Anak dan Anak
By: Reza Agustin
“Sampai kapan Ibu akan terus begini? Dua belas udah terlalu banyak. Ibu mau tambah satu lagi. Apa Ibu enggak merasa nanti akan menyulitkan?” Suamiku gusar hari ini. Kondisi finansial kami masih normal seperti biasanya. Dari dua belas, tiga di antaranya telah bekerja, sisanya masih berkuliah. Tiga anak yang telah bekerja pun sering mengirim uang untukku dan membantu anak-anak yang lain. Apa yang salah?
“Setiap anak udah ada rezekinya sendiri-sendiri, Pak. Udah kewajiban Ibu buat mendukung apa cita-cita mereka, ‘kan? Sekolah tinggi-tinggi, supaya dapat kerjaan bagus,” balasku datar.
“Ibu enggak capek? Tiga belas, lho, Bu. Buat bikin tim sepak bola masih ada dua sisanya jadi pemain cadangan,” sanggah suamiku lagi.
“Ya, enggak apa-apa. Cuma tiga belas, kalau Bapak maunya bikin tim suporter juga boleh, kok.” Aku tersenyum jahil, membuat suamiku mengelap keringatnya makin resah.
***
“Jadi, kamu selama ini kamu tinggal di sini?” lirihku, sembari meremas jemarinya yang mungil dan kurus. Takut jika suaraku yang terbiasa nyaring akan meruntuhkan dinding anyaman bambu yang telah merapuh.
“Iya, Bu,” jawabnya tak kalah lirih. Pandangannya berkabut masih tertangkap dalam keremangan. Kendati hanya lampu tempel satu-satunya pencahayaan, akan tetapi kilau air matanya tertangkap oleh mataku.
Bibirku terkulum dalam, mungkin melukai bagian dalamnya. Ada anyir yang terkecap lidah saat menyadari betapa nelangsanya dunia kecil Rahma. Usianya masih sangat belia, dua belas. Terancam tak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ia ditinggalkan bersama rumah reyot yang nyaris rubuh ini selama berminggu-minggu oleh sang ibu. Satu-satunya anggota keluarga yang ia punyai. Dari bibir pedas para tetangga, Ibu Rahma memang bukan wanita baik-baik. Hamil tanpa suami, bekerja sebagai pemandu di karaoke, dan sekelebat kabar bahwa sekarang wanita itu melacur.
“Gimana cara kamu bertahan hidup selama ini?”
“Bantuan tetangga, Bu. Selama ini saya mengemis hidup dari mereka. Kalau saya enggak dapat uang dari mereka, saya enggak bisa sekolah.”
Ah, itukah yang membuat ia absen berhari-hari tanpa kabar. Sayang sekali, ketika gadis cerdas seperti Rahma harus menghabiskan hari-harinya di bawah atap yang bolong dan renyah. Sewaktu-waktu atap itu akan ambruk, mengingat hujan dan angin sedang tidak akur belakangan ini.
“Kamu mau tinggal sama Ibu? Kebetulan Ibu lagi sepi, anak-anak Ibu udah pada merantau semua buat kuliah sama kerja. Mau, ya? Nanti biaya sekolahmu biar Ibu yang tanggung,” tawarku padanya.
Kegundahanku tentang Rahma yang tak kunjung masuk sekolah diawali beberapa minggu yang lalu. Kursi yang harusnya diduduki Rahma lagi-lagi lompong. Teman-teman sekelasnya tak menunjukkan banyak simpati. Mereka masih sekolah dasar, kepekaan sosial mereka masih rendah. Terlebih lagi Rahma bukan tipe periang yang dengan mudah bergaul. Jikalau ada waktu senggang, ia akan menghabiskan waktu di perpustakaan daripada berlari-lari di lapangan. Seakan menarik diri anak-anak sebayanya.
Iya, Bu. Rahma mau, balasnya berurai air mata. Tubuh mungilnya kurengkuh erat-erat. Kuusap kepala dan wajahnya pelan, menghapus air mata yang membasahi wajah polos Rahma.
Kalau begitu sekarang kita pulang ke rumah Ibu, pungkasku haru. Bahkan mataku ikut memburam, ikut bahagia atas keputusannya.
“Rahma senang Bu Guru mau menampung Rahma,” ujarnya lagi saat kami telah berada di atas mobil.
“Sudah jadi kewajiban Ibu sebagai pendidik buat jadi orangtua kedua bagi murid-murid Ibu.”
***
Halaman rumah ramai. Wajah-wajah familier itu menyambut dengan senyuman lebar nan hangat.
“Ibu!” Mereka menghambur padaku, bergantian mencium tangan. Mataku melirik, menghitung barisan tersebut. Ada sembilan dari dua belas, dan sebentar lagi akan jadi tiga belas.
“Bu, Mattheo jauh-jauh balik dari Jakarta pas dengar Ibu mau terima anak lagi,” ujar Mattheo, ia adalah keponakan seorang teman yang berasal dari Flores. Ia telah tinggal bersamaku sejak awal masuk SMP. Orangtuanya tak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah. Maka aku membuka pintu untuknya, pintu menuju pendidikan yang lebih baik.
“Anaknya ini, ya? Ih, manis banget. Namanya siapa?” sapa Angel pada Rahma.
Gadis kecil itu bersembunyi di balik punggungku. Angel memasang wajah cemberut. Di usia yang hampir memasuki kepala dua, dia masih saja bertingkah bak anak kecil. Latar belakang keluarganya sejak kecil memang tidak harmonis, itulah mengapa aku mengambilnya ketika usia Angel masih enam.
“Namanya Rahma, Kak Angel. Mirip sama Kak Gendhis, ya? Coba dia ikut pulang kampung. Kerjaan aja terus yang dipikir.” Aku terbayang pada si sulung, satu-satunya anak yang terlahir dari rahimku. Ia hampir berusia tiga puluh, akan tetapi belum ada keinginan untuk menikah.
“Ih, Ibu mulai lagi, deh. Kasihan Mbak Gendhis disuruh nikah terus.” Itu Bondan, usianya masih lima belas. Ia bergabung dengan keluarga kami enam bulan lalu saat ibunya berangkat menjadi TKI di Taiwan. Mungkin hanya dia yang masih mendapat kiriman uang rutin. Beruntungnya, ia cukup dermawan membaginya dengan anak-anak yang lain.
“Udah-udah, ayo masuk rumah dulu. Udaranya dingin.” Suamiku mengajak kami menyingkir dari halaman rumah. Kami bergegas masuk ke dalam. Namun, suamiku justru menahan langkahku. Raut wajahnya tak terbaca, bingung entah karena hal apa.
“Bu, kayaknya bakal jadi empat belas. Ahmad cucunya Mbah Surati, mungkin sebentar lagi juga bakal dibawa ke sini. Kondisi Mbah Surati udah enggak bisa diharapkan sembuh lagi. Ini habis magrib tadi ada woro-woro tahlilan di rumahnya,” terang suamiku.
“Oh, Ahmad yang juara tilawah sekabupaten itu? Boleh aja. Malah bagus nanti bisa ajarin anak-anak muslim pengajian,” balasku senang.
“Berarti kita harus tambah kasur baru,” pungkas suamiku lantas menuntunku masuk ke dalam rumah. Ekspresi wajahnya masih tak terbaca, akan tetapi seketika melunak saat melihat ruang tamu kami kembali ramai. Mattheo dari Tanah Mutiara Hitam, Angel yang mengingatkan akan Barbie Hsu, Bondan yang asli Jawa, beberapa anak angkat kami yang berasal dari Madura dan yang terakhir Rahma.
Semakin banyak anak yang tinggal di rumah ini, angka putus sekolah berkurang satu. Aku memang bukan orang kaya yang dapat menampung semua anak-anak tak beruntung itu, akan tetapi setidaknya aku berusaha. Bahkan jika suatu hari nanti rumah ini sudah tak dapat memuat anak-anak lagi, mungkin aku dan suamiku akan membangun lantai dua. Kenapa? Sudah kewajiban orangtua merawat anak-anaknya.
END
Reza Agustin lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Penggemar Webtoon dan Hallyu. Kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Wattpad: @reza_summ08, dan Instagram: @Reza_minnie.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata