Tentang Seorang Anak yang Biasa Saja
Oleh : Nining Kurniati
Cerita ini tentang seorang putri petani bernama Mita. Wajahnya tidaklah cantik atau imut, sifatnya tidaklah jelek sekali atau baik hati seperti malaikat, layaknya karakter yang sering ditemukan dalam cerita seperti ini, yang ditulis agar pembaca takjub dan mau membacanya sampai akhir. Justru, ia anak dengan keseharian yang biasa saja selayaknya anak yang sering pembaca temui.
Mita akan kecewa saat sesuatu terjadi tidak sesuai dengan harapannya. Contohnya ketika ia belum bisa memiliki ponsel pintar saat panen jagung musim lalu, padahal ia sudah berkhayal tidak akan nebeng belajar lagi lewat laptop Indah, tetangganya. Karena hal itu, Mita menangis sesenggukan di pelukan Mama. Namun sejam berikutnya, ia kembali ceria karena menemukan bacaan cerita pendek dari buku yang dipinjamkan Ibu Guru. Bahkan keesokan harinya, ia sudah lupa seolah tak terjadi apa-apa semalam.
“Ayo bergegas berwudu, Nak. Kita salat berjamaah.”
Mita tidak menjawab, tapi ia segera melakukan perintah ayahnya. Begitu kembali sehabis berwudu, seperti matahari yang terbit di pagi hari, ia tersenyum dan itu meneduhkan hati kedua orang tuanya.
“Kalau ditanya, menjawab ya, Nak. Kan Mita mau menjadi anak yang baik. Menjadi anak yang baik salah satunya dengan menghormati kedua orangtua.”
“Iya, Ma.” Mita menjawab kemudian tersenyum lagi. Dan sebagai hadiah, mama Mita mengecup kening anaknya. Setelah itu, mereka salat berjamaah.
Di pagi hari, sehabis diajari mamanya membaca ayat Al-Qur’an, Mita mendapat tugas memberi makan ayam-ayamnya dan menyiram tanaman hias yang tak seberapa jumlahnya, kemudian ia akan sarapan dengan nasi dan lauk sisa kemarin. Sekali dua kali ia mengeluh pada mamanya karena selama kurun waktu tertentu lidahnya hanya mengecap rasa ikan masak atau yang paling parah hanya ikan asin— pemberian keluarga jauh yang memang sengaja mamanya simpan untuk persediaan—yang dibakar.
Setelah semua itu selesai, jika ia memiliki jadwal kelas dari gurunya, ia akan buru-buru mandi, memakai pakaian apa saja yang terletak paling atas di rak pakaian, dan setelahnya bergegas ke rumah Indah. Kadang ia terlalu cepat, kadang juga terlambat. Kadang Indah senang dengang kedatangannya, kadang juga Indah malah cemberut entah karena apa. Namun, untuk hal-hal yang seperti ini Mita tidak masalah, toh dirinya juga kadang bersemangat dan kadang juga loyo, berharap jadwal bertemu Ibu Guru di laptop itu batal. Pernah sekali waktu itu terjadi, kemudian mereka berdua memutuskan bermain peran guru dan murid. Awalnya kegiatan tersebut berjalan lancar selayaknya suasana ruangan kelas sekolah dasar sebelum pandemi korona terjadi, tetapi begitu Indah memberikan ceklis salah di lembar jawaban Mita dan Mita protes, permainan ajar-mengajar itu pun berhenti. Mendadak saja suasana hati Indah berubah menjadi bosan, ia ingin permainan baru, tetapi Mita tidak menginginkannya, ia masih menganggap permainan peran ini masih seru untuk dilanjutkan.
“Kau tidak asyik,” Indah protes.
“Tidak asyik bagaimana, bukankah aku mengikuti apa maumu. Kamu mau aku menjadi murid, padahal nilai matematikaku lebih tinggi dari kamu. Seharusnya aku yang menjadi guru dan kamu yang menjadi murid.”
“Aku kan tidak bilang kita harus belajar matematika. Kau tahu aku memang tidak lancar dalam kali-kalian.”
“Seharusnya kau bilang tadi tidak mau. Sudah, aku pulang.”
“Ya, sudah pulang sana. Aku mau main sendiri.”
Seandainya kelas tidak batal, aku dan Indah tidak akan bertengkar, pikir Mita ketika ia berjalan pulang melewati kebun kelapa milik tetangganya. Burung layang-layang beterbangan, dua-tiga ekor seolah saling kejar-mengejar, Mita mendongak dan memperhatikan mereka. Matanya berpindah-pindah dari satu titik ke titik yang lain.
“Apa mereka pernah bertengkar? Aku tidak ingin bertengkar, seandainya bisa, tapi aku masih kadang-kadang bertengkar, entah dengan Indah atau Mila atau Faizal.” Mita menghela napasnya sambil menunduk dan berjalan pulang ke rumahnya.
Kini Mita bingung mau bermain apa sendirian. Ia kehilangan semangat untuk melakukan apa pun. Panas matahari juga mulai menyengat. Mau menyusul Mama ke ladang jagung pun, ia masih belum berani berjalan sendirian. Andai ada Indah yang mau menemaniku, pikirnya.
Mita memilih duduk di salah satu anak tangga rumah panggungnya. Di sana ia bertelekan seperti seorang dewasa yang sedang menghadapi masalah hidup yang pelik. Bosan melamun, ia membuka lembaran bukunya, dan di halaman belakang ia menuliskan namanya lima belas kali, lalu belajar membuat tanda tangan sampai dua puluh kali tetapi tak ada yang bagus menurutnya, kemudian ia pun kembali bosan. Dan matahari semakin menyengat panasnya. Butir-butir keringat mulai muncul di hidung dan pelipis anak itu, tetapi ia tidak peduli, malah ia mendongak ke langit. Kumpulan awan kecil berarakan. Dalam pandangan Mita, awan itu kadang berbentuk seekor ayam, kadang sebatang pohon, di lain waktu seperti wajah seorang mama. Lalu ia mengibaskan tangan ke badannya, rupanya anak itu merasa gerah dan haus. Mita kemudian membuka pintu—yang memang kebiasaan masyarakat tersebut tidak mengunci pintu rumahnya—dan masuk sampai ke dapur. Namun sebelum itu, ia mendapati mamanya sedang tertidur di ruang tengah. Ia berhenti, berdiri sebentar mengamati kelopak mata mamanya yang menutup dan dadanya yang naik turun. Lalu, tanpa bersuara ia beralih ke dapur. Di dapur, segelas air putih ia habiskan. Ia merasa puas dan senyuman terpancar di wajahnya. Lalu, terdengar seseorang memanggil namanya. “Itu pasti Indah.” Mita bergegas ke arah pintu. (*)
15 Juli 2021
Nining Kurniati, menyukai buku, bunga dan makanan.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata