Terpapar
Oleh : Freky Mudjiono
Terik. Matahari terasa menyengat. Di antara orang-orang yang berjubel, aku tidak menemukan dirinya. Ah, kenapa juga aku harus mencari? Bukankah ia sudah mengatakannya pada kunjungan terakhir kali? Ia tidak bisa menjemputku saat bebas nanti, karena bertepatan bertepatan dengan giliran kerjanya di sebuah pabrik. Namun, tetap saja ada rasa kecewa yang sedikit mengusik, melihat rekan-rekan yang lain disambut dengan rangkulan hangat para penjemputnya.
Hufft! Kuembuskan napas kuat-kuat. Cukup sudah! Rabi’ah–istriku–telah menanggung beban berat selama satu setengah tahun ini. Tidak hanya harus menghidupi empat anak dan satu ibu mertua yang menderita stroke, tapi ia juga menanggung cemoohan orang-orang. Diriku sama sekali tidak pantas menambah kerepotannya. Toh, aku bukan anak kecil yang tidak tahu pulang sendiri.
Kuraba saku celana, ada selembar uang dua puluh ribu di sana. Rasa malu menyelinap. Itu uang yang diberikan Rabiah untuk ongkosku pulang. Tidak banyak, tapi aku tahu, betapa sulit baginya untuk menyisihkan selembar uang itu di tengah keadaan ekonomi kami yang serba kekurangan.
Sabarlah, Rabi’ah! Kini, aku akan memperbaiki semuanya. Kubulatkan tekad untuk kembali menjadi suami yang bisa diandalkan. Kembali menjadi tulang punggung keluarga, sebagaimana harusnya. Kaki baru saja akan kulangkahkan ketika terdengar seruan memanggil.
“Bang Hanif!” Sesosok wanita bertubuh kurus menyeruak dari kerumunan. Matanya yang cekung melihatku dengan sorot penuh kegembiraan. Aku hampir saja melonjak karena girang dengan kehadirannya.
“Rabi’ah!” seruku gembira. Tanpa memedulikan kanan kiri, ia langsung menghambur dalam pelukanku.
“Alhamdulillah, jadi juga abang keluar,” isaknya. Kaus yang kukenakan mulai terasa basah karena air matanya.
“Sudah … jangan menangis,” ujarku tercekat sambil menepuk-nepuk pelan pundaknya. Berkali aku mengerjap, untuk menyembunyikan mata yang berkaca-kaca.
Rabi’ah menjauhkan wajahnya dari dadaku, lalu menyeka air mata yang tersisa. “Kita pulang, ya, Bang?” ajaknya.
Aku mengangguk. “Ayo, kita pulang.”
Kami melangkahkan kaki meninggalkan tembok tinggi yang telah mengurung ragaku di dalamnya. Tempat yang membuatku hanya mampu menerima kabar kedukaan ibu, istri dan anak-anakku tanpa mampu melakukan apa pun untuk membantu mereka.
“Jadi, kenapa bisa menjemput abang hari ini?” tanyaku memecah kebisuan di dalam angkutan umum yang membawa kami ke sisi lain kota metropolitan ini.
Rabi’ah tak lekas menjawab. Ia malah membuang pandangannya keluar jendela.
“Tapi abang senang. Untunglah Adek datang,” ujarku lagi memasang senyum yang dulu katanya membuat Rabi’ah selalu mencuri pandang ke arahku saat pertemuan remaja Masjid. Ini bukan karena aku ge-er, tapi pengakuan Rabi’ah sendiri setelah kami menikah.
Entah sebab perkataanku barusan, atau senyum yang kuulas, Rabi’ah kemudian tersenyum. Senyum yang semakin lebar setelah kami tiba di rumah dan anak-anak berlari menyerbu diriku.
“Bapak!” si Bungsu berlari paling depan. Jagoanku yang ternyata kini berambut plontos itu, langsung melompat dan menjangkau leherku. Refleks, kupeluk tubuhnya agar tidak melorot jatuh. Tidak lama kemudian, ketiga kakaknya menyusul, memeluk erat, hingga tubuhku sedikit limbung karena berat tubuh mereka. Ah,anak-anakku bertambah besar dengan cepat. Aku menciumi mereka satu per satu.
“Horeee, Bapak pulang. Jadi, sekarang sudah bisa minta beli jajan. Iya, kan, Mak?” sorak bungsuku gembira. Aku tidak terlalu mengerti maksud perkataannya, tapi bisa kulihat Rabi’ah tersenyum kaku.
“Iya … nanti kita jajan, ya?” Janjiku.
Keempat buah hatiku berebut mengucapkan nama-nama makanan yang mereka inginkan. Tidak berbeda jauh dengan makanan yang kuangankan selama dikurung.
“Bakso Mang Adi saja, ya?” Aku berusaha menawar pilihan mereka yang berbeda. Aku tahu, makanan itu disukai oleh keempat anak-anakku. Benar saja, mereka mengangguk setuju.
“Tapi, besok kita makan sate ya, Pak?” Bungsuku masih mencoba mempertahankan makanan yang sedari tadi begitu semangat disebutnya.
Kami tertawa melihatnya, tetapi tidak begitu dengan Rabi’ah. Ia menatapku seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Aku tidak sempat bertanya karena si sulung langsung menarikku.
“Pak, ayo cepat masuk. Nenek sudah menunggu, Bapak dari tadi,” ajak si Sulung seolah tak ingin membuang waktu.
Benar saja, tubuh renta yang tengah berbaring di kasur tipis yang digelar di ruang tengah itu tengah menggerak-gerakkan bibirnya yang miring ke kiri. Namun, tiada ucapan yang jelas terdengar.
“Bu, maafkan Hanif.” Aku tersungkur, memeluknya erat dan menumpahkan tangis di dadanya yang nyaris rata. Di hadapan Ibu, aku tak pernah sanggup menyembunyikan kelemahanku.
“Sungguh Hanif menyesal. Hanif janji tidak akan mengulanginya lagi, Bu.” Aku berjanji di sela isak. Malu. Bagaimana bisa, anak seorang guru mengaji tertangkap mencuri.
Aku memang salah. Aku salah. Satu setengah tahun di penjara, memberikan pelajaran yang pasti kuingat seumur hidup. Bukan karena makanannya yang tidak enak, kasurnya yang tipis dan bau, atau teman satu sel yang tidak segan melayangkan caci maki. Bukan … bukan karena itu.
Namun, itu karena aku tidak bisa melakukan apa pun saat istriku mengabarkan bahwa ibu enggan makan apa pun dan hanya menangis berhari-hari. Aku juga tidak mampu menjawab pertanyaan anakku, apa itu penjara? Mengapa Bapak tidak ikut pulang?
Aku memang memalukan! Entah bagaimana bisa terbujuk rayuan teman untuk merampok sebuah grosir sembako. Ibu … ia pasti malu sekali. Cukup lama aku bersimpuh di hadapan Ibu, sebelum Rabi’ah menepuk bahuku.
“Bang, ayo kita makan dulu. Itu, anak-anak sudah menunggu,” ujar Rabi’ah menunjuk pada anak-anak yang telah duduk manis di meja makan kami yang reot.
“Ibu?” tanyaku.
“Ibu sudah makan tadi sebelum kita sampai. Aira yang menyuapinya,” jelas Rabi’ah menyebut nama si sulung.
Aku mengangguk mengerti, dan berpamitan sebentar pada Ibu. Makan bersama, dengan sambal tanak petai dan teri andalan istriku, bagai mimpi yang jadi kenyataan. Aku takut kebahagiaan ini akan buyar saat aku terbangun.
Syukurlah, ini semua kenyataan.
“Maaf, ya, Dek. Tadi aku mengajak anak-anak jajan, tidak bertanya dulu padamu,” ujarku saat kami berdua di kamar. Rabi’ah mengulurkan sebuah sarung dan kaus yang dilipat rapi padaku.
“Bang … itu ….” Duduk di pinggir pembaringan, Rabi’ah terlihat gelisah.
“Ada apa?” tanyaku sambil membuka pakaian, menggantinya dengan sarung dan kaus yang tadi diberikan istriku itu.
“Sebenarnya, adek tidak mau mengatakan ini. Abang baru saja pulang …,” ujar Rabi’ah sambil menatapku sedih.
Aku duduk di sampingnya, menunggu ia bercerita.
“Tiga hari yang lalu, adek sudah diberhentikan.” Rabi’ah tergugu.
“Dipecat?” tanyaku memastikan.
Rabiah mengangguk lesu. Aku hanya bisa merengkuh bahunya agar ia nyaman menyandarkan tubuh padaku. “Uang di dompet adek hanya cukup untuk belanja tiga empat hari lagi,” bisiknya.
“Jangan khawatir. Ada abang. Besok, abang akan mencari pekerjaan,” hiburku.
“Pekerjaan apa, Bang?”
“Apa saja,” cetusku.
“Yang halal ya, Bang.” Rabi’ah mengangkat wajahnya dan memandangku lekat.
“Iya. Yang halal,” jawabku yakin.
***
Namun, semua berjalan tidak seperti dugaanku. Kebijakan PSBB yang katanya untuk mengendalikan penularan wabah, membuat banyak tempat usaha tutup, mempersempit kesempatanku memperoleh pekerjaan. Wabah yang sempat kusyukuri hadirnya, karena memperpendek masa tahananku, ternyata sangat kejam.
Sudah berhari-hari aku di rumah, tanpa menghasilkan apa pun. Sudah berhari-hari pula, kami makan hanya dengan mi instan yang dimasak hingga sangat mengembang, yang kini melihat bentuknya saja sudah membuatku mual.
“Bang, adek mau ngider dulu, ya? Siapa tau, di komplek depan ada yang membutuhkan cuci gosok.” Rabi’ah berpamitan. Tubuhnya yang semakin lama semakin kurus itu terlihat seakan melayang saat melangkah. Aku tertohok.
Suami macam apa aku ini? Hanya diam di rumah, sementara istriku berkeliling mencari rupiah. Kuseka wajah dengan kasar. Timbul kelebatan pikiran, aku harus membawa uang pulang hari ini. Bagaimanapun caranya! Aku tidak punya pilihan lain.
“Bapak mau pergi?” Suara sulungku tiba-tiba terdengar.
“Iya. Mau mencari pekerjaan,” jawabku tanpa menoleh.
“Pekerjaan apa, Pak?” tanyanya seakan ingin kejelasan.
“Apa saja,” jawabku singkat
“Yang halal?” tanyanya lagi.
Aku tercenung. Perkataan Rabi’ah yang hampir diucapkannya tiap malam kembali terngiang. “Tuhan tidak akan membiarkan kita. Asalkan kita bertahan, mencari rezeki yang halal. Kita pasti bisa melalui ini. Keadaan pasti akan membaik.”
Kekasih hatiku itu, memilih bertahan meski menderita. Lalu, aku?
“Pak, yang halal?” Anak sulungku kembali bertanya. Bening matanya menatapku lekat.
Aku mengangguk. “Iya, Bapak mencari pekerjaan yang halal,” jawabku yakin.
Bismillah ….(*)
Medan, 20 Juni 2020
Freky Mudjiono. Seorang wanita kelahiran tahun 1980 ini memiliki banyak hobi, salah satunya adalah literasi. Ia percaya, menulis adalah cara lain untuk bersumbangsih untuk kemajuan peradaban manusia. Aktif di media sosial Facebook dengan akun Freky Mudjiono.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata