Bukan Gadis Tuna Cinta

Bukan Gadis Tuna Cinta

Bukan Gadis Tuna Cinta
Oleh : Evamuzy

 

Sebaik-baiknya alur kehidupan adalah takdir-Nya. Sebab Allah maha tahu, sedangkan kamu tidak.

***

“Num, kamu ingin nikah di usia berapa?”

“Hmm … sekitar 23 tahunan. Rencanaku, setelah lulus SMA, kuliah terus kerja satu tahun. Setelah itu nikah. Aku ingin saat punya anak, usiaku masih muda, Ta.”

“Setuju denganmu, Num.”

Syabila Hanum masih ingat betul obrolan bersama kedua sahabatnya—Anisa dan Gita—saat masih duduk di bangku SMA dulu. Pembahasan sekitar delapan atau sembilan tahun yang lalu. Hanum sudah lupa kapan tepatnya. Namun, rencana manusia memang tak selamanya sesuai rencana-Nya. Seperti malam ini saja, gadis cantik berlesung pipit itu baru saja pulang dari pernikahan seorang teman. Undangan pernikahan keempat yang didatanginya dalam satu bulan ini. Dan semuanya adalah dari adik angkatannya saat kuliah. Sedangkan dirinya … masih sendiri.

Nasib Hanum nyatanya juga tak seberuntung kedua sahabatnya. Minggu lalu, dia harus menemani Gita mencari TK yang bagus. Nabila, putri semata wayang sahabatnya itu sudah masuk usia sekolah. Sementara Anisa baru saja menyelenggarakan acara syukuran tujuh bulan kehamilannya. Mereka berdua telah melewati fase kehidupan selangkah bahkan lebih dari itu dibandingkan Hanum. Untungnya, gadis itu sangat meyakini bahwa hidup bukanlah untuk diratapi. Segala yang terjadi dalam kehidupan seseorang adalah takdir-Nya. Maka jelas, itu adalah alur yang terbaik.

“Masih duduk di sini, Sayang. Sudah malam, loh. Gadis cantiknya bunda sedang melamunkan apa?” tanya Hana menghampiri putrinya yang tengah duduk termenung. Sementara buku bacaan yang biasanya menjadi favorit putrinya itu, tergeletak di atas meja kayu yang memisahkan dua kursi teras. Sang Bunda memilih duduk di kursi satunya yang kosong.

“Nggak sedang melamun apa-apa, kok, Bun. Hanum cuma cari angin. Di dalam gerah.” Gadis itu tersenyum. Sengaja agar sang Bunda tak mengerti apa yang sebenarnya sedang dia pikirkan.

“Sabarkan dirimu, Sayang.” Jika ada yang berkata bahwa separuh jiwa seorang anak adalah milik ibunya, itu sangatlah benar. Seorang ibu mampu merasakan segala perasaan anaknya, bahkan yang sedang ditutupinya rapat-rapat. Tidak ada yang akan benar-benar menjadi rahasia antara seorang anak dengan ibunya. Pasti. Tidak terkecuali tentang perasaan Hanum malam ini. “Apa kamu sedih dengan takdirmu, Nduk?”

Memang benar, gadis mana tak kecil hati. Dua bulan yang akan datang, usianya genap 27 tahun. Sedangkan dirinya masih sendiri. Teman-teman satu usia dengannya telah banyak yang disibukkan mengurus keluarga—anak dan suami. Hanum menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan sang Bunda. Gadis yang malam ini menggunakan kerudung warna ungu muda itu menggeleng pelan sambil tersenyum, lalu menatap lamat-lamat wajah wanita paruh baya di depannya.

“Tidak sama sekali, Bunda. Bunda adalah sumber kebahagiaan Hanum. Jadi selama Hanum bersama Bunda, tidak ada alasan Hanum untuk sedih.” Tangannya terulur untuk menggenggam lembut jemari tangan sang Bunda. “Ini semua ada hikmahnya, Bunda. Hanum masih bisa menemani Bunda di rumah ini. Dan Hanum bahagia karena masih diberi kesempatan ini. Coba kalau Hanum sudah menikah, lalu harus ikut suami. Pasti Bunda akan kesepian dan Hanum tentunya akan sedih.”

Mendengar jawaban putrinya, Hana mengangguk pelan sambil semakin mengeratkan genggaman tangan mereka. “Doa terbaik dari Bunda selalu untukmu, Nduk.”

Hanum tersenyum. Setidaknya dengan begini, dia telah sedikit mengurangi kekhawatiran bundanya. Juga resah yang selalu coba dia lawan. “Makasih, Bunda.”

Semilir angin malam semakin terasa, membuat daun-daun pada pohon di halaman rumah berayun pelan. Merasa hawa semakin dingin, keduanya memutuskan untuk masuk ke dalam. Mengunci pintu, lalu istirahat.

***

“Hana Bakery” adalah saksi perjuangan seorang wanita yang ditinggal meninggal suaminya satu tahun yang lalu. Saat itu dirinya sangat terpukul. Bahkan seperti yang biasanya dialami oleh yang lain, ditinggal meninggal suami juga membuatnya sedikit kesulitan ekonomi. Meskipun tiga dari empat putrinya yang sudah menikah tidak lepas tanggung jawab untuk membantu. Namun, Hana tak ingin selamanya merepotkan mereka. Berbekal keahlian membuat kue, juga si bungsu yang kebetulan mengambil jurusan tata boga saat kuliah dulu, kini keduanya memiliki usaha toko kue. Ini juga dilakukannya agar kesedihan pasca kepergian sang suami perlahan hilang. Hana bersyukur, dirinya dan putri bungsunya memiliki hobi yang sama. Sama-sama gemar memasak.

Saat ini, “Hana Bakery” sudah memiliki cukup banyak pelanggan. Hanum juga sedang gencar mempromosikannya secara online lewat media sosial.

“Selamat pagi, Nona.” Suara seorang pria menghampiri gadis yang tengah sibuk menata kue-kue yang baru saja keluar dari dapur di atas meja displai.

“Selamat pagi, Tuan. Selamat datang di ‘Hana Bakery’. Ada yang bisa saya bantu?” Hanum berhenti sejenak dari aktivitasnya. Memasukan dua tangannya ke dalam saku celemek bermotif bunga-bunga yang dipakainya pagi ini. Dia sengaja memasang senyum yang dibuat-buat.

“Roti goreng isi cokelat, selai kacang sama satunya isi sosis. Sepertinya biasa, Nona.” Bari, pria berhidung bangir dengan kulit sedikit kecokelatan itu berdiri tepat di depan si gadis. Menyebutkan pesanannya yang sama setiap pagi.

“Oke. Tunggu sebentar.” Hanum segera menuju etalase tempat pesanan si pria. Mengambil tiga rasa roti itu, menatanya dalam kotak dan kembali menghampiri si pria yang masih setia menunggu di tempatnya. “Ini. Silakan bayar di kasir.”

Thank you, Nona,” jawab Bari sambil menerima kotak roti. “Dan ini untukmu. Mawar yang cantik untuk Nona yang cantik.” Setangkai bunga mawar putih diulurkannya kepada sang gadis.

“Nggak bosen, nih, ngasih gini tiap hari?” tanya Hanum. Tangan si gadis kembali masuk ke dalam saku celemek. Memperhatikan pria yang menggenggam setangkai bunga mawar dengan satu tangan. Dan tangan satunya lagi disimpannya di belakang. Sementara kotak roti telah diletakkannya di atas meja displai.

“Nggaklah. Lo kan sahabat gue. Mana ada sahabat bosen bikin sahabatnya seneng.”

“Pede banget. Dari mana tahu kalau aku seneng dikasih bunga gini?”

“Oh … jadi nggak seneng, nih.”

“Iya, iya, seneng. Sini.” Bunga ini entah menjadi bunga ke berapa yang diterimanya. Bahkan sebuah vas kaca ukuran sedang di ruangan gadis itu telah penuh oleh mawar putih pemberian Bari. “Lalu yang satunya itu masih buat Marissa?” tanya Hanum sambil menunjuk bunga mawar warna merah muda di tangan Bari yang satunya. Diam-diam gadis itu sudah melihatnya sedari tadi.

“Iya, dong. Memangnya buat siapa lagi.”

“Kali aja sudah ganti. Kan tiga hari lalu saja masih buat Nindi,” sindir Hanum.

“Nindi sudah jadi masa lalu. Sekarang hanya ada Marissa seorang. The one and only. Eh, sudah, ya. Rotinya sudah ditunggu Mami. Marissa juga sudah nungguin gue. Dadah, Nona Hanum yang cantik. Salam buat Tante Hana. Assalamualaikum,” kata si pria sambil berlalu dari Hanum dengan buru-buru. Tak lupa mengambil kotak rotinya dan membayar di kasir.

“Waalaikumsalam. Salam buat Tante Mira juga buat … Marissa.” Hanum berkata lirih sambil terus menatap pria yang membawa sekotak roti dan bunga mawar yang mulai menjauh. Termenung mengingat perasaan yang sempat dia miliki untuk teman kecilnya itu. Dulu. Sebelum pria itu tumbuh dewasa dan disaksikannya bergonta-ganti pacar tanpa pernah tahu perasaan Hanum sebenarnya. (*)

Evamuzy. Dari kecil suka banget nonton pesawat terbang.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply