Secret 7
Oleh: Veronica Za
Tasya menatap punggung Dodi yang tak berhenti mencari keberadaan Mayang. Suaranya terdengar parau akibat tak henti meneriakkan nama gadis yang membuatnya kelimpungan. Wajahnya pucat dengan bibir yang bergetar menahan gejolak dalam dadanya.
Dua jam berlalu semenjak gadis itu hilang ditelan rimbunnya hutan. Entah ke arah mana dia berlari. Tasya menyeka peluh yang membanjiri tubuhnya setelah ikut menembus belantara. Sengaja mereka tak memberitahu anggota lainnya, karena ini memang murni urusan mereka bertiga. Berbekal pengalaman Tasya yang sering mendaki Gunung Salak ini, mereka berdua terus mencari hingga ke sisi hutan paling rimbun.
Jalan setapak di hadapan mereka kini terbagi dua menjadi dua jalur. Mereka berhenti, bingung harus memilih jalur yang mana. Dodi yang sedang bimbang menangkupkan kedua telapak tangannya pada wajah. Kesal, sesal dan sesak menyatu dalam sanubari. Hal itu tak luput dari pengamatan Tasya.
“Kak, gimana kalau Kakak mencari ke arah sana dan aku ke arah sini,” usul Tasya sambil menunjuk arah yang ia maksud.
Dodi terkejut. Ia tak mungkin membiarkan Tasya pergi sendirian. Ia tahu jika Tasya bukan basa-basi saat memberi usul tersebut. Dengan mantap, Dodi menggeleng. Hatinya sudah cukup resah memikirkan cara untuk menemukan Mayang, tak mungkin ia menambah kepenatannya dengan kehilangan Tasya juga.
“Tenang saja, Kak! Aku sudah pernah ke sana sendirian, tahun lalu. Jalur di sana sama sekali tidak berbahaya. Percaya sama aku deh!” Seakan tahu isi hati pria itu, Tasya kembali meyakinkannya.
“Tapi itu bahaya banget, Sya!” Dodi masih keukeuh dengan pendiriannya.
“Untuk kali ini saja, percaya sama aku. Demi Mayang!”
Mendengar nama gadis itu, Dodi mau tak mau menyerah. Ada nyawa yang sedang dipertaruhkan di sini. Mayang dan Tasya memang setipe, tapi Tasya lebih berpengalaman. Sedangkan Mayang, ini dalah pendakian pertama dalam hidupnya. Dodi mengalah dan membiarkan Tasya mengambil jalur yang berbeda.
“Ingat ya, Sya. Jangan terlalu jauh! Satu jam lagi kita ketemu di sini.”
Sebelum pergi, Dodi sempat berterima kasih atas bantuan Tasya. Pria itu bahkan tak bisa membayangkan jika Tasya tak ada di sisinya untuk membantu.
Tasya dan Dodi berpencar. Dodi mengambil rute yang lebih sulit dan sedikit terjal, sedangkan rute yang tampak biasa saja. Jalur setapak yang cukup sempit tapi tak berbahaya, begitu menurut penuturan Tasya yang mengaku sudah menjelajahi seisi gunung ini.
Rasa bersalah terus menyelimuti hati pria bermata sendu itu. Apakah ia juga akan bernasib sama dengan Tasya? Kehilangan yang menyisakan kepedihan yang berkepanjangan. Ah, Dodi menepis semua piiran burukdi benaknya.
Tasya menyusuri jalan setapak yanag hanya bisa dilewati oleh satu orang. Sisi kanannya terbentang jurang menganga yang seakan siap kapan saja untuk menelan korbannya. Ia sengaja tak memberi tahu Dodi perihal jurang itu. Bisa jadi pria itu malah bersikeras tak mengizinkan mereka mencari berpencar. Mengingat jika hari sudah beranjak siang dan tak cukup waktu behi mereka untuk mencari bersama-sama.
Mata bulat hitam itu terus menyusuri setiap jengkal hutan dan sisi jurang besertasemaknya. Ia berharap Mayang tak ada di bawah sana. Semakin jauh berjalan, Tasya masih belum menemukan tanda-tanda dari Mayang. Ia melepas penat dan lelah sejenak di atas rumput liar dekat pohon besar. Ia menghela napas frustasi seakan tak lagi ada harapan untuknya menemukan Mayang.
Di tengah keputusasaannya, Tasya mendengar samar-samar suara tangis seseorang. Sangat pelan, tapi cukup jelas terdengar karena suasana gunung yang sunyi. Tasya bangkit dan segera mencari sumber suara. Ia yakin jika itu adalah Mayang. Semakin Tasya berjlan ke depan, suara itu semakin jelas terdengar.
“Mayang!” seru Tasya sumringah. Ia berhasil menemukan Mayang yang tengah duduk bersandar pada pohon sambil memeluk kedua kakinya yang terlipat. Gadis itu mendongak, menatap datar wajah cantik yang tadi memanggilnya.
“Syukurlah, kamu baik-baik saja!”
Tasya memeluk tubuh yang bergeming itu penuh suka cita. Sayangnya, hal itu tak dirasakan pula oleh Mayang. Wajahnya masih menunjukkan rasa tak suka pada gadis di hadapannya.
“Kamu tahu, Dodi mencari-cari kamu sampai hampir gila? Please, jangan marah lagi!” pinta Tasya tulus.
Mayang masih belum mau membuka mulutnya. Hanya saja mata bulat itu tak bisa berbohong, bahwasanya ia pun mengkhawatirkan Dodi.
Tasya duduk di samping Mayang. Ia sadar, saat ini apapun yang ia ucapkan tak akan mungkin bisa meredam gejolak hati gadis itu. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Tasya mulai gerah menghadapi gadis keras kepala yang tak kunjung bersuara. Jemarinya merogoh kantung celananya. Dua benda berukuran kecil tapi terlihat menyimpan sejuta kenangan ia genggam dengan erat seakan masih tak rela untuk melepasnya. Gantungan tas berbentuk gembok dan kuncinya yang terpisah.
“Coba kamu lihat dua benda ini! Sudah lima tahun, gembok dan kuncinya ini menjadi benda yang sangat berharga bagiku. Menemani hari-hari termanis dan terberat dalam hidupku. Kedua benda ini juga merupakan alasanku bersama Dodi tadi.”
Mayang menoleh, meminta penjelasan lebih detail. Dalam diam, Mayang mendengar penjelasan perihal salah paham itu. Tasya berpikir untuk mengakhiri pendakian yang selalu ia lakukan setiap tahun ini. Ia berniat memberikan benda-benda itu pada Dodi dan pasangannya kelak. Tasya sangat bersyukur bertemu dengan Dodi dan berharap bisa menjadi sahabat baiknya. Namun, ia tak bisa menjamin jika mereka bisa bertemu lagi nantinya.
“Apa kamu pernah sekali saja menginginkan Dodi?” tanya Mayang tiba-tiba.
Tasya menggeleng. Senyum manis kembali berkembang di wajahnya.
“Hatiku hanya terisi satu nama dan akan tetap begitu sampai akhir.”
Mayang mengerti bagaimana susahnya move on bagi wanita yang menyukai seseorang secara tulus. Hanya saja, ia sedikit khawatir dengan cinta Tasya. Terlalu ekstrim, pikir Mayang.
Kedua gadis itu berjalan beriringan sambil sesekali diselingi tawa. Tiba-tiba tangan kekar seseorang menarik tubuh Mayang dalam pelukannya. Dodi pelakunya. Tak menunggu lama, omelan dan juga rentetan nasehat keluar dari mulutnya untuk Mayang yang malah cengar-cengir sendiri. Sebuah toyoran lembut mendarat di kepala gadis manis itu.
***
“Dari mana aja sih kalian? Udah hampir sore gini nggak ada kabar!” cecar Erik yang terlihat khawatir.
“Maaf, tadi ada gangguan sedikit pas nyari bunga edelweiss,” jawab Dodi sekenanya. Mayang dan Tasya saling pandang tak percaya pada alasan yang dibuat pria itu.
“Dapet?”
“Nih!”
Kedua gadis itu melongo saat melihat Dodi memberikan “bunga abadi” itu pada Erik. Ternyata Dodi memang tak berbohong. Sempat-sempatnya dia memetik bunga yang memang hanya ditemukan di gunung itu.
Erik terlihat girang menerima bunga itu dan segera membungkusnya dengan plastik transparan serupa bunga mawar yang dibeli dari florist. Cantik, itulah hasil akhirnya. Semula Dodi berpikir jika bunga itu akan diberikan pada Mayang. Tanpa terduga, Erik malah berlari ke arah Rani yang sedang mengutak-atik kameranya. Dari jauh, Dodi dan dua gadis itu melihat Rani yang tampak malu-malu menerimanya. Sontak saja, Dodi menoleh cepat pada Mayang, menanti penjelasan.
“Kenapa Erik ngasih bunga itu ke Rani?” tanya Dodi yang belum juga mengerti keadaan.
“Dari awal kan memang Kak Erik lagi modusin Rani, Kak!” jelas Mayang yang langsung membuat Dodi terperangah.
Dodi tak bisa berkata-kata untuk menjelaskan perasaannya saat ini. Haruskah ia senang? Tanpa sadar, ia berteriak heboh.
“Yes!”
Tasya dan Mayang menggelengkan kepalanya, semakin bingung dengan tingkah laku cowok di hadapan mereka.
Angin sejuk menyapa mereka dengan segala misteri di dalamnya. Langit nan biru ditemani oleh gumpalan awan putih yang memanjakan mata memberikan makna tersendiri bagi yang memandang. Para pendaki bersiap mengabadikan moment indah lainnya yang akan disajikan beberapa jam lagi. Lukisan Tuhan yang tiada bandingannya. Sunset.
Bersambung ….
Veronica za, penulis amatir yang bermimpi menjadi seorang novelis. Belum bisa move on dari donat. Bisa dihubungi melalui:
Fb: veronica za
Email: veronica160.vk@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita