Suamiku Bukan Suamiku 6
Oleh: Tutukz Nury Firdaus
Aku merasa ada udara segar yang mengalir masuk ke rongga hidungku bersamaan dengan aroma obat yang kental melalui sebuah alat bantu. Kepalaku pusing. Aku mencoba membuka mata, tapi pandanganku kabur sehingga aku mengerjapkannya sebentar.
Ah… rasanya leherku sakit bila bergerak sedikit saja. Di siku tangan sebelah kanan dan lututku terasa perih. Juga dekat pergelangan tangan, akibat jarum infus. Entah sudah berapa lama aku berada di ruangan ini.
Aku mencoba mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan dan menemukan seseorang yang tengahtertidur di bibir ranjang sebelah kiri, dengan wajah yang ditenggelamkan di antara kedua tangannya.
“Dimana aku?”aku bertanya pada diriku sendiri.
Seseorang itu terbangun. Dia Mas Pras, suamiku. “Ratih, kamu sudah sadar?”
Ada pancaran gembira di guratan wajahnya yang letih. Dia berlari menuju telepon yang berada di meja sebelah tempat tidurku, menekan tombol dengan kasar karena terburu-buru. Tak lama kemudian seorang pria berjas putih dan berkalung stetoskop datang, diikuti seorang wanita muda dengan pakaian serba putih, membawa peralatan yang entah apa itu di tangannya.
Dengan cekatan dokter melakukan pemeriksaandibantu wanita muda yang berdiri di sampingnya. “Alhamdulillah, Ibu Ratih sudah melewati masa kritisnya,”ucapnya ramah.
“Alhamdulillah.”
“Baiklah, saya permisi dulu.”Dokter dan wanita muda itu berlalu.
“Terima kasih, Dokter,”ucap Mas Pras setelah mengantar mereka sampai ke pintu.
Mas kembali menghampiriku, menatap wajahku dengan tatapan penuh syukur. “Sayang, akhirnya kamu sadar juga. Ya Allah, terima kasih,” ucap Mas Pras lembut, membuatku risih mendengar ucapannya.
“Aku keluar dulu, ya. Mau telepon sebentar,” lanjutnya dengan senyum tipis yang tersungging di bibirnya.
“Sejak kapan mau telepon pamit dulu?” kataku dalam hati.
Dari balik kaca jendela aku bisa melihat dia sibuk menelepon, sepertinya ada beberapa orang yang dihubunginya. Sebentar kemudian dia masuk dan duduk di tepi ranjang.
“Berapa lama aku di sini?” tanyaku dengan suara parau.
“Kamu mengalami gegar otak karena benturan keras di kepala.Beruntung waktu itu kamu pakai helm. Udah dua hari kamu tidur,” ucapnya dengan tatapan sendu.
Tiba-tiba pikiranku melayang pada Aya dan Alya. Bagaimana nasib kedua anakku ketika aku tidak sadar. Bagaimana Alya? Dia pasti mencariku. Aku tidak pernah meninggalkan dia selama ini.
“Aya, Alya,” ucapku terbata.
“Tenang, Sayang. Mereka ada sama Ibu—mertuaku—dan Mama—ku.”
Tak lama kemudian Ibu datang, membawakan sekeranjang buah kesukaanku, apel. Meletakkannya di meja, samping telepon.
“Alhamdulillah kamu sudah siuman, Nak,” sapanya sambil mecium pipiku.
“Aya dan Alya…,” belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, Ibu sudah menyela.
“Sudah jangan banyak bicara, kamu harus istirahat supaya bisa cepat pulang ke rumah. Mereka baik-baik saja.”
Aku menuruti ucapan Ibu untuk tidak banyak bicara. Tiba-tiba saja ingatanku menerawang jauh. Ah, adegan saat Mas Pras berjalan beriringan bersama wanita itu, cara dia bicara, cara dia menatap wanitanya tergambar jelas di mataku. Segera rasa benci yang amat dahsyat menyeruak dalam hatiku. Aku berpikir ini semua karena Mas Pras sehingga aku harus terbaring lemah. Anak-anakku terlantar tidak terurus.
Seperti ada api yang membakar tubuhku. Dadaku terasa sesak mengingatnya. Kepalaku kembali pusing. Aku menjadi muak melihat wajah Mas Pras.
“Keluar!!!”aku berteriak histeris.
“Ratih, kamu kenapa, Nak?” Ibu kaget mendengarku berteriak.
“Suruh dia pergi, Ibu. Aku benci. Aku gak mau lihat dia ada di sini!”teriakku sambil menunjuk ke arah Mas Pras.
“Ratih, ada apa? Ratih ….” Mas Pras bukannya keluar, ia justru menghampiriku dengan wajah terheran-heran.
“Pras, sudah! Cepat panggil dokter!” bentak Ibu kepada Mas Pras.
Pria berjas putih itu datang lagi dan memberikan sebuah suntikan padaku.
“Ibu Ratih baru siuman, jadi tolong jaga emosinya agar tetap stabil,” ucap pria itu kepada Mas Pras dan Ibu sebelum pergi.
Sesaat kemudian aku merasa tidak bertenaga. Rasanya mengantuk dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
***
Aku terbangun. Pusingku mulai berkurang. Pun selang oksigen telah dilepas. Luka di tangan dan di lututku sudah tak senyeri kemarin. Hanya leher bagian belakang saja yang masih terasa sakit bila digerakan. Tapi sekarang aku sudah bisa menggerakkan badanku dengan agak leluasa.
Dari balik tirai jendela yang transparan aku dapat melihat cahaya matahari yang masih remang. Jam dinding menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit. Mas Pras masih tertidur di sofa rumah sakit. Biasanya Mas Pras bangun sebelum subuh. Mungkin ia terlalu letih. Siang hari bekerja dan malamnya harus menjagaku. Aku tak tega membangunkannya. Dia tampak semakin kurus dan wajahnya kusam.
Aku bingung dengan perasaanku terhadapnya. Di satu sisi aku sangat mencintainya dan tak pernah ingin berpisah, tapi di sisi lain aku sungguh muak jika ingat pengkhianatan yang sudah dia lakukan. Rasa rindu dan benci yang datang silih berganti, membuat diriku terpasung dalam kebimbangan antara berpisah atau terus bertahan.
Dia menggeliat. Kemudian membuka mata, melihat ke arahku. Aku segera mengalihkan pandanganku.
“Sayang, kamu udah bangun?” tanyanya sambil berjalan ke arahku. Aku melengos tak menjawab.
“Aku mau salat dulu ke musala, ya?”Aku masih tak menjawab hanya mendengus pelan.
“Ya udah, aku salat di sini aja.”
Aku tak mengerti mengapa dia berubah pikiran. Apa dengusanku tadi terdengar seperti sebuah larangan baginya?
Dia berlalu ke kamar mandi, kemudian mengenakan sarung dan menghamparkan sajadah di area kosong antara sofa dan ranjangku. Selesai Mas Pras salat ada seorang perawat datang membawa sebuah bak aluminium tanggung, entah apa isinya.
“Apa itu, Mbak?” tanyaku lirih.
“Air hangat, Bu, untuk seka,” perawat itu menjawab sembaritersenyum, kemudian pergi setelah meletakkan bak aluminium itu di dekat kaki ranjangku.
Mas Pras mengambil bak tersebut, meletakkan di sampingku, kemudian ke kamar mandi dan keluar dengan membawa sebuah waslap. Aku mengerti apa yang akan dia lakukan. Dia akan menyeka tubuhku.
Mas Pras mencelupkan waslap itu kemudian memerasnya.Belum sempat tangannya sampai ke wajahku, aku mendorong bak aluminium itu, dan ….
Praaang!!!
Bak itu jatuh. Airnya tumpah dan membasahi sebagian sarung yang Mas Pras kenakan. Dia nampaknya terkejut dengan apa yang aku lakukan.
“Ratih, kau…,”ucapnya tertahan.
Lagi-lagi aku tak menjawab, hanya membuang muka. Aku tak sudi jika harus disentuh olehnya. Aku membayangkan setelah menyentuh wanitanya dia menyentuhku. Jijik.
Mas Pras keluar setelah mengganti sarungnya.Entah kemana, dia tidak bilang padaku. Mungkin dia kesal.
Beberapa saat kemudian dia kembali bersama petugas kebersihan. Sementara petugas itu membersihkan lantai,Mas Pras duduk di sofa, melihat handphone-nya sebentar, kemudian menatapku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan.
Mas Pras mendekatiku setelah petugas tadi selesai membersihkan ruangan ini. “Ratih, kamu marah padaku?”
Aku bungkam,enggan menjawab pertanyaannya. Hanya membuang muka sama seperti tadi.
“Assalamualaikum.” Rupanya ada orang yang datang.
“Waalaikumussalam,” Mas Pras menjawab salamnya.
Seorang laki-laki muda berbadan tegap dengan wajah oriental masuk ke ruanganku. Dari seragam dinas dan atribut yang ia kenakan, aku tahu bahwa dia seorang pengajar. Mas Pras menyambut tamu itu dengan ramah.
“Mbak Ratih, kenalkan, saya Pandu,”dia memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan kanannya.
Aku tersenyum dan mengangguk, tak merima uluran tangannya, hanya menangkupkan kedua tanganku di depan dada dengan susah payah. Tampaknya dia mengerti.
“Oh, Maaf,” ucapanya sambil menarik kembali uluran tangannya.
“Pak Pandu ini orang yang menabrak kamu,” Mas Pras menjelaskan siapa laki-laki yang berdiri di hadapanku ini.
“Silakan duduk dulu, Pak,”aku mempersilakan pria bernama Pandu itu untuk duduk di kursi yang ada di dekat ranjang.
“Ini, Mbak,saya bawakan bubur ayam untuk sarapan. Semoga Mbak Ratih suka,” ucap pria itu sambil menyerahkan bungkusan yang dibawanya. Mas Pras menerima bungkusan itu dan meletakkannya di meja dekat telepon.
“Terima kasih, Pak. Malah merepotkan ini,” kataku basa-basi.
“Jangan panggil Pak. Berasa tua saya. Haha…,” ucapnya diiringi tawa.Padahal bagiku tak ada yang lucu.“Panggil saja Pandu,” lanjutnya.
“Maaf, Mbak. Karena saya, Mbak Ratih harus dirawat seperti ini,” ucap pria berwajah oriental itu penuh penyesalan.
“Gak, kok. Bukan karena itu aja. Ada hal lain yang membuat saya seperti ini,” jawabku sambil melirik tajam ke arah Mas Pras. Namun, dia memasang wajah seolah-olah tak mengerti.
Handphone Mas Pras yang tergeletak di meja dekat sofa berdering. Dia segera melihatnya.
“Mas Pandu, saya tinggal dulu,” ucapnya sambil memberi isyarat bahwa ia hendak menerima telepon.
Mas Pras keluar. Dari balik jendela aku dapat melihat dia duduk di kursi taman yang ada di depan kamarku. Aku berpikir kenapa dia sampai pergi sejauh itu. Seberapa rahasiakah pembicaraannya itu? Aku tidak peduli.
Selama Mas Pras bicara di telepon. Aku mengobroldengan Pandu. Ternyata dia orang yang lucu. Ingin sekali aku tertawa karena cerita-cerita konyolnya, tapi jika tertawa leherku masih terasa sakit. Jadi aku hanya tersenyum saja.
Dia bercerita kenakalan saat dia kecil dan pengalamannya sebagai orang tua tunggal, karena istrinya meninggal saat melahirkan anak pertamanya.Aku mendengarkan cerita Pandu dengan santai sambil menikmati bubur ayam yang dia bawa. Karena makan sambil mendengarkan cerita, tidak terasa aku hampir menghabiskan satu porsi bubur ayam itu. Padahal biasanya aku tidak nafsu makan.
Setengah jam kemudian Mas Pras kembali. Dia bersungut-sungut, lalu mengambil kotak bubur ayam yang belum selesai aku makan dengan kasar.
“Jangan makan sembarangan. Kamu masih belum sepenuhnya pulih,” kata Mas Pras yang membuat aku kaget, begitu pula Pandu.
“Mas Pandu, ini sudah setengah tujuh, loh,” Mas Pras memperingatkan Pandu yang bagiku lebih terkesan seperti mengusir secara halus.
“Oh, iya, saya lupa. Nanti saya terlambat. Saya pergi dulu ya, Mbak, Mas,” pamitnya sambil menyalami Mas Pras. Dia berlalu. Mas Pras tersenyum kecut melihat kepergian Pandu.
“Ngapain sih, kamu senyum-senyum kayak gitu pasngobrol sama dia?” tanyanya sewot.
Aku tak menjawab, hanya keheranan, tak mengerti apa maksudnya.
“Kalau berantem sama dia, marah-marahnya jangan sama saya,” batinku.
“Kenapa? Gak boleh?” tanyaku kesal.
“Jelas, gak boleh!” dia menjawab dengan nada yang semakin meninggi. “Dia itu duda,” lanjutnya lagi.
“Terus masalahnya apa?”Aku semakin tak mengerti mengapa tiba-tiba ia marah-marah tak jelas.
“Kamu istriku. Ngerti?” Kali ini aku tersenyum mendengar kata terakhirnya. Rupanya dia cemburu.
***
Aku merasa sudah bosan berada di rumah sakit, tapi dokter belum mengizinkan untuk pulangsebelum pusing dan sakit di leherku benar-benar hilang. Rasa rindu pada kedua buah hatiku sudah tak terbendung lagi. Membuatku tak bisa tidur malam ini.
“Kok belum tidur?” tanya Mas Pras sambil tiduran di sofa.
“Aku kangen sama Aya dan Alya,” kali ini aku merespon pertanyaannya.
“Sudahlah, mereka baik-baik saja. Jangan khawatir,” ucapanya sambil beranjak duduk.
“Tapi aku benar-benar kangen, Mas.” Aku terisak merasakan rindu yang mendera.
Mas Pras mendekat dan memelukku. “Ratih, maafkan aku. Semua ini terjadi karena aku. Kamu pasti marah sama aku. Tapi percayalah, Ratih, semua yang kamu lihat gak seperti yang kamu pikirkan.”
“Lalu aku harus berpikir gimana, Mas, setelah semua yang aku lihat dan aku alami?”
“Aku ngerti, Ratih.Aku ngerti. Saat aku lihat kamu ada di UGD, aku merasa sangat berdosa udah buat ibu dari anak-anakku, orang yang seharusnya aku lindungi harus berjuang antara hidup dan mati karena aku. Apa lagi saat kamu gak sadarkan diri,kamu terus manggil namaku. Saat itu baru aku sadar betapa besar cintamu padaku,” bisiknya lirih. Aku berusaha melepaskan pelukannya.
“Aku mohon sama kamu, tolong jangan hukum aku dengan kemarahanmu. Maafin aku.” Ada bulir bening yang mengalir dari sudut matanya.
“Lalu dia?”
Mas Pras menghela napas, menggeleng pelan.“Entahlah.”
Jawaban terakhirnya yang terkesan menggantung membuatku kembali marah. Namun saat melihatnya menangis, memohon maaf padaku, amarah itu hilang entah kemana.
“Tidurlah, besok aku akan minta Mama untuk membawa Aya kemari,” ucap Mas Pras sambil mengusap air matanya.
“Alya?”
“Ini rumah sakit. Alya masih kecil. Akan sangat berisiko membawanya kesini.”
“Kamu harus cepat sembuh supaya bisa cepat pulang ke rumah. Makan yang banyak, istirahat yang cukup, dan….”
“Dan?”
“Dan gak usah berpikir macam-macam,” jawabnya sambil membenahi posisi bantal dan merapikan selimutku.
(Bersambung)
Tutukz Nury Firdaus, lahir di Banyuwangi. Ibu beranak dua ini adalah seorang guru yang saat ini aktif mengajar di pulau antah berantah. Dia menulis, untuk membunuh rasa sepinya yang harus hidup sendiri tanpa anak dan suami di tempat tugas.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita