Unsimilar

Unsimilar

Unsimilar

Oleh: Ksiti Hana

Sesuai dengan nama yang diberikan oleh pamannya—Geoffrey—Fay Oxana benar-benar gadis yang unik. Ia memiliki mata kebiruan di satu sisi dan warna hazel pada mata lainnya, yang disebut Heterocromia, suatu kelainan pada mata.

Dengan keunikannya, ia menarik perhatian produser Hollywood untuk memerankan tokoh protagonis dalam film layar lebar. Di setiap film yang dibintanginya, ia begitu melekat di hati penggemar. Salah satunya ketika ia berperan sebagai gadis kucing.

Good, Fay. Kamu begitu memukau.” Pujian tak henti-henti diberikan oleh sutradara.

“Apa aku memerankannya dengan baik?”

“Tentu, Honey. Untuk itulah aku memilihmu, terutama karena warna matamu yang indah.”

Fay tersenyum dengan kepala mendongak. Setelah pujian yang membesarkan hatinya, ia berbalik menuju make-up room. Sudah ada pamannya menunggu di sana.

Uncle, berapa lama kamu menungguku?”

“Aku baru saja tiba. Bagaimana syutingmu hari ini?”

“Seperti biasanya. Aku selalu memukau.” Fay duduk di depan cermin riasnya dengan senyuman terpatri. Make-up artisnya, Sandra, segera menghapus riasannya. Sementara itu, Fay menatap Geoffrey dari cermin. “Dan, ada apa Uncle menemuiku di sini?”

“Seperti biasa, aku memerlukan tanda tanganmu.”

Fay mengulurkan tangan dengan telapak seperti meminta. Terdengar juga embusan napas halus dari bibirnya. “Apa lagi sekarang?”

“Aku membutuhkan dana untuk membuka cabang baru di Oregon.”

“Usaha apa lagi?” tanya Fay, mengerutkan kening dengan bibir merah yang mengerucut. Namun, setelahnya, ia menemukan ide lain melintas. “Apakah aku bisa melihat smile face di rute 18?”

“Tidak!”

Fay menatap sendu wajah Geoffrey dari cermin. Perhatiannya terpusat pada mata abu-abu itu. Mata yang sangat berbeda dengan mata Fay.

Mata Heterocromia Fay tidak satu pun yang mirip warnanya dengan Geoffrey. Ia selalu bertanya-tanya, apakah orang tuanya memiliki mata dengan warna hazel, atau biru? Lalu, mengapa pamannya tidak? Padahal menurut Geoffrey, ia merupakan saudara dari ibunya. Apakah mereka kakak beradik kandung?

Pernah suatu kali Fay menanyakan tentang warna abu-abu mata pamannya tersebut. Yang tentu saja dijawab singkat seperti biasanya. “Mata ayahku, kakekmu, berwarna abu-abu.”

Fay terpaksa memercayainya. Menurut cerita Geoffrey, orang tua Fay meninggal dalam kecelakaan. Mereka tewas seketika. Karena hanya ia satu-satunya keluarga Fay, maka hak asuh diserahkan kepadanya.

Semua itu hanya Fay dengar dari perkataan Geoffrey. Faktanya, mereka sama sekali tidak memiliki keluarga lain di Los Angeles. Hanya ada mereka berdua.

Geoffrey mendidik Fay sebagai gadis berbakat. Semenjak kanak-kanak, ia membinanya untuk menjadi aktris cilik, bintang iklan, dan bintang film termuda di Hollywood.

Sementara uang mengalir dari setiap kerja keras Fay, Geoffrey mengelola semua keuangan keponakannya tersebut. Yang Fay tahu, pamannya memiliki beberapa usaha di berbagai negara bagian.

“Bisakah aku berlibur, Uncle Geo, please?”

“Baiklah, kamu mau ke mana?”

“Ke Ottawa … atau Eropa?”

“Tidak! Ottawa saja!”

But why?”

“Cukup, aku akan pergi!”

Uncle, please. Aku ingin keliling Eropa.”

“Tidak ada yang bisa kamu lihat di sana.”

Geoffrey melenggang pergi meninggalkan Fay bersama Sandra.

“Dia sangat mencurigakan, Fay.” Sandra mengungkapkan isi hatinya sambil tangannya memulas kembali wajah Fay yang polos.

“Apa maksudmu?”

“Kalian tidak mirip. Dari garis wajah saja, dia terlihat sangat British. Sementara kamu, emm … bisa kamu lihat sendiri, wajahmu sangat Russian.”

Fay menatap pantulan wajah Russian-nya di cermin.

“Ah, lupakan saja, Fay. Kamu tahu, aku selalu menonton film yang kamu perankan itu. Benar-benar keren, terutama ketika kamu memerankan anak yang diculik agen UK.” Sandra terus berceloteh tanpa memperhatikan perubahan ekspresi Fay.

Perkataan Sandra menembus hatinya. Fay menyadari sejak lama bahwa tidak ada kemiripan antara dirinya dan Geoffrey. Namun, apakah itu penting sekarang? Tentu saja. Ia ingin tahu siapa dirinya. Bukan sebagai Fay Oxana si Gadis Kucing atau aktris Hollywood, melainkan sebagai gadis yang memiliki orang tua utuh.

Fay ingin mengetahui wajah orang tuanya. Seperti apa mereka ketika masih hidup, apakah mereka menyayanginya? Walaupun Geoffrey tak pernah berlaku buruk, tetapi ia begitu kaku dengan sorot mata kosongnya, membuat siapa pun yang melihatnya bergidik. Jauh dari harapan Fay yang menginginkan orang tua yang penuh kehangatan.

Fay merasa kurang disayangi. Tadinya, ia pikir Geoffrey memang tak suka banyak bicara dan overprotektif. Namun, kenyataannya hubungan antara ponakan dan pamannya tak sehangat itu.

Hanya dengan Sandra, manager, dan asistennya—Hannah—ia bisa tertawa lepas. Mengatakan apa saja tentang unek-unek yang ada di dalam hatinya. Mereka jugalah yang paling mengetahui hubungan Geoffrey dan Fay, semakin lama semakin berjarak.

Fay telah berusaha untuk mengakrabkan diri dengan pamannya tersebut. Namun, sepertinya Geoffrey tak menyukai hal itu. Kerap ia hanya berbicara seperlunya dengan Fay tanpa harus terlibat emosional dengan gadis itu.

Usai membenahi makeup dan tatanan rambut Fay, Sandra baru berhenti bicara. Ia memperlihatkan tatanan bagian belakang rambut pirang Fay melalui cermin lonjong berbingkai keemasan. “Bagaimana? Rambutmu tampak semakin berkilau.”

“Terima kasih, Sandra. Aku akan pulang, ada yang harus kucari tahu.”

“Apa itu?” tanya Sandra sambil membenahi peralatannya. Sesekali menatap wajah Fay yang memberengut.

“Nanti kuceritakan. Bisa tolong panggil Hannah ke apartemenku? Aku memerlukannya.”

“Asistenmu itu seharusnya selalu berada di sampingmu, bukannya keluyuran.” Sandra menggerutu karena harus selalu disuruh untuk menghubungi Hannah.

Fay mendelik. “Apa aku harus meneleponnya sendiri?”

“Ah, tidak, tidak. Biar aku saja.” Sandra tersenyum lebar, tetapi hatinya mengeluh. Huh, merepotkan saja.

Fay tak begitu memperhatikan perubahan mimik wajah Sandra. Ia berlalu begitu saja keluar dari make-up room. Tangannya menenteng tas berharga jutaan dollar.

Setiba di apartemen, Hannah telah menunggunya di ruang tengah. Fay agak terkejut karena secepat itu Hannah langsung menemuinya. Memang ia selalu bisa diandalkan oleh Fay.

“Sandra mengomel, sebagai asistenmu seharusnya aku selalu ada di sisimu. Bukankah kamu yang menyuruhku untuk tidak selalu membuntutimu?”

“Kamu seperti tidak mengenal Sandra saja. Dia mengoceh seharian bersamaku. Oh, soal mengoceh, dia mengoceh tentang wajah Rusiaku. Bisa kamu cari tahu identitasku? Besok terbanglah ke Rusia.”

“Oh, no ….” Hannah menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Bukan sekali ini saja Fay memintanya untuk bepergian ke Eropa. Seringkali, ia hanya terbang ke negara-negara pilihan Fay untuk membeli makanan atau barang-barang yang diinginkannya.

Bisa dimaklumi kalau hanya diminta membelikan barang, tetapi permintaannya kali ini ke Rusia untuk mencari jati diri sesungguhnya. Hannah memijat keningnya yang mulai berdenyut. “Kenapa tidak kamu kirim aku kutub selatan sekalian?”

Mengalun tawa merdu dari bibir mungil Fay. “Untuk apa kukirim kamu ke sana? Membawakanku seekor pinguin?”

Hannah yang berusia 10 tahun lebih tua dari Fay, memelototi majikannya tersebut. “Aku lebih baik disuruh membawakan pinguin.” Keluar desahan dari bibirnya, ia enggan untuk melakukan apa yang disuruh Fay kali ini. “Atau, suruh aku ke Prancis untuk membelikanmu semua pakaian ternama, bagaimana?”

Fay mengerucutkan bibirnya dengan wajah kecut. “Maumu itu! Please, aku membutuhkan apa saja informasi yang bisa kamu dapatkan, terutama tentang ibuku, Hannah.”

“Kamu terusik dengan omongan netizen tentang Uncle Geo?”

Seketika Fay tertawa miris. Hannah memang benar, ia benar-benar terusik dengan itu. Walaupun pamannya telah melakukan sesuatu dengan berita yang beredar agar tidak viral, tetap saja ia telah tahu sedikit hal yang mengganggunya.

“Tidak bisakah kamu hidup seperti adanya sekarang?”

Fay menggeleng kuat-kuat, matanya dengan warna berbeda itu mulai berkaca-kaca. Seperti kebiasaannya bila tidak berhasil mendapatkan apa yang diinginkan, ia akan merajuk. Upayanya selalu berhasil kepada orang lain, tetapi tidak dengan Geoffrey.

Geoffrey akan pergi meninggalkannya sendiri bila ia mulai merajuk. Bahkan, bila ia menangis tantrum sekali pun. Pamannya tetap tidak memberikan apa yang diinginkannya.

Salah satu yang selalu menuruti keinginan Fay ialah Hannah. “Oke, oke, aku terbang malam ini juga.”

Hannah bangkit dari sofa putih yang membuatnya enggan pergi karena terlalu nyaman. Sesekali memeriksa tas dan barang-barang miliknya baik di sofa ataupun di meja. Fay yang memang duduk berseberangan dengan Hannah terus memperhatikan.

“Apa yang kamu cari?”

“Di mana ponselku?”

Fay menghela napas sejenak, lalu menghampiri Hannah. Ia mengambil sesuatu pada sela-sela sofa. Dan, ponsel Hannah sudah di tangannya. “Kamu menaruhnya tadi di situ, lalu mendudukinya.”

“Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Entahlah, aku tahu saja. Dan, sebentar lagi kamu akan mengeluh tentang kunci mobil.”

“Ah, kamu benar, di mana kunci mobilku?” Hannah menatap mata beda warna Fay dengan wajah pucat pasi. Berharap kali ini Fay membantunya untuk mencari kunci itu.

Fay tersenyum simpul, kemudian berbalik menuju kamarnya. “Hati-hati di jalan, aku mau istirahat dulu. Besok ada pemotretan.”

Hannah kembali mendesah. Salah satu tangannya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal sambil memperhatikan sekeliling karena takut kunci itu terjatuh entah di mana. Namun, ternyata tidak ada di mana pun.

Dengan kesal, ia membuka pintu apartemen, lalu membantingnya hingga suara keras mengagetkan penghuni apartemen lain yang kebetulan melewati ruang apartemen Fay. Ia tersenyum kepada penghuni tersebut sambil mengatupkan kedua tangannya di dada.

Sementara itu, Fay tidak dapat memejamkan matanya barang sekejap. Padahal ia begitu lelah setelah syuting dari jam dua pagi. Beberapa kali, ia membolak-balikkan tubuhnya di ranjang. Atau, sesekali ia bangkit, lalu duduk bersandar pada bantal besar. Pikirannya tak menentu, ia memikirkan banyak kemungkinan. Ia takut kalau kecelakaan orang tuanya hanya kebohongan Geoffrey.

Geoffrey tidak pernah menceritakan dengan detail mengenai kecelakaan itu. Menurutnya, Fay terlalu kecil untuk tahu. Usianya nyaris akan menginjak 21 tahun, sudah tidak dapat dikatakan kecil lagi. Sudah cukup umur untuk mengetahui fakta sebenarnya. Namun, Geoffrey tetap bungkam, meski Fay berusaha membujuknya untuk bercerita.

Fay bangkit dari ranjang, kemudian melangkah menuju balkon kamar. Dengan perlahan, tangannya menggeser pintu kaca besar. Udara dingin di bulan Oktober berembus masuk ketika pintu kaca terbuka. Ia mengeratkan jaket yang dikenakannya semenjak dari tempat syuting.

Langit berawan sore itu, hanya tersisa sedikit cahaya matahari. Mata Fay menatap langit sambil berharap Hannah bisa memberinya kabar baik. Ia tahu pasti, Hannah terpaksa naik taksi untuk kembali ke apartemennya karena ternyata kunci mobil tertinggal di dalam mobilnya sendiri. Hal yang telah diduga oleh Fay sebelumnya. Namun, ia sengaja tak mengatakan apa-apa. Sebagai pelajaran bagi Hannah untuk selalu berhati-hati.

Malam itu juga Hannah terbang menuju Rusia. Ia rela membantu gadis yang menjadi majikannya itu, bukan karena takut dipecat, melainkan ia merasa kasihan dengan gadis Heterocromia itu. Malam-malam gadis itu selalu diliputi kesepian mendalam.

Fay merenungi hidupnya di balkon kamar sambil mendekap tubuh yang mulai mendingin. Udara sore itu sedingin hatinya. Kehidupannya begitu sepi walaupun ia selalu disorot gemerlap kepopuleran. Itu semua tak membuatnya bahagia. Hanya akting yang sanggup menghapus kegundahannya, tetapi untuk sementara saja. Setelahnya, kesepian kembali menyergap.

Setelah menjalani hari selama satu bulan penuh tanpa asistennya, Fay semakin gundah. Ia khawatir terjadi sesuatu dengan Hannah. Sering ia menghubungi ponsel Hannah yang masih tidak bisa dihubungi.

Semenjak kepergian Hannah ke Rusia, Fay menjadi tidak fokus di tempat syuting. Sutradara sampai harus menyetop beberapa adegan karena ia sama sekali belum siap. Akhirnya, ia terpaksa pulang ke apartemennya dengan wajah kusut. Sutradara memintanya istirahat beberapa hari untuk memperbaiki mood-nya yang berantakan.

Mungkin itu kebetulan, Hannah sudah menanti Fay di apartemennya. Yang tentu saja telah siap bercerita tentang asal-usul Fay. “Ini semua data orang tuamu. Mereka memang orang Rusia.”

“Apa … emm, apa mereka masih hidup?”

“Ya, hidup sehat dan bahagia.”

“Kamu yakin kalau mereka orang tuaku?”

“Aku mengambil beberapa helai rambutmu, lalu melakukan tes DNA. Tesnya cocok, dan kamu tahu, ibumu juga Heterocromia. Dia memiliki kelainan mata yang sama denganmu.”

Fay menghampiri Hannah yang duduk di sofa. Ia turut duduk tepat di sebelah wanita itu, kemudian merebut dokumen yang disodorkan Hannah.

Lembaran demi lembaran ia baca. Semakin lama semakin membuat matanya melebar. Semua tentang orang tuanya terpampang di dalam dokumen itu.

“Aku harus menemui mereka!”

“Tampaknya tidak bisa, mereka mengira kamu telah mati. Maafkan aku, Fay.”

“Kamu tidak menunjukkan data diri dan dokumen tes DNA itu?”

“Tentu saja sudah. Mereka tetap mengelak, seperti menyembunyikan sesuatu.”

“Apa mereka juga mengenal tentang Uncle Geo?”

“Ah, untuk satu itu mereka tidak mengenal Geoffrey.”

Fay terenyak. Kepalanya mendadak berdenyut. Terlalu banyak yang dipikirkannya. Membuatnya merasa limbung, ia berharap semua hanya mimpi.

“Tenangkan dirimu, Fay. Tidak bisakah kamu pura-pura tidak tahu saja? Dan, anggap Uncle Geo merupakan orang yang menyelamatkanmu dari kematian seperti yang orang tuamu sangkakan?”

Fay memijat pelipisnya. Ia bisa saja melakukannya, tetapi setelah mengetahui di ujung dunia lain, orang tua yang selalu diidam-idamkan, ternyata masih hidup. Ingin rasanya saat itu juga ia terbang ke Rusia. Namun, ia tahu Geoffrey tak akan memberikan izin. Pamannya itu akan menahan paspor dan visa miliknya.

Ah, entah siapa dia? pikir Fay, setidaknya Geoffrey telah membesarkannya dengan baik sampai bisa menjadi aktris Hollywood.

“Jadi, apa yang kamu inginkan?”

“Tunggu beberapa bulan lagi sampai aku memperoleh hak untuk mengelola keuanganku sendiri, Hannah. Saat itu, aku akan terbang ke Rusia untuk mengenal orang tuaku.” (*)

Majalengka, 18 Agustus 2022

Ksiti Hanna, ibu dari dua orang putri yang cantik. Memiliki impian menerbitkan antologi cerpen solo pertamanya. Juga, menjadi penulis fantasi Indonesia. Dapat dihubungi melalui FB. Ksiti Hanna Ig. Ksiti Hanna email ksitihanna0@gmail.com.

Editor: Evamuzy
Sumber gambar: pinterest.com

Leave a Reply