Senja Bersama Bapak

Senja Bersama Bapak

Senja Bersama Bapak
Oleh: Aisyahir

Senja adalah saat yang paling aku tunggu. Kenapa? Sebab, hanya di waktu itulah aku bisa menghabiskan waktuku bersama Bapak. Hingga waktu senja bersama Bapak, begitu berkesan bagiku.

Berasal dari keluarga yang tak mampu, membuat Bapak lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah. Tak kenal lelah dan tak pernah putus asa mencari nafkah penghidupan untuk keluarga kecilnya. Di umur senjanya, ia harus bekerja keras. Selain mencari nafkah, Bapak juga harus merawat Ibu, serta membantuku yang memiliki kekurangan.

Kadang, aku merasa tak berguna dalam hidup ini. Bukannya membantu, aku malah menjadi beban untuk Bapak dan Ibu. Setiap hari mereka harus membantuku makan dan minum. Bahkan hal sekecil itu pun aku masih memerlukan bantuan. Rasanya benar-benar tak berguna.

Tapi, aku tak pernah menyalahkan takdir akan hal ini. Aku memang memiliki kekurangan, tapi Bapak dan Ibu ada untuk menjadi pelengkapku. Tak pernah sekali pun mereka mengeluh tentangku. Bahkan, mereka sangat menyayangi dan memperhatikanku. Rasanya aku melupakan segala keluh kesahku saat bersama mereka.

***

Pagi ini sebelum matahari menampakkan sinarnya, Bapak telah berpamitan untuk pergi bekerja. Bukan pekerjaan istimewa, hanya bekerja sebagai pedagang kayu bakar di desa seberang. Berangkat pagi dan akan pulang sore hari.

“Bapak berangkat dulu. Jaga ibu kamu dengan baik, ya, Nak. Doakan Bapak, supaya pekerjaan Bapak dilancarkan,” pamit Bapak padaku. Aku hanya mengangguk. Bapak pun hanya tersenyum menanggapiku.

“Jangan lupa makan, Nak. Selalu ingatkan ibumu di saat jam makanmu telah tiba,” pesan Bapak, kemudian mengecup keningku. Tak lupa ia membantu mengikat rambut panjangku, sama seperti kebiasaannya sebelum berangkat kerja. Bahkan, hal itu pun tak bisa aku lakukan.

“Iya, Pak. Bapak hati-hati di jalan,” balasku. Tak lupa senyum manis selalu kuberikan padanya. Hanya itulah yang mampu kuberikan. Bapak hanya mengangguk, lalu mulai mengayuh sepeda tuanya melewati jalan yang dipenuhi bebatuan. Aku sendiri masih setia di tempat ini, menatap kepergian Bapak yang semakin menjauh.

Aku kembali masuk ke dalam rumah setelah bayangan Bapak benar-benar telah menghilang dari pandanganku. Saat ini aku hanya terduduk di samping Ibu. Duduk terdiam menatap langit-langit rumah kecilku. Begitu banyak cahaya-cahaya kecil yang terlihat. Pastilah di musim hujan celah-celah itu akan menjadi tempat masuknya air. Dan ketika tetasan air itu mulai masuk, maka tergenanglah rumah kecil kami.

Semua pekerjaan rumah telah Bapak kerjakan. Termasuk juga memasak dan mencuci. Bapak memang sangat luar biasa bagiku. Ia bisa melakukan banyak hal, terutama mengurus rumah serta para penghuninya.

“Sudah makan, Nak?” tanya Ibu. Sesaat aku memandangnya. Tatapannya begitu menenangkan, dan senyum itu … selalu saja terukir setiap saat.

“Sudah, Bu,” jawabku berbohong. Aku tak ingin merebut waktu istirahat Ibu hanya untuk menyuapiku.

“Kalau begitu istirahatlah, Nak. Ibu juga ingin istirahat,” kata Ibu, lalu kembali menutup kedua kelopak matanya. Aku hanya mengangguk, lalu ikut berbaring di dekatnya. Di atas tempat tidur yang hanya beralaskan kasur tipis yang berukuran sedang. Di sinilah kami tidur bersama. Menghabiskan malam yang begitu tenteram.

***

Senja telah tiba. Dan inilah saat yang paling aku tunggu-tunggu. Cahaya jingga mulai menghiasi bumi. Dan sedari tadi, aku telah duduk manis menikmati senja di teras rumahku. Membiarkan rambut dan lengan baju panjangku tertiup angin. Menari-nari mengikuti arah angin tanpa dapat dikendalikan.

Aku terus memandang ke arah langit. Memandang matahari yang sebentar lagi akan terbenam. Burung-burung mulai berterbangan. Melewati cahaya jingga yang terpancar dari sinaran matahari. Aku terdiam, berharap Bapak akan segera datang untuk kembali menemaniku menikmati senja seperti biasanya.

“Maaf, Bapak terlambat.” Sesaat aku mengalihkan pandanganku. Mencari si pemilik suara yang kehadirannya telah lama kutunggu. Tak butuh waktu lama untuk menemukannya. Hanya sesaat aku bisa menemukannya. Bapak telah duduk di sampingku saat ini.

Aku tahu tubuhnya pasti lelah saat ini. Tapi wajah Bapak tak sedikit pun menunjukkan kelelahan di sana. Hanya ada senyum yang selalu tampak menghiasi. Bapak memang selalu seperti ini.

“Rasanya begitu menyenangkan. Sebab, Ais bisa menikmati waktu senja bersama Bapak,” kataku sambil menatap langit yang mulai menampakkan kegelapan. Sepertinya waktu senja akan segera berakhir.

“Dan Bapak juga sangat bersyukur. Sebab, bisa menikmati umur senja bersama anak kesayangan Bapak,” balas Bapak sambil mengusap pucak kepalaku. Sama seperti kebiasaannya ketika bersamaku di waktu seperti ini. Kami duduk berdampingan. Di sebuah kursi kayu yang sudah mulai lapuk dimakan usia. Suasana begitu sepi. Para tetangga tak ada lagi yang bermunculan. Bahkan yang sekadar lewat pun tidak ada. Mungkin semuanya telah berada di rumah mereka masing-masing. Kini, tinggal aku dan Bapak yang masih berada di teras. Memandang langit yang cahayanya begitu menenteramkan jiwa. Ibu sendiri masih berada di dalam rumah. Kondisinya tak memungkinkan walau hanya untuk duduk bersama kami.

“Ais berharap bisa selalu menikmati waktu senja bersama Bapak,” harapku. Sesaat Bapak menatapku, lalu kemudian membawaku ke dalam dekapannya. Inilah tempat ternyaman dan teraman bagiku. Dalam pelukan Bapak.

“Bapak akan terus bersamamu, Nak,” balas Bapak lalu mengecup keningku. Pelukannya masih berlangsung. Namun sayang, aku tak bisa membalasnya. Bukan sebab tak ingin, tapi karena Tuhan tidak memberikan kesempatan itu untukku. Hingga aku hanya mampu mendapatkannya, namun tak bisa membalasnya.

“Jangan pernah menyesal, Pak. Sebab, Bapak telah memiliki anak yang cacat seperti Ais. Rasanya Ais tak ada gunanya di dunia ini. Ais ingin membantu Bapak. Tapi Ais tidak bisa. Bahkan, Ais malah menjadi beban untuk Bapak,” ucapku begitu sedih. Bapak semakin mengeratkan pelukannya.

“Bapak tidak pernah merasa menyesal memiliki anak seperti Ais. Ini semua sudah takdir dari Allah. Sebagai hamba-Nya, kita hanya perlu menerima dan mensyukurinya. Dan Bapak sangat bersyukur bisa menjadi bapaknya Ais. Walaupun Ais punya kekurangan, kan ada Bapak dan Ibu yang akan menjadi pelengkap dari kekurangan Ais. Biarkan Bapak dan Ibu menjadi kedua tangan, Ais. Bapak janji, tidak akan membuat Ais merasa tak memiliki dua tangan sekaligus. Jadi, anak Bapak tidak boleh sedih lagi. Dan berhentilah merasa menjadi beban bagi bapak dan ibumu. Sebab seorang anak itu bukanlah beban bagi orangtua,” jelas Bapak dengan lembut. Seketika itu juga aku menangis sejadi-jadinya. Meluapkan segala rasa haru lewat deraian air mata.

“Sudahlah, Nak. Tidak perlu menangis lagi. Menangis itu hanya bagi yang berjiwa lemah. Anak Bapak, kan, kuat. Jadi, Ais tidak boleh menangis. Bapak tak suka melihat air itu melekat di wajah anak Bapak. Jadi, jangan menangis lagi, ya!” hibur Bapak. Aku pun mengangguk. Dan saat itu juga Bapak membersihkan jejak air mataku. Sebab, lagi-lagi aku tak bisa melakukannya.

“Apakah ada lagi yang mengejekmu?” tanya Bapak. Sebab jika aku seperti ini, biasanya itu karena ada orang lain yang mengejek kekuranganku.

“Tidak ada, Pak. Ais tidak keluar rumah hari ini.” Hanya itulah yang bisa aku jawab.

“Sudahlah. Sekarang, jangan sedih lagi! Tersenyumlah seindah cahaya senja yang begitu memikat. Walau hanya sebentar, tapi meninggalkan kesan yang sulit dilupakan,” pinta Bapak. Dan saat itulah aku tersenyum. Menampakkan senyum termanisku untuk Bapak.

“Nah, ini baru anak Bapak! Dan lihatlah rambutmu ini. Apakah ibumu belum sempat menyisirnya hari ini?” tanya Bapak setelah melihat rambutku yang tak terurus. Ditambah tiupan angin membuatnya makin acak-acakan. Aku hanya mengangguk. Dan saat itu juga Bapak merapikan rambutku dengan kedua tangannya. Begitu telaten ia melakukannya. Bahkan, aku tak punya dua bagian tubuh itu untuk melakukannya.

“Sudah. Sekarang anak Bapak sudah tampak cantik.” Seketika butiran kristal itu kembali terjatuh. Jatuh begitu saja tanpa permisi terlebih dahulu. Itulah Bapak. Sosok pria yang paling aku cintai sepanjang hidupku. Yang memiiki sejuta cinta dan perhatian. Yang tak akan pernah pupus walau usianya makin bertambah.

Kuingin selalu seperti ini. Menikmati senja bersama Bapak. Dalam dekapan kasih sayangnya, serta sejuta perhatiannya.(*)

Aisyahir. Lahir pada 25 September 2001. Menjadikan aktivitas membaca dan menulis sebagai hobinya. IG: Aisyahir_25

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply