Tangis Adelia
Oleh : Niluh Santi
Aku duduk di kursi pesakitan bukan sebagai seorang terdakwa, tetapi sebagai pendamping—sosok perempuan yang duduk di samping. Wajahnya pucat pasi serta kepalanya menunduk, dia memainkan kuku-kuku jari tangan.
Ini pertama kali dia keluar dari kamar gelap, berukuran tiga kali dua meter yang menjadi tempat persembunyiannya selama beberapa minggu belakangan.
Saat ini kami berada di tengah ruangan. Di sisi sebelah kiri di belakang meja kayu ada dua wanita memakai toga, mereka jaksa penuntut. Di sisi kanan ada dua laki-laki, yang satu memakai kemeja putih berpeci, di sebelahnya duduk seorang laki-laki bertubuh besar memakai jas hitam, mereka adalah tersangka serta pengacaranya. Tiga hakim berada di depan kami. Seorang laki-laki sebagai hakim ketua dan diapit dua hakim perempuan.
Ini pengadilan khusus anak-anak, jadi tertutup untuk umum. Hanya ada sembilan orang di ruangan tersebut.
Pertama, Hakim Ketua menanyakan identitas si korban.
“Nama Adelia, usia 15 tahun, betul?” tanya Hakim Ketua. Perempuan di sebelahku menjawab dengan anggukan.
Setelah itu Hakim Ketua menunjukkan baju yang terlihat noda berwarna merah.
“Apakah baju itu milikmu?”
Perempuan itu hanya diam, tertunduk sambil sesekali mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Entah dia mendengar pertanyaan Hakim Ketua atau tidak. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Ketika ditanya kedua kalinya, perempuan itu hanya menggeleng.
Hakim perempuan yang duduk di sebelah kanan mengambil sesuatu dari nampan kayu.
“Adelia, apakah kamu mengenal benda ini?” tanyanya dengan tangan kanan memegang sebilah pisau yang terbungkus plastik, diangkat ke atas serta memintanya untuk melihat.
Perempuan itu diam. Tubuhnya kaku. Aku melihatnya hanya memandang lantai berwarna putih, bergeming. Kemudian memalingkan wajahnya, tidak lagi menghadap hakim, tapi ke arah jaksa.
Kedua kalinya hakim itu menanyakan perihal pisau itu. Dia masih tetap diam. Lama jeda, sebelum Hakim Ketua bertanya lagi.
“Apakah orang yang duduk di sana pernah mengancam kamu menggunakan pisau ini?” tanya Hakim Ketua sambil menunjuk ke arah tersangka, yang terus memandang perempuan itu dengan tatapan membenci dari tempat duduknya. Dia hanya menggeleng, mengangguk kemudian menggeleng lagi.
Dua kali Hakim Ketua terpaksa mengulang pertanyaan untuk memperjelas jawaban. Lagi-lagi perempuan itu hanya menggeleng dan mengangguk, membuat hakim, pengacara, dan tersangka tertawa melihat jawabannya yang tidak jelas.
Panas! Ada sesuatu di dalam diriku yang hendak meledak melihat semuanya. Ingin rasanya aku berlari ke depan, kemudian mengambil pisau barang bukti untuk menikam perut laki-laki berpeci yang sedang tertawa. Wajahnya tampak santai dan senang mendengar jawaban yang ngalor-ngidul.
Atau memotong alat kelaminnya hingga dia tidak bisa lagi menyalurkan berahinya. Apakah dia memiliki rasa takut? Rasa kasihan? Aku rasa laki-laki itu sudah mati rasa. Jika tidak, mana mungkin dia bisa melakukan aksi bejatnya kepada anak-anak yang lemah dan tergolong justru harus dilindungi?
Sebelum masuk ke ruangan laknat ini, aku sudah diberi tahu olah jaksa untuk tidak melakukan hal apa pun. Di sini aku hanya menemani dan mendampingi perempuan itu.
Ketika memasuki ruangan, aku melihat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam persidangan—hakim dan jaksa memasuki ruangan memakai toga. Aku yang awalnya duduk di kursi penunggu berjalan ke arah jaksa dan menanyakan perihal itu.
“Kenapa semua memakai toga? Bukankah dalam undang-undang dikatakan jika pengadilan anak, tidak boleh memakai toga?” tanyaku dengan sedikit kesal.
“Maaf, karena jam persidangan kami begitu padat. Karena habis persidangan ini, kami ada sidang lainnya juga. Jika kami harus berganti baju, itu sangat tidak efisien,” jelasnya dengan tekanan pada setiap kata-katanya.
“Pokoknya biar sidang ini cepat selesai. Dan si anak bisa langsung diajak pulang.” Kali ini jaksa itu menatapku tajam disertai ancaman.
Mataku memandang perempuan yang menunduk duduk di kursi belakang seorang diri, membuat aku mengalah. Perasaan sebagai seorang ibu yang ingin melindungi anaknya dari para pemangsa lebih besar dari pada perdebatan yang tidak berguna.
Selama sidang, jaksa hanya menanyakan tentang apa yang dia ingat dari kejadian itu.
Perempuan itu tidak bisa menjawab. Bahkan aku merasa tak ada satu pun pertanyaan yang bisa dia jawab. Jika ada yang dijawab itu pun perihal namanya. Dia hanya bisa diam dan menangis, membuat aku sedikit geram.
Sial! Aku seperti patung. Diam saja melihat perempuan itu berjuang sendiri dan terpojok. Lebih gilanya, perempuan itu hanya diam saja tak mampu membela dirinya sendiri. Dia kira Tuhan akan datang untuk membelanya, membungkam mulut-mulut orang yang ada di persidangan ini dengan kebenaran yang sesungguhnya?
Tuhan tidak datang ke pengadilan, Adelia! Tuhan sedang tidur di peraduannya! teriakku, namun tertahan di rongga kerongkongan.
Aku hanya menjadi patung tanpa bisa berbuat apa-apa.
Adelia adalah seorang anak distabilitas berusia 15 tahun. Bersama tiga temannya, penyandang tunawicara, menjadi korban kekerasan seksual dan pelakunya seorang tukang ojek. Kejadian itu terjadi satu bulan lalu dan tepatnya di kamar mandi salah satu sekolah luar biasa di kota kecil, bawah kaki Gunung Merbabu.
Terakhir kalinya Hakim Ketua bertanya, “Adelia, apakah kamu mengenal orang yang memakai baju putih dan berpeci itu?”
Adelia menoleh ke arah yang dituju Hakim Ketua. tubuhnya bergetar, keringat bercucuran di pelipisnya dan raut wajahnya seperti mayat hidup. Seketika Adelia membalikkan badan ke samping kiri dan menutup mata. Hakim Ketua mengulang pertanyaan hingga empat kali, tetapi Adelia tidak kunjung membalikkan badan, dia malah menutup telinga dengan kedua tangan dan menangis histeris.
Gigiku bergertak, kepala terasa panas. Teriakan tertahan di rongga mulut.
Anjing!
Tanganku gatal untuk mencekik leher laki-laki berpeci yang duduk tenang tanpa beban, apalagi penyesalan. Aku hanya bisa mencengkeram tepi rok dengan keras—emosiku memuncak.
“Bajingan!” teriakku tak tertahan lagi. Adelia makin ketakutan. Dia menangis meraung-raung sambil memukul kepalanya dengan kedua tangannya.
Semua makin kacau. Pintu tiba-tiba terbuka, beberapa orang masuk memakai seragam cokelat. Ada yang memegang Adelia yang makin histeris. Beberapa orang juga memegang tangan dan tubuhku. Mereka menggiringku keluar. Aku berusaha melepaskan pegangan mereka, berlari ke arah Adelia.
“Tenang, semuanya akan baik-baik saja. Janji Miss buat kamu.” Orang-orang itu kembali memegangku.
Setelah dua jam, akhirnya persidangan usai dan Hakim Ketua mengetuk palu. Memberi pengumuman sidang selanjutnya dengan memanggil saksi lainnya. Sudah tidak aku pikirkan apa keputusan hakim untuk laki-laki bejat tidak berperasaan.
Sebenarnya aku ingin penjahat kelamin itu dihukum mati, tetapi undang-undang perlindungan anak maksimal hukumannya hanya 17 tahun penjara. Dan itu tidak adil!
Kami bergegas ke tempat parkir. Aku memeluk Adelia dan berkata, “Semuanya sudah selesai dan kita lalui ini bersama, Sayang.”
Tak terasa butiran air mata menetes di pipi kami.
Selama perjalanan pulang, wajah dan ekspresi laki-laki berpeci muncul di ingatan.
“Bajingan!” ucapku.
Apakah jahanam itu tidak tahu apa dampak yang sudah diberikannya? Dunia anak-anak yang penuh ceria kini berganti duka. Aku lebih sering melihatnya duduk di pojokan kamar. Diam. Tidak mau keluar kamar, bahkan untuk sekadar mandi saja.
Yang paling membuat hati teriris-iris, ketika Adelia langsung diam. Memeluk kedua kaki, melihat siapa pun yang datang menjenguknya di kamar. Pernah seorang polisi datang untuk minta keterangan. Adelia malah bersembunyi di kolong tempat tidur. Aku harus merayu dan menemaninya selama proses BAP.
Sering kami menangis berdua sambil berpelukan, sekadar memberi dukungan. Sungguh berat dan melelahkan. Ditambah Adelia tinggal bersama sang kakek. Terlahir dari hasil pemerkosaan yang membuat ibunya gila.
Malam-malam penuh tangis dan doa demi pemulihan Adelia, aku lalui dengan sabar. Rasanya ingin menukar tempat sejenak agar beban dia berkurang.
Seminggu tiga kali Adelia melakukan konseling dengan psikolog dan aku selalu menemaninya. Bukan hal yang mudah untuk mengembalikan trauma yang dihadapi, tapi bukan hal mustahil untuk dilakukan.
Kami memulai terapi dengan membuat surat rahasia antara aku, psikolog dan Adelia. Masing-masing menulis surat kisah-kisah kelam dan rahasia kami dan memberikannya kepada orang yang kami bisa percaya. Adelia pasti memberikan suratnya kepadaku. Dari situ Adelia mulai terbuka dari hari demi hari, sudah bisa diajak berkomunikasi.
Awalnya kami melakukan konseling di kamar, setelah Adelia merasa aman dan nyaman. Kami berlanjut ke ruang tamu, kemudian pelan-pelan membawanya ke lingkungan sekitarnya.
Biasanya kami mewarnai atau membuat prakarya sambil bercerita apa saja, diselingi dengan konseling untuk menumbuhkan rasa percaya diri Adelia. Berangsur-angsur Adelia tidak takut melihat orang lain selain wajah kami dan kakeknya.
Ketika kami merasa Adelia sudah mulai tidak takut, aku dan psikolog mengajak teman-temannya datang menjenguk serta memberi dukungan dan semangat. Perasaan diterima, disayang, serta dilindungi membuat rasa percaya diri pascatraumatis yang dialami membuat Adelia bangkit dan mulai berani bersosialisasi d lingkungan sekitar, gereja, dan terakhir dia sudah berangkat sekolah lagi.
Salatiga, 28 Mei 2021
Perempuan yang biasa dipanggil Niluh, lahir dan besar di Denpasar. Perempuan pecinta kopi hitam tanpa gula dan anak-anak yang memiliki impian ingin menjadi penulis dongeng terkenal.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata