Aku, Kamu, dan Kereta Pagi Itu
Oleh : Evamuzy
Ada banyak cara orang menceritakan tentang cinta pertamanya, dan inilah caraku bercerita.
Barangkali, kau pasti melihat puluhan bahkan ribuan kupu-kupu cantik beterbangan dari punggungku pagi itu. Bersama kedua pipi yang merona serupa warna tomat. Dia, entah mengapa justru tertunduk malu sesaat setelah mengatakan sesuatu. Kalimat yang membuatku tak jauh berbeda darinya. Tersipu-sipu.
“Jadilah penumpang pertama keretaku, dan … jadilah wanita yang berdiri di depan pintu rumah menungguku pulang, Ra.”
Percayalah, lidahku keluh saat itu. Bukan apa-apa, tetapi sepertinya, aku teramat bahagia.
“Aku menunggu anggukanmu, Ra,” kalimatnya lagi.
Tak menunggu lama, aku mengangguk cepat. Dia tersenyum manis, semanis permen di sebuah pesta perayaan. Ah, bukannya memang benar, kami sedang berselebrasi atas impian hati masing-masing yang kali ini menemukan kemenangan.
“Tetaplah di sini, menungguku. Menjaga separuh hati yang kutitipkan, sampai aku kembali pulang setelah menjadi seorang masinis hebat.”
Aku kembali mengangguk. Mengiyakan janji dan pintanya. Membayangkan hari-hariku ke depan akan terasa lebih panjang sewajarnya sebuah penantian. Akan ada banyak rasa, meskipun kuyakin akan didominasi oleh gebu satu perasaan itu. Rindu.
***
“Kamu jahat! Kamu jahat! Lihat! Balonku sekarang lepas, ‘kan. Sudah kubilang, pegang hati-hati. Jangan sampai lepas. Huhuhu ….” Aku tersedu-sedu sambil jongkok memandangi balon warna merah jambu yang terbang menjauh ke langit. Balon pemberian Ayah sebelum pergi dinas ke luar provinsi pagi itu. Bocah laki-laki itu yang telah melepasnya. Aku kesal, aku marah, dan aku benci padanya.
“Maafkan aku, Ra.” Suaranya terdengar menyesali. Namun, aku sama sekali tak ingin mendengar itu. Dengan hati diselimuti awan gelap, aku mengentakkan kaki pulang.
Aku berjanji! Tak akan mau bermain atau mengenalnya sebagai teman lagi. Janji!
Sampai di rumah pun, tangisku belum mau berhenti. Bujukan Ibu tak cukup berhasil membuat hatiku ikhlas kehilangan hadiah kecil Ayah.
Sore itu, mungkin karena lelah menangis dan menahan amarah, lelapku tak terelakkan lagi. Aku tertidur sampai pagi.
Belaian lembut Ibu di rambut membuatku terjaga. “Sayang, bangunlah. Ada yang mencarimu di luar.”
“Siapa, Ibu?” Masih setengah mengantuk, aku mencoba membuka mata.
“Kamu akan tahu setelah menemuinya. Yuk, bangun.”
Dengan malas, kuseret langkah menuju pintu depan.
“Kamu! Mau apa kamu kemari? Pulang sana!” Aku marah sekali. Kenapa Ibu tidak bilang kalau yang mencariku adalah bocah laki-laki itu. Bocah laki-laki yang telah membuatku kehilangan balon warna merah jambu pemberian Ayah.
“Aku mau minta maaf, Ra. Dan sebagai tanda permintaan maafku, aku bawa ini untukmu.” Aku memang sudah melihatnya membawa sebuah balon dari pertama menemuinya. Namun, itu tak penting. Aku masih marah padanya.
Diulurkannya balon dengan warna serupa milikku, tetapi aku melengos. Tak ingin secepat itu memaafkan salahnya.
“Pulang sana!” ketusku, lalu masuk ke dalam rumah. Namun, setelah kupastikan dia telah pergi, kulihat benang balon yang dibawanya diikatkan di lengan kursi teras.
Seminggu dia melakukan hal yang sama. Apa sebegitu besarnya dia ingin dimaafkan? Karena merasa amarah ini sudah cukup, juga karena nasihat Ibu dan Ayah, akhirnya kumaafkan dia. Kembali berteman dan bermain bersamanya. Bahkan, semakin hari kami semakin dekat saja.
“Besar nanti, kamu ingin jadi apa, Ra?” tanyanya saat kami duduk di tepi lapangan bermain satu sore.
“Guru. Seperti ibuku. Kamu?” Kutatap wajahnya lekat.
“Masinis. Biar aku bisa menjalankan mereka lagi,” jawabnya sambil mengarahkan telunjuk ke deretan gerbong kereta yang telah usang dan berkarat. Benar, tempat tinggal kami adalah daerah sekitar stasiun kota.
***
Senin, 19 Oktober 1987
Dua hari lalu, suratnya sampai di tanganku. Mengabarkan bahwa hari ini adalah perjalanan pertamanya sebagai co-masinis. Masih dari suratnya, bersama masinis utama, dia membawa ratusan penumpang dengan kereta api Patas Ekonomi Merak jurusan Tanah Abang-Merak yang berangkat dari stasiun Kebayoran.
Setelah kupastikan penampilanku sempurna: dress merah muda sepanjang lutut, rambut sepanjang bahu yang kugerai dihiasi pita kupu-kupu, dan sepasang sepatu flat putih tulang. Aku berangkat ke stasiun dengan menenteng rantang berisi makanan favoritnya: nasi uduk dan ayam goreng.
Jam tujuh pagi, jadwal kedatangan keretanya.
Setengah jam duduk di kursi tunggu, kereta yang dibawanya belum juga datang. Namun, aku masih sabar menunggu sang pujaan. Hingga tepat pukul 06:46 pagi, terdengar sebuah pengumuman dari pengeras suara di berbagai sudut stasiun.
“Telah terjadi kecelakaan di daerah Bintaro antara kereta api jurusan Rangkasbitung-Jakarta kota dengan kereta api Patas Ekonomi Merak jurusan Tanah Abang-Merak.”
Kemudian, berita selanjutnya menyebutkan, seluruh masinis kedua kereta dipastikan meninggal dunia. Lututku lemas seketika. Oh, Tuhan … Inikah takdir-Mu? Cintaku dibawanya ke surga. (*)
Evamuzy. Gadis kelahiran kota Brebes. Penyuka warna cokelat muda.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata