Of Hometown and Reasons to Comeback
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
Orang-orang kerap bertandang di sini, entah untuk menyendiri, bernostalgia, atau mendiskusikan beberapa hal—menumpahkan seliter pertanyaan dalam kepala—pada Tuan Corey.
Memadukan konsep coffee shop, restoran, serta toko buku-seni, Das Lehrerzimmer Cafe mampu menarikmu duduk, menikmati suasana tenang khas negara Swiss sembari membaca literatur yang ada di sana; atau memesan salah satu dari minuman yang disediakan sambil menunggu kedatangan salah seorang sejawat. Kendati tidak seterkenal Einstein Cafe & Bel Etage atau Adrianos Bar & Cafe, tempat bersantai yang terletak di Waisenhayuspl. 30, 3011 Bern, ini tidak pernah kehabisan pengunjung. Sesuai pernyataan di awal, mereka yang berkunjung biasanya adalah para musafir, pencari beberapa hal abstrak, yang berharap mendapatkan pencerahan setelah berdialog dengan lulusan Oxford University tersebut. Tidak terkecuali aku.
Pertama berkunjung, aku cuma gadis dengan kondisi hormon tidak stabil yang melarikan diri dari tata krama Dunia Timur. Swiss punya keterbukaan familier pada orang-orang sejenisku dan, usai berdialog panjang dengan Tuan Corey, aku pun memutuskan menetap, menjadi waitress di Das Lehrerzimmer, seraya memperhatikan lakon para pengunjungnya. Setelahnya, ada banyak wajah gelisah yang kuingat: penduduk lokal dengan permasalahan rumah tangga; pria Mongoloid yang kabur dari utang; pemuda berambut hitam serta berkulit cokelat yang seminggu ini menjadi pelanggan tetap.
Husein—”Bukan dari Timur Tengah!” tambahnya ketika memperkenalkan diri—serupa dengan lawan bicara Tuan Corey. Ia cerewet dan selalu bercerita tentang kampung halaman serta keluarganya; kucing-kucing yang berkeliaran di jalanan kotanya; tentang polusi, juga orang-orang yang buang air di sungai berwarna cokelat. Lambat laun, ceritanya jadi berat hingga mengarah pada keserakahan manusia, fanatisme mereka pada kekuasaan, serta aksi korupsi yang akhir-akhir ini jadi perbincangan. Kalau sudah begini, ia akan bertanya pada siapa saja—kadang anak kecil, beberapa pekerja kantoran, juga lansia—perihal perasaan mereka bila hidup di keluarga sekotor itu, dan wajarkah bila mereka diam, abai, padahal tahu betul semua fasilitas yang diberikan selama ini adalah uang kotor? Apa mereka akan merasa jijik? Marah? Atau tidak berdaya?
“Mereka adalah keluarga. Itu hal yang menyebalkan.” Setahuku, Husein tidak pernah mengumpat. Begitu sampai di bagian ini pun, ketika aku mengantarkan jasmine tea pesanannya, dia cuma memasang wajah murung sambil bertanya, “Tapi, bukankah dengan pergi menggunakan uang itu sama menyebalkannya dengan mereka?”
Dia beralih tempat ke depan counter desk di hari kesepuluh. “Karena kita sama-sama orang Asia,” kilahnya sambil tertawa, memamerkan giginya yang tidak teratur. Aku diam saja, beraktivitas seraya mendengarkan ceritanya. Husein sepertinya tidak masalah. Orang semacamnya hanya mau didengarkan.
Di hari keempat belas, saat ia beralih memesan espresso, Husein membuka pertanyaan besarnya padaku, “Aku ingin sekali kembali, tapi aku muak. Ibuku sepertinya mengerti. Ia tidak membantah soal hal menjijikkan itu dan justru merekomendasikan beberapa tempat yang cocok buatku. Aku bisa menetap di mana saja. Aku bisa memulai hidup baru kapan saja. Tapi, sampai sekarang aku tidak yakin.”
Pemuda dengan tinggi rata-rata tersebut tertawa seperti kucing yang pernah ia ceritakan. “Aku gila, ya? Tidak menyetujui tindakan keluargaku, tetapi kabur dengan menggunakan uang kotor mereka? Apa aku harus berhenti? Karena itu, aku harus menyerah dan kembali ke rumah?”
Aku membersihkan gelas bekas cocktail pesanan pelanggan di meja dua belas.
Sejak menjadi waitress, aku suka memperhatikan orang-orang: pasangan Eropa yang menyayangi anak angkatnya; mahasiswi Seni Rupa yang memesan espresso tiap Rabu sore; anak konglomerat yang kabur untuk hal “bodoh”. Mereka mengingatkanku pada banyak hal. Mereka mengajariku mengasihani serta memaafkan di saat bersamaan. Mereka mendorongku menjadi manusia.
Manusia selalu mencari. Bertanya. Tidak puas. Lalu, mencari lagi. Bertanya. Tidak puas. Begitu terus hingga akhirnya waktu habis dan mereka baru menyadari telah terlambat menikmati sesuatu. Aku sendiri sudah berhenti bertanya dan memilih mendengarkan orang lain.
Namun, itu bukan berarti pertanyaanku hilang begitu saja dari kepala.
Aku meletakkan gelas tersebut. “Kalau mati, kau ingin dikuburkan di mana?” balasku akhirnya.
“Tentu saja di kampung halamanku!”
“Berarti, kau sudah menemukan alasan untuk kembali.”
Husein kelihatan bingung. Alis tebalnya naik. Dahinya berkerut.
Aku memutar pupil, ingat perkataan Tuan Corey ketika aku pertama datang di Das Lehrerzimmer. Itu malam yang hujan. Aku mencari tempat berteduh dan tahu-tahu memilih tempat ini dibanding Taxi Bar Club atau Il Grissino di seberangnya. Aku menceritakan banyak hal pada Tuan Corey. Dia mendengarkan, tipikal seorang pembicara bijaksana, dan memintaku untuk kembali esok hari. Aku ragu, tetapi ia kelihatan amat yakin. Begitu hujan reda dan dia membereskan counter desk, Tuan Corey berkata, “Orang-orang selalu mempertanyakan banyak hal. Beberapa memilih abai setelah tahu betapa kompleksnya pertanyaan tersebut, sedangkan sisanya memilih pergi, mencari jawaban. Mereka yang datang ke sini biasanya para pencari jawaban … tetapi, Mika, ada juga beberapa pengunjung yang hanya ingin pergi untuk kembali pada titik awal. Pergi untuk kembali.”
Itu sudah tiga tahun lalu dan, sekarang, aku mengatakan hal bodoh itu di hadapan anak konglomerat yang kabur karena alasan “tidak nyaman dengan rumah sendiri”. Wajahnya masih belum puas. Aku menghela napas, melanjutkan, “Tidak ada tempat yang 100% baik. Kau pasti mengetahuinya, ‘kan? Kau tahu bahwa pasti ada satu hal yang kau benci meski berkelana hingga ke ujung dunia. Tapi, kenapa kau masih melanjutkan perjalanan yang sudah pasti hasilnya?”
Aku mengingat guguran bunga sakura serta daun momiji; orang-orang yang berjalan cepat; kesuksesan yang dijadikan tolak ukur kebahagiaan seseorang.
“Kau hanya ingin melihat. Kau hanya berusaha menemukan pengganti rumah lamamu. Kau hanya ingin pergi sejauh mungkin … untuk kemudian kembali.” Aku mengangkat wajah, memandang iris arangnya. “Perjalananmu ini sudah jadi bukti kuat. Semengerikan apa pun, separadoks apa pun, sejijik apa pun kau dengan keluargamu, pada akhirnya kau tetap merindukan mereka. Sebab, bagaimana pun, itu adalah rumahmu. Tempatmu untuk kembali.”
Aku ingat sebuah pertengkaran. Orangtua yang mengatai anaknya bodoh karena buta sains. Anak tidak tahu diri yang kabur ke luar negeri, lalu tidak memberi kabar lagi. Aku ingat setumpuk foto di laci terbawahku. Aku ingat bahwa ada kalanya di musim dingin, ketika beberapa keluarga kecil menghabiskan semalaman suntuk di Das Lehrerzimmer, aku tersedak perasaan rindu pada mereka.
“Bukan berarti aku bilang bahwa pencarianmu adalah hal bodoh. Aku sendiri juga sama denganmu. Rumahku tidak begitu baik, makanya aku ke sini. Aku menikmati kehidupan baruku. Jadi, ini adalah rumah baruku. Itu tidak menutup kemungkinan bahwa kau akan menemukan tempat seperti itu bila melanjutkan perjalanan. Mungkin juga tidak. Toh, tidak ada yang pasti dari hidup. Kau datang ke Swiss juga pasti sudah menyadarinya.”
Hening.
Husein bertanya, “Apa kembali artinya aku memaafkan perbuatan keluargaku?”
Aku mengorek jawabanku sendiri. “Tidak. Kau tidak harus memaafkannya,” Aku mengambil napas cepat, “tapi kasih sayang kadang lebih gila dari apa yang kita bayangkan, ‘kan?”
Seorang Negroid memesan pasta dan bir lokal ketika Husein hendak menanggapi jawabanku. Dia diam sejenak, memainkan jari, lantas bangkit dengan wajah cerah. “Terima kasih atas waktumu, Nona! Dan, oh, ya, apa besok kau senggang? Aku mau beli oleh-oleh … tapi sepertinya aku sangat buruk untuk memilih barang.” Ia tertawa jenaka sambil menggaruk belakang kepala. “Aku juga ingin mentraktirmu sebagai rasa terima kasih.”
Aku tidak ingin memberikan jawaban pasti, tetapi dia memaksa. Begitu Husein pergi, pelanggan lain datang. Ada yang mengambil buku, langsung memesan menu, dan ada juga yang mengajak Tuan Corey berbicara—siklus monoton selama aku bekerja di sini. Namun, hari ini, setelah Das Lehrerzimmer tutup, kuputuskan pulang paling akhir untuk berbicara dengan Tuan Corey.
“Hari ini, ada yang memutuskan untuk pulang ke rumah lamanya.”
“Ah, itu bagus. Rumah adalah tujuan terbaik, ‘kan?” balas Tuan Corey dengan suara serak. “Tapi, Mika, kalau aku, dibanding pulang ke rumah lama, aku lebih suka menyebutnya datang ke rumah baru.” Pria berumur empat puluh dua tahun itu mengunci pintu utama Das Lehrerzimmer. “Suatu tempat sering berubah. Kadang juga stagnan. Tapi, ketika kau pergi ke sana dengan pandangan dan perasaan berbeda … maka kau telah berhadapan dengan sesuatu yang baru.”
Aku ingat festival musim panas, kuil, Shinkansen … juga perkataanku pada Husein.
“Tuan,” Aku berucap pelan, “aku meminta cuti beberapa hari … yah, untuk membereskan beberapa masalah di rumah lama. Anda mengerti, ‘kan?” (*)
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001. Sekarang duduk di bangku kelas XI SMA Negeri 1 Ponorogo.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata