Ritual Pemanggil Angka
Oleh: Ali Mukoddas
“Kau tahu dari mana pengemis, pemulung, dan pengamen itu datang?”
“Kudengar mereka datang dari percikan ritual pemanggil.”
“Bukannya mereka datang karena keinginan sendiri?”
“Kalau kau sudah tahu jawabannya, mengapa harus bertanya padaku?”
“Anggaplah kau sedang diuji. Siapa tahu kau tahu. Malah menjawab dengan hal yang bukan-bukan.”
***
“Angka-angka di setiap deposit terus bertambah.”
“Terus lakukan pemanggilan itu!”
“Jangan beri celah penetral memasuki jalur angka itu datang. Perketat keamanannya!”
“Ada cacat di deposit tujuh!”
“Tambal dengan pengemis, biar sempurna!”
“Deposit sembilan dan sebelas melemah!”
“Atasi dengan pengorbanan sebelumnya!”
***
Di dua tempat dalam waktu yang bersamaan, Goceng kira selalu ada keterkaitan antara kehidupan di jalanan dengan gedung-gedung yang diam. Semakin banyak gedung didirikan, semakin banyak pula orang yang hidup di jalanan. Dua variabel dengan dua objek yang berbeda itu semerta-merta Goceng tarik kesimpulan menjadi, “Saat gedung berdiri, sebagian manusia kehilangan urat kaki”. Kesimpulan yang kurang pantas sebetulnya, karena banyak orang tak mengerti maksud dari kalimat Goceng itu.
Walau tahu banyak hal, Goceng memilih diam. Dia pikir, hidupnya hanya sia-sia. Manusia bekerja, belajar bertahun-tahun, berkomunikasi, tertarik dengan lawan jenis, menikah. Pada akhirnya berlabuh pada kematian. Jadi apa yang berarti dari hidup ini, tak ada arti bagi Goceng. Jadilah dia si penyendiri, tak peduli dengan hidup orang lain. Dari ketidakpeduliannya itu, dia melewatkan beberapa hal yang perlu dia pikirkan ulang. Tentang seberapa tak berartinya hidup dengan kesimpulan satu kalimat yang dia kira-kira tersebut.
Goceng terlalu takut memikirkan akhir dari manusia. Atau tepatnya, dia tak mengakui dirinya takut pada akhir yang dia ketahui, bahwa hidup sia-sia, melakukan segala hal sia-sia, karena pada akhirnya kematian mengajak rebah pada alam yang entah abadi atau kosong itu.
Percakapan singkat orang-orang kantor yang itu-itu saja, disambung dengan guyonan remeh pemuda dan orang tua di tongkrongan pinggir jalan. Kembali kepala Goceng menarik kesimpulan, ada keterkaitan kuat antara percakapan-percakapan yang pernah didengarnya. Percakapan trotoar yang menyinggung perihal dari mana datangnya pengemis. Lalu percakapan kantor yang tegas menyinggung pengorbanan. Keduanya sama-sama omong-kosong. Dan itu-itu saja.
Kemudian Goceng merasa dirinya telah hidup bertahun-tahun. Semua orang yang dia lihat terasa sebagai anak. Dari rasa yang demikianlah, bos di kantornya memaki-maki, menyatakan Goceng tak tahu diri, terlalu banyak mengabaikan pekerjaan, dan sebagainya. Namun makian itu dia anggap sebagai guyonan cucu pada kakeknya. Sebagaimana kakek-kakek, Goceng hanya tersenyum lalu berkata iya. Dengan kata iya, urusan selesai.
“Aku terlalu mengandalkan kau, Goceng. Sebagai pemuda yang penuh potensi, akhir-akhir ini kau tak pantas menyandang pemuda penuh potensi. Lihat kelalaianmu, yang lain jadi kelimpungan menutupi setiap celah melambatnya angka deposit dengan penambalan sana-sini. Terpaksa penggusuran dan pengambilan hak guna pakai dilakukan demi menutupi angka-angka itu. Kau itu mendengar, tidak?!”
Itu kalimat bos yang Goceng jawab dengan kata maaf, dan berkata tak akan mengulanginya lagi. Walau sudah berkata demikian, kembali Goceng melamun, menghadap layar yang dipenuhi angka-angka di depannya. Meja dari dudukan layar tersebut diseraki kertas, yang juga dipenuhi angka-angka. Dalam lamunan, Goceng berkomentar hidup terlalu omong-kosong. Berada di atas tidak senyaman bayangan. Semakin penting jabatan, semakin rumit jalan hidupnya. Padahal, Goceng berkeyakinan hidup amat sederhana dengan akhir kematian. Dan kali itu harus berapa kali dia mengulang-ulang bahwa semua terasa tak berarti?
Terdengar di kejauhan bos kantor memaki-maki yang lain. Padahal, posisi bos yang di sana sekadar manajer. Hanya saja semua rekan Goceng memanggil lelaki pemaki itu dengan sebutan bos. Barangkali setiap yang pekerjaannya memaki pantas dipanggil bos.
Setiap orang, tak lepas dari pelarian terhadap dirinya sendiri. Hanya saja, satu dua yang amat kentara, terutama Goceng. Dia ingin melepas dari segalanya, pekerjaan, rutinitas konyol yang berulang-ulang, serta beberapa hal yang membuat dirinya merasa hanya sendirian. Adanya orang lain tak lebih dari sekadar pelengkap. Seperti penjual nasi di pinggir jalan, pedagang asongan, rekan kantor yang cerewet, pengamat, peneliti, dan segala hanya aksessoris hidupnya seorang. Walau berkali-kali meyakinkan mereka bukan aksesoris, Goceng tetap merasa hampa.
Kehampaan yang lebih mencekam dari kisah horor. Kesendirian yang lebih menakutkan dari heningnya badan berdiri di tengah kuburan. Pada malam yang melenyapkan bisikan bulan dan segala yang—lagi-lagi Goceng berpikir—hanya omong-kosong belaka.
Harus berapa lama si Goceng itu berputar-putar dengan pikirannya sendiri? Seperti kilat yang menyambangi separuh besi lancip di ujung menara. Pikiran hampa dari pemuda kosong itu segera jatuh pada kenyataan, bahwa ada seorang pengemis menadahkan tangan di hadapannya. Goceng melihat segala arah. Bertanya-tanya, sejak kapan dirinya berdiri di trotoar jalan? Sudah berapa lama dia tersesat di dunia imajinasinya sendiri? Kemudian, demi menjawab pertanyaannya sendiri, dia mendongak, melihat beberapa lantai dari gedung yang ada di hadapannya. Menelisik ke jendela, ke tempat para tangan dan pikiran beradu angka. Pengorbanan, tiba-tiba kata itu menyengat.
Untuk beberapa saat, memang respons tubuh Goceng baru merasakan sesuatu yang telah terjadi lima jam sebelumnya. Atau tepatnya, suara yang terucap lima jam yang lalu baru sampai ketika urat sadarnya melesat, mengetuk pintu otaknya yang tersumbat. Berbisik pedih, “Pengorbanan”. Kata yang lirih itu membuka segala yang tertutup di kepala Goceng.
Semakin dia menghitung berapa jumlah kata pengorbanan yang terus muncul di batok kepalanya, semakin pula matanya menelisik ke beberapa orang, yang tentu hanya sebagai aksesoris kehidupan meminta-minta di jalananan. Dua puluh kata pengorbanan setara dua puluh orang yang terdiri dari pengemis, pemulung, pengamen dan penunggu mata jatuh berbelas kasih. Ketika kata pengorbanan terus terngiang, sebanyak ngiangan itulah matanya menghitung orang. Sungguh, kali itu Goceng merasa dirinya telah gila. Dia ingin sadar, meyakinkan dirinya tak gila. Itu hanya kelainan pikiran. Perbedaan respons. Jauh hati Goceng berbisik, “bukankah menurut Einstein waktu itu relatif? Barangkali respons otakku tepat waktu, hanya saja waktu tubuh bergerak lebih cepat dari otak yang ada.” Kemudian Goceng tertawa getir.
Pikiran dan simulasi yang sebelumnya Goceng lemparkan semakin tampak. Perlahan hatinya mulai menerima. Menerima hidup yang tentu tidak hanya berakhir sia-sia dengan kematian. Ada beberapa hal penting yang patut dia lakukan sebelum akhir kesadaran itu datang. Rutinitas yang itu-itu saja mulai Goceng rasakan perbedaannya. Lima jam yang lalu, barangkali dirinya masih duduk di depan meja dengan layar penuh angka di depannya. Barangkali pula, saat dirinya sadar berdiri di trotoar dengan melihat jendela tempatnya bekerja dari kejauhan adalah hal yang terjadi lima jam sebelum dirinya sadar bahwa badannya telah kembali duduk di depan meja yang sama. Ini cukup merumitkan memang. Goceng yang baru sadar dengan perbedaan waktu antara otaknya dengan waktu badannya melakukan aktivitas segera menyusun strategi. Sebelum dirinya sadar telah duduk di tempat serupa, dia segera menarik variabel bebas. “Semakin sering dirinya lalai terhadap angka-angka di layar, semakin banyak kata korbankan di ruangan itu.” Beararti dia harus melakukan sebaliknya.
Pada saat respons otak perihal lima jam berlalu, Goceng mendapati dirinya telah ada di balik jendela kantor. Matanya segera menghitung lalu-lalang orang-orang. Tak ada pengemis, pemulung dan pengamen di sana. Di kejauhan, hanya kemacetan yang dapat dia intip dari jendela bertirai irisan bambu. Goceng ingin tersenyum, meyakinkan spekulasinya di kesadaran yang lain telah berhasil. Bahwa, kalau dia bersungguh-sungguh menjaga jalannya angka di layar, pengorbanan tak perlu dilakukan. Namun, di sisi lain dirinya meyakinkan bahwa dia telah salah melihat. Ada bisikan yang semerta-merta menelisik.
“Semakin tinggi kau berada, semakin dalam ilusi menjauhkanmu dari kerendahan. Apa kau kira yang di bawah sana itu orang yang tak perlu meminta-minta? Atau kau pikir yang di bawah itu adalah orang yang tidak menunggu kapan dan di mana kau akan membuang botol plastik dari minuman yang kau teguk? Kau tak akan melihatnya kalau masih berada di ketinggian. Turunlah!”
Bisikan lima jam lalu yang baru muncul di benak Goceng membuat gaduh kantor. Goceng berteriak-teriak menerobos segala yang ada. Rekan yang berusaha bertanya memastikan keadaan yang menimpa Goceng, terpental ke kursi beroda. Sebagian yang lain mengalami hal serupa, terhengkang saat berusaha mendapatkan jawaban. Begitu seterusnya hingga tangan orang yang dipanggil bos mencengkram kuat lengan Goceng.
“Mengapa kau harus membuat gaduh sekarang, Anak Muda?”
“Bisikan itu telah membuat sontak tubuhku berlari. Otakku tak punya kendali atasnya. Aku tahu, kau yang telah membisikkannya.”
“Tak ada yang membisikimu, Anak Muda. Dan otakmu itu perlu diatur ulang. Minumlah.”
Lelaki yang biasanya hanya bisa memaki tersebut menyodorkan botol berisi air biru. Saat demikianlah, kesadaran lain Goceng memberontak. Dia ingat, dari rutinitas yang selalu sama, minuman itu menjadi kebutuhan yang diharuskan oleh lelaki pemaki. Di sana tak boleh meminum air lain kecuali air berwarna biru tersebut. Semerta-merta Goceng berkesimpulan, air tersebut mengandung racun, menyumbat ingatan dan membuat semua yang ada di tempat itu sepatuh budak. Kesimpulan singkat yang entah dia dapat dari mana tersebut segera membuat tangannya refleks menepis botol.
“Aku sempat berpikir telah gila, menyadari keadaan selalu berjalan lebih cepat dari yang kupikirkan. Rupanya, kau telah memperbudak kami semua di tempat ini. Jabatan, kau kira kami perlu jabatan?”
Goceng membanting tangan yang memegang lengannya. Lalu membuka baju, sepatu, kalung identitas diri yang membuatnya tampak seperti anjing. Kemudian melemparnya sembarang. Sela setelah tindakannya tersebut, sepasang lelaki berseragam yang biasanya Goceng temui di pintu masuk gedung menyeretnya. Di belakang Goceng, lelaki pemaki tersebut mengikuti. Langkah lelaki tersebut berhenti di balik pintu yang di baliknya lagi sepasang lelaki berseragam berdiri bersama Goceng.
“Padahal potensimu belum kukeluarkan semua, Goceng. Tapi sampai sinilah pengabdianmu. Dan kau tenang saja, keluargamu akan tetap mendapatkan uang atas asuransi jiwa yang telah kami berikan.”
Lepas dari kalimat tersebut, suara pistol segera mencipta keheningan.(*)
Jakarta, 3 April 2019.
Penulis bisa kau ikuti di riilfiksi.com
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata