Tak Terlampau Jauh

Tak Terlampau Jauh

Tak Terlampau Jauh
Oleh : Fathia Rizkiah

Aku kembali ke tempat ini, tempat favorit yang tak pernah kulewatkan jika berkunjung. Duduk di kursi kayu panjang di pinggir danau sambil menatap genangan air yang tenang dan beberapa hewan yang mengapung di atasnya. Tetapi itu dulu, sekarang berbeda.

Tempat ini sudah banyak berubah. Hamparan tanah hijau yang dulu hanya berupa lahan kosong dan luas, kini dipadati pedagang makanan dengan stan sederhana. Aku melirik sekilas kertas menu yang dibiarkan tergeletak di atas meja, rata-rata makanan yang mereka jual sama: bakso, mi ayam, dan aneka jus buah.

Aku melanjutkan jalan sambil menunduk, menatap ujung sepatu sekaligus paving block yang berbaris sangat rapi menopang setiap pejalan kaki. Sekilas, kenangan masa lalu menari-nari di kepala. Dulu tidak seperti ini, langkah kecil kami ditopang tanah berhiaskan rerumputan tipis. Yang apabila hujan tiba, genangan air menganak di mana-mana. Momen seperti inilah yang sangat dinanti-nanti. Aku dan teman-teman berlomba mencari genangan air yang bersembunyi di balik rerumputan, lalu bila salah seorang dari kami menemukan genangan air lebih dulu, kami tak akan segan menendang genangan air tersebut ke siapa pun yang berjarak paling dekat dengan kubangan. Tidak ada dendam di antara kami. Kami justru tertawa terpingkal-pingkal.

Teman yang terkena cipratan air semakin semangat mencari kubangan air yang lain, ia ingin membalas dendam—dalam artian bercanda. Ada salah satu temanku, bila ia terkena cipratan air, ia akan langsung berlari ke arah danau sambil membawa sampah gelas plastik yang tergeletak sembarangan. Ia menyiduk air hingga memenuhi kapasitas gelas plastik, lalu disiramkan ke seluruh teman-teman, padahal kami sudah basah kuyup karena siraman air hujan.

Tanpa sadar aku tersenyum. Itu sudah lama sekali, mungkin sudah sepuluh tahun yang lalu. Sekarang, banyak dari teman-temanku sudah tidak tinggal di desa ini lagi, mereka sudah pindah ke kota lain dengan pasangan masing-masing. Mungkin ada beberapa yang masih menetap, tapi aku tidak tahu siapa saja dan di mana lokasi persis rumah mereka. Masih sama dengan dulu atau sudah berpindah tempat?

Aku menatap ke depan, kepada pemandangan indah lainnya yang menyambut kedua bola mataku hangat. Itu danau, yang dulu hanya disinggahi bapak-bapak penenteng alat pancing, kini disulap menjadi wahana tempat bermain. Banyak sekali perahu berbentuk bebek warna-warni parkir di pinggir danau.
Aku tersenyum, mungkin nanti aku akan mencoba menaiki salah satu perahu bebek tersebut.

“Friska!”

Aku terkesiap, suara itu … aku lekas menoleh, memastikan tebakanku benar perihal sang pemilik suara. Benar dugaanku, sosok itu ada di sana, ia sedang memanggil bayanganku sepuluh tahun lalu.
Friska kecil datang mendekat. “Kenapa?”

“Jangan pulang dulu,” ujar Aqif.

Friska kecil menoleh, menatap kepergian teman-temannya yang berangsur-angsur menjauh. Ia tak tenang, mimik wajahnya menyiratkan kekhawatiran, sesekali kakinya bergerak-gerak tidak nyaman. “Tapi aku takut Ibu khawatir.”

Aqif tersenyum. “Nggak akan, cuma sebentar, kok.” Aqif meraih pergelangan tanganku yang mungil. “Duduk di kursi itu yuk.” Ia menunjuk satu-satunya kursi kayu di pinggir danau.

Friska kecil tidak bisa mengelak, ia berjalan pelan mengikuti tarikan tangan yang membawanya semakin dekat dengan danau.

“Duduk sini.” Aqif menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.

Friska kecil mengangguk pelan.
“Eh sebentar,” cegah Aqif sebelum aku benar-benar duduk.

“Kenapa?”

Aqif tak menjawab, tangannya mengibas permukaan kursi dengan cepat. “Sudah bersih, silakan duduk.”

Friska kecil tersipu. “Terima kasih.” Aku menahan bibir untuk tersenyum. Itu pertama kalinya Aqif bertindak aneh padaku. Dan kejadian aneh seperti itu berlangsung hingga hari-hari selanjutnya.

Waktu itu aku dan teman-teman sedang bermain petak umpet. Saat sedang menentukan siapa yang harus menutup mata sambil berhitung, hanya telapak tanganku yang menampilkan kulit berwarna gelap. Itu artinya, aku harus menutup mata sambil berhitung, bila hitungan sudah selesai aku harus mencari di mana teman-temanku bersembunyi.

“Friska jaga!” teriak teman-temanku.

Friska kecil mengangguk. “Ngumpet sana, tapi jangan jauh-jauh, ya!”

Teman-temanku berpencar, berlarian ke sembarang arah. Sambil menghadap dinding, aku menutup mata erat dan mulai berhitung hingga angka dua puluh. Sepanjang berhitung, aku merasa ada seseorang berdiri tepat di belakang badanku. Hmmm, aku tahu, ini pasti taktik beberapa temanku yang malas bersembunyi. Mereka diam saja di belakang punggungku dan ketika aku selesai berhitung, serempak mereka akan menepuk dinding sambil berucap, “Aspel!”

“Sembilan belas, dua puluh.” Aku menghela napas lelah sebelum membalikkan badan. Saat ini teman-teman yang berada di belakang punggungku pasti sedang bersiap menepuk dinding. Huh, dasar manusia-manusia curang!
Prasangkaku tidak terbukti, begitu menoleh tidak ada siapa-siapa di belakangku selain Aqif, ia berdiri sambil tersenyum.

“Aqif? Nggak ngumpet?” tanyaku.

Aqif menggeleng, “Lagi malas ngumpet. Buruan aspelin, biar habis ini aku yang jaga.”

Friska kecil terdiam.

“Buruan, keburu yang lain aspel sendiri, nanti kamu jaga lagi lho.”

“Nggak apa-apa habis ini kamu yang jaga?” tanyaku ragu.

Aqif tertawa. “Kamu lama, ih.” Ia mengarahkan tanganku untuk menepuk dinding. “Bilang aspel,” ujarnya menyuruhku.

Friska kecil mengangguk patuh. “Aspel.”

“Nah, gitu, dong. Yuk, cari yang lain. Aku tau mereka ngumpet di mana.”
Friska kecil mengangguk seraya tersenyum malu. Hatinya mulai terasa aneh.

***

Keesokan harinya, bukan hanya Aqif yang bersikap aneh, tapi teman-temanku juga. Aku begitu terkejut, begitu keluar dari sekolah mereka mencegatku di gerbang. Tumben sekali mereka semua datang ke sekolahku, mengingat sekolah kami berbeda-beda, dan hanya aku yang tidak memiliki teman yang sama dalam satu sekolah.

“Ada apa?” tanyaku berbisik.

“Nggak apa-apa, cuma mau jemput kamu aja. Yuk, naik,” jawab Cynthia.

Setelah aku menaiki sepedanya, kami semua melaju pergi. Roda sepeda melaju cepat, membawaku menuju lapangan hijau luas yang posisinya dekat dengan danau, tempat biasa kami bermain. Aku sempat protes ingin pulang dahulu mengganti baju, tapi Cynthia tidak menuruti, ia terus saja menggowes mengikuti haluan sepeda teman-temanku yang lain.

Di danau sudah ada Aqif, sedang duduk membelakangi kami di kursi kayu. Aku sempat panik, Aqif tidak memakai seragam sekolah, apa ia membolos?

“Aqif, kamu nggak sekolah?” tanyaku menghampirinya. Bersamaan dengan itu teman-temanku bergegas mendekati Aqif di kursi kayu. Mereka bertepuk tangan sambil menyuruh Aqif menyatakan sesuatu padaku. Aku tidak mengerti, apa yang mereka maksud?

Aqif mempersilakanku duduk di sebelahnya, ia menatapku dan mengungkapkan bahwa ia menyukaiku dan memintaku untuk menjadi pacarnya.

***

Saat itu Friska kecil belum benar-benar mengenal Aqif, baru seminggu yang lalu Aqif menembak, sekarang sikapnya sudah berubah, tak sehangat kemarin saat masa pendekatan. Ia lebih ketus dan tidak pernah mau tahu. Bila aku bercerita, ia hanya menanggapi dengan tawa yang terlihat terpaksa.

“Aqif, kamu kenapa?”

“Kenapa apanya?” Nadanya terdengar sangat ketus.

“Kamu bosan, ya?”

Aqif bangun dari duduknya, “Aku mau pulang. Kamu pulang sendiri ya.”

Friska kecil mengangguk, “Hati-hati ya.”

Diam-diam aku membuntuti Aqif, aku sangat curiga kenapa Aqif bertindak sangat ketus? Mengingat ini pertama kalinya Aqif berlaku seperti itu. Kecurigaanku terjawab, ternyata Aqif sedang menyukai perempuan lain, perempuan itu adalah Meyla, sepupuku sendiri!

Aku berlari, mencari tempat sepi untuk menumpahkan segala rasa sakit yang kini menghimpit dadaku. Hingga langit berwarna jingga, hatiku belum juga lega justru semakin sesak. Meyla memarkirkan sepeda mininya di lapangan, ia berlari ke arahku.

“Friska, kamu ngapain di sini? Ibumu di rumah khawatir.”

Aku tak menggubris. Air mataku semakin deras mengalir. Kenapa harus dengan sepupu dekatku?

“Fris, ayo, pulang. Sebentar lagi azan Magrib. Kamu ngga kasihan sama ibumu?”

“Aku bantu berdiri, ya.” Meyla mencoba memapah lenganku.

Aku menepisnya, “Aku bisa pulang sendiri!”

***

Aku tertawa, lucu mengingatnya. Kenapa cinta pertamaku terlihat seperti setting-an? Bila dijadikan drama sepertinya bagus juga.

“Mama!”

Aku menoleh, anak bungsuku datang sambil menunjuk bebek perahu yang mengapung di atas danau. “Mama mau naik itu.”

“Iya nanti kita naik sama-sama, ya.”
Anakku melompat-lompat kegirangan. Ia berlari menghampiri kakaknya.

“Ma.” Suamiku menepuk bahuku. “Mau ke rumah dulu atau naik bebek-bebekan dulu? Mas Aqif sama Mbak Meyla sudah datang menjemput.”

Aku menoleh. Benar, mereka ada di sana. Berdiri beberapa meter di belakangku dan Mas Wahyu. Meyla tampak merangkul lengan Aqif manja, sesekali tangan kanannya mengelus perut yang sedang mengisi lagi untuk keempat kalinya.

Setelah kejadian mengenaskan waktu itu, aku pindah rumah. Setahun setelahnya kudengar Aqif dan Meyla dipaksa menikah, karena saat itu Meyla hamil sebelum keduanya resmi menikah. Aku bersyukur kejadian itu tidak terjadi padaku. Dan aku merasa pilihanku menjauhi Aqif saat Aqif sedang menyukai sepupuku sendiri adalah pilihan yang tepat. Bayangkan jika aku masih tetap bersamanya, apakah saat ini aku yang akan menggantikan posisi Meyla? Dibuang keluarga dan tidak diakui sebagai anak selamanya. Satu-satunya orang yang masih mengakuinya hanyalah ibuku.
Kini mereka tinggal di rumah ibuku. Merawat ibuku yang sudah sangat tua sebagai ucapan terima kasih yang tak terbatas. (*)

 

Fathia Rizkiah, pecinta kucing oren yang tinggal di kota Tangerang. Masih dalam tahap belajar mari dukung ia dan berikan komentar yang membangun. Sapa Fathia di Instagram @fath_vhat

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply