Sebuah Nama
Oleh: Nishfi Yanuar
Cerpen Terbaik ke-3 pada #Tantangan_Lokit_6
Lalat-lalat hijau masih asyik berkerumun di atas onggokan berbau menusuk khas limbah dapur. Mungkin sisa-sisa makanan, sayuran, atau buah yang sudah bercampur belatung. Sekawanan serangga itu seolah-olah justru menari-nari, bergaduh dengan bunyi-bunyian senada berulang-ulang. Satu pemandangan biasa bagi manusia-manusia pinggiran yang sering kali dikecam sebagai “sampah masyarakat” ibu kota. Makhluk-makhluk yang tak jarang dipandang sebelah mata, perusak kemolekan wajah metropolitan.
Seorang bocah belasan tahun tengah mengais di antara tumpukan-tumpukan berharga itu. Kulitnya yang gelap bertambah semakin legam karena saban hari akrab dengan teriknya matahari. Rambutnya pun sedikit gimbal, pertanda hanya sesekali saja dibubuhi sampo. Terlihat sedikit rapi karena dua kuncir gelang karet membentuknya serupa ekor kuda.
Tiba-tiba ia mematung. Mendapati kardus robek yang miring ke kanan, menumpahkan sebagian isi di dalamnya. Buku! Wajah legamnya berubah ekspresi, membentuk lesung di kedua sisi pipinya. Sebuah lengkung kecil di bibir menampakkan gigi gingsulnya bagian atas.
Entah sudah berapa purnama ia merindukan buku-buku. Tak perlu buku sebenarnya, cukup sobekan koran atau majalah bekas sudah sedikit menjadi penawar baginya. Namun, jangan harap kertas-kertas bekas itu bisa bertahan lama digenggamnya. Jika emaknya tahu, sumpah serapah pasti akan segera didengarnya. Bertitah untuk menukarnya dengan rupiah di tempat kiloan loak ujung jalan.
Teringat itu, mata yang tadinya mengejora berubah kelabu, meredup. Memastikan tumpukan buku itu akan bernasib sama—secepatnya berganti lembaran lusuh demi dapur bisa tetap mengepul. Hatinya gamang, keinginannya mengambil niscaya berakhir sesuai titah emaknya.
“Na, ngapain diem aja di situ?” Sebuah suara mengejutkannya. Segera ia menoleh, beberapa jengkal darinya berdiri Ipung, tetangga seumuran dengannya.
Gadis kecil itu hanya menggeleng. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Lantas berjongkok memungut cepat isi kardus robek tersebut.
“Tadi emakmu nyariin, lho!” Kali ini remaja tanggung itu sudah persis di sampingnya. Menyejajari tubuh mungil di balik keranjang besar yang digendong. Tangannya pun turut memunguti dengan sigap.
“Jangan!” cegah gadis kecil berkuncir kuda tersebut lantang.
“Apa?” Ipung bertanya datar. Tak mengerti.
“Ini sudah jadi milikku, kamu cari aja yang lain,” gadis itu sewot. Matanya menyipit membentuk sebuah siku.
“Udahlah, palingan sampai rumah juga langsung disuruh bawa ke tempat Mang Karto sama emakmu.” Ipung nyengir. Tahu apa yang ada di benak Nona, teman sepermainannya. Karena setiap itu terjadi gadis tanpa air mata itu akan mencari Ipung untuk meluapkan kekesalannya. Meskipun terdengar menangis atau sesenggukan, entah kenapa tak pernah ada air bening yang merangsak dari matanya.
“Eum, kalau gitu kamu aja yang ambil. Tapi nanti kamu simpen dulu. Setelah selesai kubaca, baru dikiloin.” Tiba-tiba satu ide muncul dari kepalanya. Matanya kembali berbinar, seakan-akan menemukan harapan baru di antara keputusasaan.
“Nenekmu kan nggak secerewet emakku!” Suara memelas itu mampir juga di telinga Ipung. Ya, selama ini remaja kurus itu memang tinggal bersama neneknya tanpa pernah tahu siapa orangtuanya.
Mereka berdebat sebentar. Lantas berakhir dengan kemenangan si gadis yang biasa disapa Nona.
***
Nona menekuri deretan huruf-huruf Times New Roman di depannya. Sebuah buku lumayan tebal bertuliskan judul novel di bagian sampulnya membuatnya anteng, duduk khidmat di bawah pohon cermai lebat tak jauh dari lokasi pembuangan akhir. Di sampingnya, Ipung sedang memainkan pensil berukuran pendek. Saking pendeknya harus dikaitkan dengan kayu kecil yang diikat dengan karet gelang supaya tangannya mudah memegangnya.
Mereka sama-sama murid putus sekolah saat menjejak di bangku SMP. Nona berakhir sebelum genap tahun pertama, sedangkan Ipung beberapa bulan setelah kenaikan kelas dia memilih tak melanjutkannya lagi, tak tega meninggalkan lama-lama neneknya yang mulai sakit-sakitan. Sekarang, hampir setahun sudah mereka tak menikmati lagi bangku sekolah. Sudah cukup beruntung memang, dibandingkan anak-anak lainnya di lingkungan mereka. Namun, seolah-olah sama saja. Tanpa ijazah, apa yang dianggap lebih beruntung?
Nona masih khusyuk membaca. Ipung juga asyik membuat sketsa-sketsa dengan pensilnya. Sesekali Nona mengintip, tetapi selalu ditepis oleh Ipung. Sering kali seperti itu.
Orang-orang pintar mungkin akan melabeli mereka dengan kalimat: Nona hobi membaca, sedangkan Ipung hobi menggambar. Ah! Akan tetapi mereka berdua tak pernah menyebut label apa-apa dengan apa yang mereka lakukan. Masa bodoh dengan apa pun itu.
“Udah sore, ayo pulang! Aku lapar nih,” ajak Ipung membuyarkan konsentrasi Nona. Matanya mendongak ke langit, sudah meredup sebagian.
“Iya, deh. Inget, ya buku-bukunya harus kamu simpen baik-baik! Awas kalau dijual!” Tangan kanan Nona mengepal disertai mulut yang mengerucut. Ipung spontan tergelak tak kuasa menahan tawa.
Mereka berjalan beriring di antara ilalang. Sesekali berceloteh riang dan tertawa-tawa. Bukankah bahagia sesederhana itu?
***
“Baiklah, semuanya. Hari ini seperti yang kemarin saya janjikan, kita akan kedatangan Kakak baru buat belajar sama-sama dengan kita! Yey, tepuk tangannya dong buak Kak Gusti ….”
Dada Nona seketika berdentum demi mendengar nama Gusti disebut. Ingatannya langsung tertuju pada buku-buku bekas yang ditemukannya hampir sebulan lalu. Masih sangat dihafalnya karena selain ada satu buku yang masih disimpannya, nama itu juga turut tertanam di hatinya. Ah, tak sengaja tumbuh tepatnya! Entah apa namanya, karena hal tersebut baru kali ini dirasakan Nona.
Seorang lelaki muda berkacamata memasuki ruangan. Rambutnya ikal, membentuk gelombang-gelombang kecil tak beraturan. Aroma apel segar seketika menguar dari pakaian bersihnya. Yang membuatnya ganjil, menatap sosok di depan sana hatinya pun bersenandung merdu layaknya setiap ia membaca deretan tulisan tangan berlembar-lembar di sebuah buku tulis yang diam-diam masih disimpannya. Satu dari sekian tumpuk buku-buku yang pernah ia temukan di antara tumpukan sampah.
Ah, benar-benar kacau! Oke, berarti tinggal nama lengkap lelaki itu yang bisa memastikan.
“Selamat sore, semuanya. Perkenalkan, nama saya Gusti. Saya dari Universitas Nusa Bangsa, yang akan turut belajar bersama kalian mulai hari ini.” Lelaki berkemeja garis-garis biru putih itu menyapukan pandangan ke seluruh ruangan. Berisi sekitar 20-an anak-anak putus sekolah. Mereka diajari menyebut ruangan ini dengan nama “Rumah Mimpi”, dengan filosofi rumah sederhana yang didirikan para relawan dan aktivis mahasiswa sejak sekitar dua minggu ini menjadi semacam rumah untuk menjembatani mereka—para anak putus sekolah—menuju ke tangga-tangga impian. Entah impian apa yang para orang-orang pintar itu maksudkan. Sedangkan bisa makan tiga kali sehari saja sudah menjadi kenyataan indah bagi sebagian anak. Pola pikir hasil warisan turun temurun dari para orangtua.
Setiap harinya, para mahasiswa itu bergantian mengajar. Sering kali sehari dua orang, mulai pukul tiga sore sampai kira-kira setengah lima. Tak lama, tetapi cukup membuat anak-anak yang sebagian besar berusia SMP itu gembira seakan-akan merasakan suasana saat dulu bersekolah. Jika terus sekolah, barangkali saat ini Nona sudah kelas 3 SMP.
Nona menatap lekat ke arah lelaki itu. Tak sengaja pandangan mereka beradu. Membuat Nona seketika menunduk.
“Ada yang mau ditanyakan?” ucap Gusti memecah suasana.
Beberapa menit kemudian suara dari pojok belakang terdengar, “Kak Gusti nanti mengajar apa?”
“Pertanyaan bagus,” tandasnya. “Namamu siapa?”
“Acil, Kak.”
“Oke, sebelum saya jawab ada pertanyaan lain? Biar sekalian jawabnya.”
“Kak Gusti nanti ngajar sama siapa?” Kali ini dari Lilis yang duduk di deretan meja depan.
“Oke, ada yang lain?”
Hening.
“Jawab dulu aja, Kak!” celetuk Ipung. Seperti biasa, dia yang paling suka bicara semaunya.
“Baiklah, Kakak jawab dulu. Di sini, Kak Gusti akan mengajar kalian membuat kerajinan tangan. Bersama dengan Kak Ilham dan Kak Adil. Minggu kemarin sudah bikin tempat pensil, ‘kan? Nah, Kak Gusti akan bantu-bantu supaya tugas kalian cepat selesai. Gimana, boleh nggak?”
Selain berhitung, berbagai pengetahuan baik umum maupun agama, Rumah Mimpi ini juga mengajarkan keterampilan. Katanya, membuat barang-barang bekas menjadi bentuk lain yang layak jual. Entah bagaimana nanti hasilnya, toh baru 2 minggu berjalan.
Anak-anak menyambut dengan riuh tepuk tangan. Nona turut bersikap sebiasa mungkin. Hatinya ingin menanyakan sesuatu, tetapi rasanya enggan.
Perkenalan itu ternyata cukup menyita waktu. Kira-kira sepuluh menit setelah itu, anak-anak dipersilakan pulang.
***
Malam itu, Nona diam-diam membuka kembali buku tulis tipis dan lusuh yang disimpannya. Hanya satu itu yang tersisa. Sebuah buku tulis berisi … entah itu puisi atau apa, satu yang pasti Nona suka sekali membacanya berulang-ulang.
Senja ini, aku kembali menemukan senyummu. Merekah manis serupa kembang yang baru keluar dari kelopaknya. Jangan layu, tolong tetaplah seperti itu, tetaplah ceria laksana putri raja.
Nona selalu membayangkan, ialah yang menjadi objek dari setiap tulisan di sana. Memang bahasanya sangat sederhana, tak seperti deretan kalimat dalam novel yang juga sempat dibacanya waktu itu.
Dibukanya lembar berikutnya.
Kamu cantik. Biarpun tanpa polesan seperti orang-orang kota, kamu tetap terlihat cantik. Ya, di sini kamulah yang paling cantik. Satu hari nanti, akan kubelikan kau jepit rambut kupu-kupu agar rambut indahmu semakin cantik.
Nona terkikik sendiri membaca kalimat barusan. Sangat polos, sangat konyol menurutnya.
“Kira-kira, perempuan seperti apa, ya yang dimaksud Kak Gusti?” gumamnya lirih.
Hai, Nona! Cukupkan saja air matamu. Lihat! Ilalang-ilalang itu menanti, dandelion bermekaran. Mari kita tiup dan terbangkan ke langit sana. Menarilah tanpa ada lagi gusar.
Sampai juga Nona di halaman paling akhir. Setiap membaca kalimat yang ini, matanya selalu menerawang di tanah lapang tak jauh dari tempat pembuangan akhir yang sering ia datangi bersama Ipung. Terbayang ilalang-ilalang tinggi, dan pohon cermai tempat ia berteduh melepas penat. Ah, kenapa juga ada kata “Nona” di sana, seakan-akan dirinyalah yang memang dipanggil. Satu pikirin terlintas, ingin diajaknya Kak Gusti suatu hari mengunjungi padang ilalang itu.
Hmmm, Gustinawan Ajisaka Rahardjo. Lagi, hatinya berdesir melafalkan nama itu tanpa tahu pasti apa sebabnya.
“Na, udah malam, tidur!” Satu suara membuyarkan lamunnya. Emak sudah berdiri menyibak tirai lusuh penyekat kamar. Lantas membaringkan diri di samping Nona.
Nona menurut. Dimasukkannya buku tulis itu ke dalam lemari kusam. Lalu meringkuk di bawah ketiak emaknya.
***
Hari-hari Nona berlalu dalam tawa. Senang sekali rasanya saat yang mengajar adalah Kak Gusti. Seakan-akan, ia bertemu dengan orang lama yang sudah dikenal sebelumnya.
Minggu ketiga mengajar, Kak Gusti datang bersama perempuan cantik. Kak Ratih, guru baru di Rumah Mimpi. Katanya, Kak Adil dan Kak Ilham sedang ada tugas kuliah yang tak bisa ditinggalkan.
Awalnya, Nona biasa saja. Namun, satu minggu berlalu ternyata membuatnya cemberut melihat kebersamaan Kak Gusti dan Kak Ratih yang sangat akrab. Nona sering uring-uringan, ogah-ogahan mengerjakan tugas, merasa sangat kesal dengan keduanya. Apalagi setelah tiga hari lalu ia akhirnya tahu nama lengkap Kak Gusti sama persis dengan nama yang disimpannya di hati.
“Apa jangan-jangan, Kak Ratih, ya yang dimaksud dalam tulisan-tulisan itu?” hati Nona menggumam kesal. Kecewa.
Hari ini, Nona memutuskan bolos. Di bawah pohon cermai ia sesenggukan hebat. Kali ini, air matanya benar-benar keluar, menetes tiada henti. Tanpa mengerti rasa sakit macam apa yang menderanya kini.
“Kamu di sini ternyata.” Tiba-tiba, Ipung sudah duduk bersila di sampingnya. Buru-buru Nona mengusap pipinya yang basah. Lalu menunduk, menelungkup di atas lutut yang dilipat.
“Kamu tadi kenapa nggak masuk? Aku cariin ke rumah juga nggak ada. Eh, malah nangis di sini.”
Nona geming. Tangisnya sudah berhenti, menyisakan isakan naik-turun di kedua pundaknya.
“Hai, Nona! Cukupkan saja air matamu. Lihat! Ilalang-ilalang itu menanti, dandelion bermekaran. Mari kita tiup dan terbangkan ke langit sana. Menarilah tanpa ada lagi gusar!”
Nona seketika mengangkat kepala demi mendengar apa yang barusan Ipung lantangkan. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin kalimat itu sama persis dengan yang sering dibacanya di buku lusuh itu. Apa Ipung juga membacanya terlebih dulu sebelum diambil diam-diam oleh Nona di tempat Mang Karto?
“Kamu, coba kamu ulangi lagi. Ngomong apa kamu tadi?” Nona akhirnya besuara, rasa ingin tahunya nenyeruak kuat.
“Hehehe, malu ah! Udah, jangan nangis lagi. Jadi tambah jelek, tuh!” Ipung malah terkekeh, meledek sembari mencubit pipi kurus gadis di sampingnya.
Nona menepis tangan Ipung.”Ulangi, sekali lagi!” paksanya berulang-ulang sembari menepuk kasar lengan Ipung.
“Iya, deh, iya! Kenapa sih?” Ipung pun mengucap kembali kalimat yang diminta Nona. Sejurus kemudian, tanpa disangka dia menarik pergelangan Nona. Mengajaknya berlari di antara ilalang.
“Berhenti!” Nona berteriak kencang. Ipung terkejut bukan main.
“Kamu kenapa sih, aneh banget?” teriak Ipung tak kalah kencang. “Tadi kamu sendiri yang nyuruh aku ngomong ulang, sekarang malah marah-marah!”
“Aku mau tanya, kamu harus jawab.” Napas Nona naik turun tak beraturan. “Sebelumnya kamu baca di mana kalimat itu tadi?”
“Kalimat mana? Oh, yang tadi. Ya nggak dari mana-mana, itu ucapanku sendiri,” kilah Ipung datar.
“Bohong! Pasti dari bukunya Kak Gusti, ‘kan?” Nona merengut.
“Buku Kak Gusti? Buku apa? Tahu bukunya dia aja nggak pernah!” Ipung mengernyit heran.
Nona tahu Ipung tak akan mengerti maksudnya. Karena memang sepertinya Ipung tak menahu nama pemilik buku yang mereka temukan waktu itu. Di salah satu buku, tertulis sebuah nama yang hingga kini masih dihafal Nona dan barangkali Ipung tak menyadari adanya nama tersebut. Dia hanya langsung menjual seusai Nona menyelesaikan membaca semuanya.
Dengan gontai, Nona melangkah menuju pohon cermai. Mengambil buku lusuh bersampul merah dari dalam tasnya. Menunjukkannya ke Ipung. Memang tak ada nama tertera di buku tersebut.
“Lho, itu kan bukuku! Bukannya itu sudah aku loakkan bersama buku-buku yang kamu temukan waktu itu. Kenapa sekarang ada di kamu?”
Seketika mata Nona terbelalak lebar. Tak percaya.
“Semuanya ini kamu yang nulis?” tanyanya bergetar.
Ipung mengangguk. Lalu merebut paksa dari tangan Nona. Segera dirobeknya lembaran demi lembaran itu. Wajahnya merah menahan malu. Setelah selama ini berhasil menyembunyikan setiap sketsa gambarnya, tak disangkanya coretan-coretan curahan hatinya malah sampai di tangan gadis yang sering digambarnya itu.
Angin senja menerbangkan sobekan demi sobekan kertas lusuh Ipung tanpa arah. Dua anak manusia berdiri tergugu. Beku.(*)
Tentang Penulis:
Penulis bernama Nishfi Yanuar. Penyuka nasyid, pelangi dan senja.
Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata