Waktu yang Tepat
Oleh: Alena Winker
Ada empat perahu bebek yang dilabuhkan di sisi danau. Aku dan Habbib akhirnya berjumpa setelah berulang kali gagal bertemu. Selalu ada hal yang tidak terduga ketika kami akan bertemu. Baik dari sisi Habbib maupun dari sisiku. Pernah suatu hari kami gagal bertemu karena pesawat Habbib ditunda jadwalnya akibat cuaca buruk, dan saat itu aku tak bisa menunda kepergianku keluar kota sehingga kami gagal bertemu. Pernah juga ketika kami akan bertemu aku harus menjalani operasi penyakit yang kuderita berapa waktu ini dan pada akhirnya hari ini setelah melewati beragam kejadian kami bisa bertemu.
Danau saat itu sepi pengunjung, langit cerah secerah hatiku yang akhirnya dapat bertemu dengan Habbib Al Basser sebuah nama yang telah lama mengisi ruang hatiku. Ya, aku Adia Kamala Hita telah lama menyimpan hati kepada Habbib.
“Pemandangan yang indah bukan?” tanyaku membuka pembicaraan dengan Habbib.
“Ya, sudah lama aku tak melihat pemandangan seperti ini, pemandangan yang luar biasa indah,” jawabnya namun matanya tak tertuju pada pemandangan hijaunya air danau yang terbingkai birunya langit, tetapi menatapku.
“Bagaimana kabarmu selama ini?” aku berusaha untuk mengalihkan pandangannya padaku.
“Aku baik, seperti yang kau lihat. Bagaimana denganmu?”
“Aku baik,” jawabku.
“Jadi apa yang ingin kau bicarakan denganku, sehingga meminta untuk bertemu?” tanya dia. “Ah, iya, sebelum itu aku mau kasih ini. Cantik ya? Kurasa ini akan sangat cocok untukmu,” lanjutnya sambil membuka sebuah kotak yang berisi kalung yang luar biasa cantik bagiku dan memasangkannya di leherku.
“Cantik,” lanjutnya setelah selesai memasangkan kalung tersebut.
“Terima kasih,” diiringi sebuah senyuman yang kucoba ukir semanis mungkin.
Pikiranku melayang pada kejadian sepuluh tahun lalu, saat kami baru saja lulus SMA. Habbib mendapatkan beasiswa di Inggris, dan keesokkan harinya harus berangkat. Waktu yang sungguh singkat untuk menyiapkan pesta perpisahan dengannya. Dari dulu kami sudah dekat dan teramat sangat dekat. Jadi aku tak ingin kami berpisah dengan cepat, tapi mau bagaimana lagi, takdir telah berkata lain.
Tahun pertama komunikasi kami masih lancar saat itu. Pada tahun itu juga ada kejadian yang membuat aku sangat sedih. Uang untuk kuliah yang aku coba kumpulkan selama ini raib dibawa oleh orang yang tidak bertanggung jawab yang sialnya adalah ayahku sendiri. Uang itu awalnya dipinjam Ayah untuk modal usahanya. Namun, bukan untuk modal uang itu Ayah gunakan melainkan untuk judi. Para penagih utang mulai berdatangan ke rumah dan sialnya Ayah kabur dengan membawa sisa tabungan yang kami miliki.
“Sepertinya janji kita akan gagal,” ucapku kala itu kepada Habbib.
“Kenapa, Tha?”
“Uang untuk kuliahku diambil Ayah,” kataku seraya mengembuskan napas panjang. “Penagih utang juga semakin hari semakin bertambah jumlahnya.”
“Ya udah, sabar ya, Tha. Bawa dalam doa terus ya, semoga ada rejekinya kamu untuk kuliah,” hibur dia.
“Aamiin.”
Tak lama berselang dari obrolan kami saat itu, sebuah universitas swasta yang terkenal di kotaku menghubungiku dan menawarkan beasiswa beserta uang saku untukku. Siapa yang akan menolak? Demikian juga aku, hingga akhirnya aku bisa kuliah dan menempuh pendidikan hingga S-3 kini. Setahun yang lalu baru kuketahui jika beasiswaku bukan berasal dari universitas melainkan dari seorang donatur, itu pun tanpa sengaja kuketahui dari gumaman pegawai administrasi di kampusku. Dari dia pula aku berhasil mengetahui nama sponsorku yaitu Pak Habe, setelah kupaksa tentunya.
“Tha … oi, Tha. Gak suka ya sama hadiah dari aku? Kok kamu diem aja?”
“Eh, sorry … aku ngelamun tadi. Suka kok, suka banget malah,” jawabku.
“Oh, ya, aku ngajak kamu ketemu itu buat bilang makasih banyak udah jadi donaturku selama ini.”
“Donatur apaan? Ngaco kamu, Tha.”
“Donatur biaya kuliah dan uang sakuku selama ini. Ayolah jangan pura-pura. Aku tahu Pak Habe itu kamu, ‘kan?”
“Ngaco kamu, Tha.”
“Ah, sudah kuduga, pasti akan begini jawabanmu. Aku sudah mengumpulkan bukti jika kamu adalah Pak Habe, donaturku,” ucapku sambil menyerahkan sebuah amplop cokelat kepadanya.
“Baiklah, nampaknya aku sudah tidak bisa berkelit kembali. Memang ciri khasmu, Tha. Selalu saja mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi.”
“Terima kasih, Bib. Karenamu aku bisa di posisi ini sekarang. Tanpamu mungkin aku tak akan bisa menjadi seseorang yang terkenal, mengisi kelas-kelas umum di berbagai universitas di negara ini.” Seraya tersenyum padanya.
“Engga, Tha. Kamu bisa ada di posisi ini karena dirimu sendiri, aku hanya membantu apa yang bisa aku bantu.”
“Tapi karena kamu membiayai kuliah dan uang sakuku, kamu harus bekerja banting tulang sambil kuliah, itu pasti sangat menyiksa. Walaupun aku tahu kamu sangat pintar tapi walau bagaimanapun kamu perlu waktu untuk belajar dan untuk dirimu sendiri, aku sangat berterima kasih atas hal itu, tapi aku juga tak enak pada dirimu, Bib.”
“Langit tak pernah meninggalkan bumi sendirian walaupun mereka terpisah jauh. Langit tetap memperhatikan bumi. Kala bumi kesusahan akibat kekeringan dikirimkannya hujan untuk menyegarkan bumi kembali. Kala bumi kebanjiran dikirimkannya matahari yang sangat terik untuk membuat banjir itu menguap.”
“Maksudnya?” tanyaku karena aku sungguh bingung kenapa dia tiba-tiba membahas langit dan bumi.
“Kukira kamu pintar, Tha. Ternyata terkadang kamu bisa bodoh juga ya? Hahaha. Masa kamu ga paham juga sih?”
“Apaan sih kok bawa-bawa pintar dan bodoh, kamu yang aneh tiba-tiba bahas langit dan bumi.”
“Maksudnya walaupun kita terpisah jauh aku tetap memperhatikanmu. Kala kamu kesusahan aku berusaha membantumu tanpa kamu sadari, karena aku tahu kamu pasti akan menolak.”
“Kenapa kamu lakukan itu?”
“Tak pernah ada alasan untuk tidak membantumu, Tha. Tak ada juga yang kuharapkan sebagai imbalan. Aku menyayangimu lebih dari yang kau tahu dan rasakan. Sudah lama aku menyimpan perasaan ini jika kau ingin tahu.”
“Kusangka hanya aku yang memendam rasa, ternyata kita sama-sama bodoh menyimpan rasa ini selama ini, hahaha. Pembuangan waktu yang sia-sia.”
“Tak ada yang sia-sia, Tha. Tuhan pasti punya rencana yang indah hingga kita menjalani takdir seperti ini, percayalah!”
“Ya, aku tahu itu tapi tetep aja kita bodoh kalau dipikir-pikir kenapa ga dari dulu aja kita ngungkapin perasaan kita masing-masing, kan aku ga perlu stalking kamu cari-cari info kamu sana sini, hahaha. Duh malu aku. Anggap kamu ga denger ya,” ucapku dengan perasaan malu yang pastinya terlihat olehnya dari mukaku yang memerah, aku saja dapat merasakan panasnya pipiku apa lagi dia yang tengah menatapku. Ingin rasanya aku menceburkan diri ke danau.
“Jadi, kita bisa mulai pacaran mulai sekarang? Atau lebih baik kita langsung menikah saja? Sudah tak sabar rasanya aku untuk memiliki anak yang lucu-lucu darimu.”
“Ihhh, Habbib nakal. Main ngajak nikah dan buat anak. Kita kan harus mempertemukan keluarga kita dulu. Tapi aku mau sih mau banget malah.” Pipiku semakin panas saja rasanya.
“Duh, pacar aku sekarang lagi malu-malu kucing, lucu deh.”
Kami pun pulang dari danau dengan perasaan yang lega dan senang, ternyata kami sama-sama saling mencintai. Memang benar setiap hal ada waktu yang tepat. Kurasa inilah waktu yang tepat untuk kapal kami berlayar.
Bandung, 20 April 2021
Tentang penulis
Penulis berdomisili di Bandung, lahir dan besar di sana. Berzodiak Taurus. Memiliki warna kesukaan yang lembut. Penulis telah memiliki beberapa antologi yang diterbitkan di beberapa penerbit. Penulis baru saja kembali mengikuti lomba setelah setahun lamanya tidak mengikuti lomba dan menulis. Jika ingin mengenalnya lebih dekat silakan menghubungi di Instagramnya @alena_winker.
Editor: Nuke