Traveling Ala-ala (Bagian 5)

Traveling Ala-ala (Bagian 5)

Traveling Ala-ala (Bagian 5)

Penulis: Erlyna

Si Kodok Pembawa Sial

Aku tidak tahu kutukan apa yang menimpa kami hari ini. Selain mogoknya mobil norak ini, ulah ketiga teman yang aku ajak tak kalah menyebalkan. Membuat suasana yang sudah keruh semakin ‘embuh’. Rasanya seperti kepalaku tanpa sengaja terjatuh ke ampas kopi, dan sekarang mereka bertiga mengaduk-aduknya tanpa henti.

Tiba-tiba dari kejauhan sebuah mobil mendekat. Aku lega, sedikit. Sebab saat penghuni mobil itu turun, perasaanku langsung tidak enak. Benar saja, wajah majalah yang menempel di wajah lelaki itu sontak membuat ketiga temanku menggila, terutama Yura.

Sebentar! Tidak … bukan Yura, ada yang lebih membuatku tidak tenang di antara tatapan teman-temanku itu, Vanila. Entah kenapa sejak tadi gadis gembul itu terus menatap tanpa berkedip.
Shit!
Jangan bilang kalau dia ‘naksir’ dan tersihir oleh laki-laki itu.

“Bagian mana yang bermasalah? Boleh saya lihat?”

Aku terperanjat, lalu buru-buru turun dari kap mobil.
“Itu, bagian kepala.”

Tiba-tiba montir tampan yang mendekat ke arahku mengernyitkan dahi. “Maksudnya?”

“Iya, bagian kepala.”

“Kepala siapa?”

“Ya si kodok ini,” jawabku sambil menepuk-nepuk penutup bagian depan.

Tak lama sang montir tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. Menyebalkan!

“Sudah berapa lama tidak pernah di-service?” tanya laki-laki itu sambil memeriksa mesin.

“Mana kutahu,” jawabku asal.

“Tolong, ya. Kalau punya mobil itu dirawat, dicintai, di—“

“Mas, bisa gak, sih, ngasih ceramahnya nanti saja?” Aku menatap bosan sambil kembali memasang headset.

Laki-laki itu langsung diam, melanjutkan mengotak-atik mesin tanpa bersuara lagi.

“Ken!”
Sebuah cubitan tiba-tiba mendarat di lenganku, diikuti suara Yura yang berbisik.

“Apaan, sih? Main cubit aja.”

“Kamu apa-apaan barusan? Kalau bicara itu yang sopan.” Yura melotot dengan ekspresi dibuat-buat, seolah-olah aku baru saja melukai benda berharga miliknya.

“Apaan, sih.”
Aku mendengkus kesal sambil menatap Yura yang kini memukul-mukul pundakku.

“Oke, sudah beres.”

Tak lama kemudian, kepala montir tampan itu menyembul dari balik penutup mesin, memberi kode padaku. Aku beringsut masuk ke balik kemudi, mengabaikan Yura yang sejak tadi nyerocos entah membicarakan apa. Sepertinya si cantik menyebalkan itu tidak sadar kalau sejak tadi telingaku tersumpal headset bluetooth.

Aku menyalakan mesin dan … berhasil! Lumayan juga kerja si tampan itu. Setidaknya dia bukan menjual wajah majalahnya. Aku lalu meraih ponsel, mentransfer pembayaran langsung dari rekening tabungan.

“Terima ka—“
Aku seketika terdiam, saat melihat montir tampan itu mengabaikanku dan berjalan mendekati Vanila.

“Hah?”
Aku menoleh, si cantik Yura melongo saat melihat montir yang sejak tadi ditaksirnya itu menyapa Vanila lebih dulu dengan suara akrab.

“Ken ….”

“Ha?”

“Montir itu gak buta, kan? Dia tahu, kan, kalau—“
Aku sontak membekap mulut Yura yang mulai melantur. Pandanganku beralih ke Vanila yang kali ini berhenti mengunyah roti sobek dan memasang wajah seperti melihat hantu.

“Van ….”
Aku memanggilnya, berusaha menyadarkan gadis gembul yang sepertinya mulai kesambet.

Tak lama si montir berbalik arah, setelah mengucapkan sepatah dua patah kata yang sukses membuat wajah Vanila memerah.

“Van, kamu baik-baik saja?”
Kenanga yang berdiri paling dekat dengan Vanila segera menghampiri gadis gendut itu dan menepuk-nepuk pundaknya.

“Kenapa dia?” tanyaku sambil menatap Vanila yang memandangi kepergian mobil montir seperti melepas kepergian kekasihnya. Ada yang aneh. Wajahnya yang sejak tadi memerah seperti kepiting rebus, kali ini mulai dihiasi air mata. Lo, dia nangis?

“Van … kenapa?”
Yura yang sejak tadi sebal karena merasa targetnya direbut, kini segera mendekat dan memeluk Vanila, diikuti Kenanga.

Aku melangkah mendekat. Meski tidak tahu pasti apa masalahnya, rasanya kok tidak etis hanya mematung sendirian melihat teman-temanku berpelukan.

Tiba-tiba aku menghentikan langkah. Bukan karena menolak memeluk Vanila, tapi karena wajah si raja makan itu seketika berubah. Benar saja, belum sempat aku mundur, sebuah aroma busuk menyerbu penciumanku bersamaan dengan embusan angin.

“Vanila!!!”

***

Aku kembali menjalankan mobil setelah sejenak menyegarkan pikiran karena terkontaminasi oleh kentut Vanila. Benar-benar edan temanku satu itu.

Sementara Yura yang tadi hampir pingsan sudah mulai sadar setelah wajahnya yang dibalut make up tebal diolesi mentega, eh, minyak kayu putih oleh Vanila yang merasa bersalah. Sementara Kenanga duduk bersandar di sampingku, menempelkan minyak angin aromatherapi ke hidungnya.

“Gak punya perasaan, lo, Van!” ucap Yura lemah. Wajah cantiknya yang berkilauan membuatnya sekilas seperti habis diludahi ramai-ramai.

“Maaf. Gak sengaja. Habisnya kalian meluk erat banget, aku kan jadi kelepasan,” ujar Vanila membela diri.

“Lagian, loe kenapa nangis, sih? Lebai amat,” tanyaku sambil fokus mengemudi.

Sebuah pukulan mendarat di pundakku tak lama kemudian.
“Jahat, lo.” Vanila mengomel kesal.

“Jahat gimana, maksudnya?”

“Masa aku dibilang lebai,” ucap Vanila. Aku bisa melibat wajahnya menggerutu lewat spion dalam. Seketika pandanganku beralih ke foto yang aku tempel di sampingnya. Foto tujuan perjalanan eror ini.

“Kenang, pinjam power bank, dong. Lowbatt ini. Mana Google Map-nya kedip-kedip mulu dari tadi.” Aku menatap layar ponsel dan jalanan secara bergantian. Kesal sendiri dengan sinyal yang tiba-tiba hilang timbul.

“Kesambet juga itu hp,” sela Kenanga sambil menyodorkan power bank miliknya.

“Kesambet gimana?”

“Kesambet montir tadi.”

“Jangan bercanda, deh. Tolong ini masukin kabelnya.”

“Duh, ngantuk, nih.” Kenanga menggeliat lalu memejamkan mata.

Dug!
Sebuah batu yang entah datang dari mana tiba-tiba terlindas dan membuat mobil oleng. Aku yang melepas kendali karena hendak menghubungkan ponsel ke power bank seketika panik.

“Ken!”

“Ken!”

“Ken!!!”

Sebuah benturan keras terdengar tak lama kemudian. Sambil menahan kepala yang pusing akibat membentur setir, aku mengangkat wajah dan terbelalak. Di depan sana, sebuah sungai menyapa dengan airnya yang jernih.

Aku menghela napas lega. Bersyukur sebuah pohon menahan mobil pembawa sial ini agar tidak meluncur bebas ke sungai.

“Ken! Apa yang terjadi?”

Dari kursi belakang, Vanila yang duduk tepat di belakangku bangkit, memeriksa apa yang terjadi.

“Vanila!!!”
Aku menjerit panik saat mobil tiba-tiba bergerak semakin ke depan.

 

Pwr, 10 Oktober 2020

Leave a Reply