Senja (bagian 2)
Oleh: Lutfi Rose
Perempuan itu berbeda jauh dari bayangan Kania. Dia mengira tambatan hati suaminya adalah wanita cantik dan berkelas. Sosok yang pandai bicara dan bakal memonopoli perbincangan di antara mereka. Kania sempat membayangkan sosok perempuan yang akan ditemuinya adalah seseorang yang penuh pesona hingga mampu membuat setiap mata yang melihatnya berdecak kagum kemudian tak mampu lepas dari ikatannya. Tidak! Dia tak sesempurna itu, lebih tepatnya dia tak jauh berbeda dengannya—biasa saja. Nyalinya yang sempat menciut berangsur pulih.
“Kamu tahu kenapa aku ingin bertemu denganmu, Mbak?” ucap Kania membuka percakapan.
Dia mengangguk. Raut mukanya tampak siaga mencermati kalimat perempuan di depannya.
“Aku ingin tahu wanita seperti apa yang begitu dicintai suamiku,” perempuan bergamis kelabu itu, tampak sedikit berat menyatakan kalimat itu.
Perempuan berambut lurus panjang yang diikat rapi ke belakang tanpa hiasan apa pun itu, masih tetap menunduk. Tangannnya sibuk memainkan tali tas yang dipakainya.
Kania mulai memperkenalkan diri, menyebutkan nama seraya mengangsurkan tangan kanan. Senja menyambut tangannya kemudian mengucap namanya pula.
Tangan Senja sedikit gemetar, tak jauh beda dengan lawan bicarannya. Beruntung seorang pramusaji datang tepat waktu, mengurangi ketegangan di antara mereka. Sebuah buku menu kini berpindah tangan pada Kania. “Mau kupesankan apa?”
Senja membetulkan duduknya, tangan kanannya membenahi ikatan rambut, berusaha mengusir rasa canggung yang sedari tadi tampak mengusik.
“A—ku minum saja, kopi hitam tanpa gula. Tak perlu makanan.” Lembut nian suara gadis manis berekor kuda itu. Jauh dari kesan wanita penggoda yang sering dikisahkan dalam sinetron selama ini.
Sedikit tersentil hati Kania, bagaimana mungkin minuman pesanan Senja sama dengan minuman favorit suaminya di rumah. Dia mengusap wajahnya, menarik napas panjang, demi menetralisasi cemburu yang mulai menderu.
“Baiklah, aku yang akan pesan. Dua roti bakar original, segelas jus jeruk dan secangkir kopi hitam, tan—pa gula.” Pemuda di samping mereka langsung tanggap mencatat pesanan dua perempuan tersebut, selanjutnya berlalu menuju pantri.
Sebuah dilema, saat seorang perempuan harus bersikap baik pada perempuan lain yang sudah belasan tahun menjadi bayangan tanpa rupa dalam rumah tangganya.
“Mengapa kamu harus menunggu suamiku, Mbak?” pertanyaan yang tak mampu dia tahan, meluncur begitu saja dari mulut mungilnya.
“Karena aku … memercayainya,” dia begitu tenang bicara. Seolah bukan suami orang yang sedang dia bicarakan. Sekuat apa pun hati seorang istri, tentu tetap akan teriris kala mendapati suaminya begitu diharapkan oleh hati yang lain.
Ah! Lagi-lagi Kania merasa kalah darinya. Bagaimana dia selalu meragukan suaminya, sedangkan orang lain begitu meyakini janji lelaki yang bahkan belum punya ikatan apa pun dengannya. Ini gila! Dunia memang sudah gila.
“Memercayai lelaki yang meninggalkanmu dan menikah dengan perempuan lain? Kamu masih waras, Mbak?” emosi Kania mulai sedikit meletup.
“Sering kali hati tak bisa beriring dengan logika, Kak. Dia belum pernah sekali pun berbohong padaku. Jadi … aku memercayainya.” Senja mulai berani mengangkat muka, membalas tatapan tajam Kania, seolah apa yang diucapkannya itu hal yang biasa saja.
Mata Kania mulai berkabut. Tangannya memegang dada, sedikit ada tekanan. Buru-buru sebelah tangannya menyeka mata, mengusap kabut agar tak berubah bentuk menjadi lelehan air. Bukan hal baru menerima kisah masa lalu suaminya. Dari awal memulai hubungan tanpa rasa cinta, semua sudah dijelaskan dengan gamblang. Alangkah naif jika pada saat ini mengakui kalah, padahal setiap hari kasih sayang itu dipupuk sedemikian rupa. Perlahan tapi pasti hati pasangan sah mulai bertaut.
“Aku sudah tahu semuanya, dari awal pernikahan kami, dia sudah bercerita tentangmu. Tak ada satu hal pun yang dia sembunyikan dariku, termasuk pertemuan kalian bulan lalu.”
Senja tersenyum menanggapi cerita Kania. Wajahnya datar, tenang, dan sama sekali tak menunjukkan mimik khawatir. Sulit menebak apa yang ada dalam pikiran perempuan yang masih tampak segar di usia melewati remaja.
“Karena itu aku memercayainya. Dia tak pernah bisa berbohong, dia selalu jujur, Kak. Sama saat dia menyampaikan perjodohan kalian, kemudian berjanji akan kembali suatu hari.” Matanya seakan menerawang ke waktu silam, menyusuri lorong-lorong kesendirian yang dia lewati. “Namun itu dahulu, Kak. Sebelum dia meyakinkanku untuk berhenti menunggu.” Senja memperlihatkan deretan giginya yang tersusun rapi, meyakinkan Kania—dia tak akan berharap lagi. Merelakan kekasih pergi dan menyudahi harapannya.
Sebuah keputusan berat bagi Senja mengakhiri sebuah penantian belasan tahun tepat saat sosok yang ditunggu itu hadir. Tetapi tak ada kata terlambat menyadari sebuah kesalahan akan keyakinan, lalu mengambil jalan lain yang lebih benar.
Ah! Kisah macam apa ini? Bagaimana bisa seorang perempuan pasrah akan garis cintanya dan bersedia menunggu kemudian tidak menuntut haknya.
Sungguh! Ini sangat berat bagi kedua insan yang sedang beradu pandang. Satu orang meremas khimar sifon dalam genggamannya, yang satu lagi menggenggam gagang cangkir yang belum juga disentuh isinya. Sebuah suasana hening yang penuh ketegangan.
“Aku menyayangi suamiku dengan sepenuh jiwa. Apalagi belum pernah dia menyakitiku,” ucap Kania.
“Iya, aku tahu. Fajar cerita semuanya saat kami bertemu.”
Senja mengangkat cangkir yang sedari tadi digenggamnya. Menyeruput kopi pahit yang selama ini selalu dinikmatinya di pagi hari. Sebuah pilihan sebagai refleksi rasa getir kehidupan dalam sebuah penantian yang tak tahu batas akhirnya. Dan kini sudah saatnya mengakhiri penantian itu, dan membuka hati pada sosok yang baru.
Akan tetapi jalan hidup seseorang tak ada yang tahu. Ketika garis takdir memaparkan kenyataan pahit sekaligus menyiapkan skenario di luar dugaan manusia. Perbincangan sore yang mulai mencair. Kedua wanita yang mulai asyik bercengkerama, memasuki dunia mereka sendiri. Mencoba saling mengakui kelebihan masing-masing. Berbagi rendezvous berdua, menggali rahasia masa lalu yang semua bermuara pada cinta yang sama, Fajar.
Kania memantapkan hati setelah yakin perempuan dari masa lalu suaminya adalah wanita baik. Sosok yang kelak bisa memenuhi amanah darinya.
“Jadilah ibu dari anak suamiku,” sela Kania tiba-tiba. Dia menggenggam tangan Senja, meyakinkan bahwa dia menerimanya. Meski itu berarti melibatkan orang ketiga dalam kegagalan rumah tangganya, dengan sebuah harapan akan lahirnya buah hati dalam rumah yang makin sunyi.
Senja membalas genggaman Kania, matanya mulai berkaca-kaca. Bibirnya perlahan mengucapkan terima kasih. Dan Kania tiba-tiba menjadi bisu dalam senyumnya. (*)
Lutfi Rose, seorang ibu yang tak pernah berhenti belajar. Akun FB: Lutfi Rosidah.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata