Dua Sahabat
Oleh: Karna Jaya Tarigan
Dahulu saya begitu liar, nakal, dan sering mengulang kebodohan-kebodohan yang sama. Lalu saya berpikir, bagaimana caranya menjadi orang yang baik. Orang yang “lurus-lurus” saja, seperti orang kebanyakan. Mungkin berteman dengan orang-orang baik, tentu saya akan “ketularan” baik. Akhirnya ada beberapa opsi yang saya buat untuk diri sendiri.
Opsi yang pertama adalah, saya harus memutus rantai pertemanan dengan teman-teman lama yang sama nakalnya seperti saya.
Opsi yang kedua, saya mulai memilah-milih teman, agar tidak tersesat ke awal.
Dari beberapa orang baik yang saya pilih. Kamu yang alim segera menjadi nominasi utama, bahkan kamu adalah orang pertama yang menerima saya sebagai seorang teman, selain beberapa teman lainnya yang juga mau menerima “hijrahnya” saya. Meskipun dalam hati saya menganggap kamu teman yang agak culun tetapi sifatmu yang-positif thinking–mau menerima perbedaan dan kekurangan orang lain–membuat kamu selalu terlihat hebat di mata saya.
Betul juga kata pepatah bijak yang mengatakan, don’t judge the book by it’s cover, yang artinya: jangan melihat sesuatu atau seseorang dari sampul atau penampilan luarnya saja.
**
Seperti sepiring ketoprak dengan kerupuk. Seperti semangkuk soto ayam dengan kuah. Seperti pecel ayam dengan sambel pedas. Seperti itulah, kita, saling melengkapi.
Ah, apa pula ini? Persahabatan kok di-analogikan dengan makanan lezat … Nggak nyambung amat! Tapi yang jelas, setiap ada ulangan kalkulus, atau riset operasi, kamu selalu memberi saya bantuan (dengan kata lain sih contekan). Benar ‘kan kata saya tadi, saling melengkapi, “eh, itu asas manfaat ya … Ups sorry!”
Sejujurnya sifat dan kelakuan kita memang bagaikan langit dan bumi. Kamu yang kalem, pendiam, dan selalu berbicara dengan santun. Saya yang periang dan suka ngomong asal. Kamu yang begitu pandai, lulus dengan predikat summa cum laude. Saya yang begitu bebal, namun akhirnya lulus dengan IPK yang pas-pasan. Itu pun berkat bantuan kamu.
**
Kamu memang hebat! Teman sejati yang selalu bertoleransi. Tak pernah sekalipun kamu menggeleng-geleng heran, atau bergumam sendirian; mana kala melihat saya yang sedang bertelanjang dada–dengan tato yang bertebaran di mana-mana. Mulai dari gambar macan yang sedang melompat, naga terbang, kalelawar hitam yang digunakan sebagai logo Batman, mawar merah, hingga sepotong hati dan panah yang bertulisan: Coky dan Wina forever. Tak pernah pun kamu menanyakan, mengapa saya membuatnya?
Hanya sekali waktu kamu pernah berkomentar: “kurang gambar gajah, tuh!”
Tentu saja saya jawab, “ogah! Kegedean.”
Kamu hanya tertawa terkekeh-kekeh dan malah saya yang terheran-heran. Mengapa kamu tidak pernah menganggap saya sebagai monster yang menakutkan, sebagaimana orang-orang awam yang selalu menganggap, bahwa gambar tato selalu identik dengan orang-orang yang tidak baik; nakal–atau mungkin penjahat!
Kamu biasa saja tuh.
Sekali lagi, kamu adalah contoh manusia yang baik, sedangkan saya adalah contoh manusia asal-asalan. Ugal-ugalan atau kelakuan semau gue.
**
Sebenarnya sangat mudah sih, untuk melihat selera kami yang selalu berbeda. Kamu menyukai motor matic, saya lebih suka motor kopling. “Nggak perlu ribet menekan tuas gas,” begitu katamu. “Ah masa bodo!” kata saya. Toh, kalau bensinmu habis—nyatanya–kamu selalu meminjam motor saya.
Kamu selalu menyukai “The Beatles,” begitu juga saya. Kita pengagum band yang sama. Tetapi kamu suka Paul McCartney, saya lebih nge-fans pada John Lennon. Lebih urakan, lebih spontan, dan lebih jujur. Padahal menurut saya: “si Paul brengsek itu penyebab utama bubarnya The Beatles!”
Ada lagi persamaan-persamaan yang justru malah menguatkan pendapat saya, bahwa kami sesungguhnya memang berbeda meski sepintas mempunyai hobi yang sama: sepakbola. Namun kamu lebih suka dengan sepakbola gaya Italia dan selalu keukeuh dengan pilihanmu, bahwa catenaccio adalah sebuah konsep bermain sepakbola yang sempurna. Namun begitu, saya tidak pernah mengejek tim kesukaanmu, walau sebenarnya saya menganggap mereka bermain dengan membosankan. Bagi saya, total football tetap yang paling mengesankan dan paling hebat. “Pertahanan terbaik adalah menyerang.” Sebuah konsep sepakbola modern yang menjadikan sepakbola sebagai sebuah pertunjukan paling menarik di muka bumi.
Tak salah juga jika saya menggunakan taktik itu untuk memperebutkan wanita … Toh, prinsip saya itu telah terbukti. Pernah pada suatu hari, ketika kamu menemukan dan menyukai seorang perempuan cantik, kamu cuma diam saja, dan hanya mengagumi dalam hati. Bahkan kamu tidak mengambil inisiatif lebih dahulu, atau mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan oleh seorang pria yang tengah jatuh hati. Tentu tidak, buat saya yang suka gemes dan selalu mempunyai pikiran ngeres, ketika melihat seorang perempuan cantik. Saya langsung saja mendekati dan merayu gadis itu, hingga ia jatuh ke dalam pelukan saya. Bahkan seminggu setelahnya, perempuan cantik itu langsung ngajak menikah. Astaga! Tentu saja saya tolak mentah-mentah (meski dengan berat hati sih, habis do’i cakep banget!). ‘Kan saya belum kerja. Mau dikasih makan apa, anak dan istri saya?
“Makanya … pertahanan terbaik bukanlah menyerang,” begitu katanya mengulang pernyataannya yang dahulu, sekaligus meledek saya yang cuma mesem-mesem mendengarkan teori usangnya. “
“Ya sudah! Mantan saya saja buat kamu …”
Saya mencoba menawarkan sebuah kebaikan yang sangat tulus kepada seorang teman.
“Ogah ah! Bekas sidik jari kamu bertebaran di mana-mana.” Mulutnya menjawab, sambil matanya langsung mendelik. Dan saya tertawa terbahak-bahak mendengarnya keluhannya.
“Don—Don … Makanya kalau suka sama seseorang ngomong. Jangan dipendam!”
Sesudahnya, kamu malah cemberut terus. Diam. Mungkin masih kesal dengan candaan saya. Namun saya selalu tahu cara yang jitu untuk menjinakkan kamu. Segera saya mengajak kamu ke tukang nasi goreng. Kemudian kamu langsung memesan mie goreng kesukaanmu, sedangkan saya lebih memilih kwetiau. Lebih nendang untuk perut saya yang bisa melar, dan mulut saya yang terlalu lebar. Dan setelah kenyang saya langsung membayarnya (biasanya sih, saya selalu berpura-pura tidak membawa dompet yang sebenarnya saya sembunyikan di dalam jok motor hingga kamu harus membayarnya).
“Gimana Don, udah siap cari pacar lagi? Tanyaku.
“Iya. Tapi calon pacar gue jangan lu embat juga!” Ucapnya lirih, sambil mengisap sebatang rokok dan mengembuskan asapnya.
Asap rokoknya kemudian menghilang, bersama kejengkelannya barusan.
**
Begitulah pertemanan, meski sesekali kita bertengkar. Kamu tahu saya. Saya pun berusaha mengerti kamu. Kita selalu baik-baik saja. Meskipun pernah kamu sering terheran-heran dan bertanya kepada saya. Mengapa saya lebih menyukai wanita yang berdada rata, mengapa saya menyukai pacar yang jauh lebih muda, mengapa saya selalu menyukai wanita berdarah Jawa, bla-bla-bla, dan lain-lain.
“Ini masalah selera!” Jawab saya.
Namun kita mulai jarang berjumpa di tahun-tahun berikutnya. Saya dan kamu mulai sibuk. Kamu sibuk dengan pekerjaan. Saya selalu sibuk pacaran. Hingga di suatu hari, ketika kamu dan saya tak sengaja bertemu, tiba-tiba kamu bercerita, “ingin menikah muda dan telah menemukan seorang gadis yang dianggap tepat.” Mulanya saya hanya tertawa, tetapi menjadi terkaget-kaget beberapa bulan setelahnya, ketika kamu mengirimkan selembar undangan pernikahan. Aduh, ucap saya dalam hati, kamu sanggup hidup bersama seseorang. Selamanya lho ….
Saya yang begitu asyik dengan kehidupan saya yang selalu bergonta-ganti pasangan, terkaget-kaget dengan keputusanmu, juga anggapan kesetiaan yang begitu mengagumkan terhadap seorang istri (menurut saya, itu kelak bagaikan sebuah penjara). Bagaimanapun, seorang lelaki yang mampu hidup dan tidur dengan perempuan yang sama setiap harinya adalah luar biasa.
“Kamu keren.”
Namun saya selalu berusaha menghormati dan menghargai nilai-nilai kehidupan orang lain: siapa pun ia, di mana pun ia, apalagi jika ia seorang teman. Kini kamu hidup berbahagia dengan seorang istri yang tubuhnya semakin bertambah montok setiap habis melahirkan (padahal sih sejujurnya istrimu gendut banget). Anak-anakmu berjumlah lima dan itu sesuai dengan pandangan hidupmu, bahwa banyak anak banyak rezeki. Saya yang pada akhirnya lelah dan insaf, kemudian menikah dengan seorang perempuan baik-baik. Saya juga selalu berusaha menjadi contoh teladan orang-orang yang mau menyukseskan program pemerintah: “Cukup dua anak saja, atau dua anak cukup.” Kini saya telah memiliki dua buah hati yang manis dan lucu.
Eh,omong-omong kamu masih punya utang ke saya lho! Sedikit sih, cuma tiga juta. Lima tahun yang lalu saat kamu kehabisan uang untuk biaya istrimu lahiran. Baiklah … Kalau kamu memang belum bisa bayar. Itu sudah saya anggap lunas. Bukankah sebagai sahabat kita harus saling memahami!
Karna Jaya Tarigan. Seorang penyanyi yang sedang belajar menulis. Sekarang ia sedang menyukai Okky Madasari dan Djenar Ayu.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata