Bukannya aku ingin memulai perkara. Namun, bukankah kita sudah sama-sama bosan? Sudah tiga puluh tahun lebih kita menikah. Tentunya kau tahu sendiri mengapa aku sudah tak punya hasrat padamu,” ujarmu kala itu, tak ada nada yang ditinggikan dalam suaramu.
Kau sudah kehilangan kehangatan itu dalam dirimu. Seperti bagaimana diriku yang tak bisa lagi menemukan keindahan dalam dirimu. Kita sama-sama sudah tak bisa menemukan getaran cinta itu dalam diri masing-masing. Waktu telah merenggut semua keindahan tersebut.
“Lalu apa yang membuatmu bertahan denganku jika kita sudah tidak mempunyai alasan untuk hidup bersama?” tanyaku datar.
Bibirmu terkulum, wajahmu tertunduk. Seharusnya kami saling tahu jawabannya.
“Apa kata orang kalau kita bercerai di usia tua?”
Jawaban itu yang satu-satunya alasan masuk akal atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kendati begitu aku masih menyimpan keraguan. Aku tak tahu akan seperti apa hari esok ketika pertama kali membuka mata dan mendapati wajahmu yang lelah berada di sana. Apakah akan kukecup keningmu yang penuh kerutan? Ataukah aku akan membawamu kembali pada pelukan hangat untuk menepis dingin?
“Aku yakin sekarang kita sudah sama-sama paham, bahwa di waktu tua ini kita hanya menjadi teman untuk menunggu ajal menjemput. Maka kau juga harus terbiasa bahwa aku tetap berada di sini, di rumah ini,” ujarmu lagi. Senyum yang dulu merekah indah kini tak dapat aku temukan di sana.
Matahari telah kembali ke peraduan, menyisakan cahaya lampu yang menggantung pada langit-langit rumah. Satu hari telah berlalu begitu saja dengan percakapan kami yang selalu tak jauh berbeda. Saling menanyakan kenapa kami tertahan satu sama lain. Azan yang berkumandang memecah gelap segera membuatku bergegas untuk memenuhi panggilan-Nya.
“Kalau begitu aku juga tak bisa berbuat apa-apa lagi. Bila esok datang, perlakuan saja aku seperti seorang tamu. Tak lebih,” pamitku lirih.
Entah bagaimana esok hari, aku tak pernah berpikir untuk mengakhiri segala kikuk di antara kami. Biarkan saja hari berjalan seperti biasanya. Esok dan esoknya lagi.
END
Reza Agustin, pecinta kucing dan hallyu. Kunjungi wattpad: @reza_summ08 dan Instagram: @reza_minnie.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata