Resepsi

Resepsi

Resepsi

 

Oleh : Rinanda Tesniana 

Tenda balon berukuran besar menutupi seluruh halaman rumah berdinding putih, yang tampaknya baru saja selesai dicat. Pelaminan yang berwarna sama dengan tenda, perpaduan merah hati dan emas, berhiaskan bunga-bunga hidup menambah kekaguman para tamu undangan. Hidangan di meja prasmanan tak kalah menggoda selera. Mulai dari nasi putih, batagor, mpek-mpek, hingga aneka kue kecil tersedia. Tak ketinggalan stan minuman pun melengkapi kemeriahan pesta. 

 

Halimah, sang nyonya rumah, mengenakan kebaya tradisional yang juga bernuansa merah hati. Kain songket emas membuat penampilannya semakin mewah. Senyum tak pernah hilang dari bibir perempuan berusia empat puluh delapan tahun itu. Seharusnya dia duduk di pelaminan, berdampingan dengan kedua mempelai, tetapi Halimah memilih menyambut para undangan yang datang silih berganti. Menurutnya, semua orang harus merasakan kemewahan dalam resepsi pernikahan putri tunggalnya. 

 

Sebelum resepsi berlangsung, Halimah sempat beradu pendapat dengan sang suami. Lelaki itu ingin membuat acara yang sederhana saja. Tak perlu menyusahkan diri dengan menggelar acara besar-besaran. Halimah tentu saja gengsi. Dia memiliki pendapat yang berbeda. Acara pernikahan Rania, putrinya, harus benar-benar mengesankan. Kalau bisa, hingga sebulan ke depan para tamu undangan masih membicarakan kemewahannya. 

 

“Usaha lagi sulit, Dek. Jangan sampai berutanglah untuk kesenangan sehari. Lebih baik uangnya kita kasih untuk Rania, modal dia memulai hidup baru,” Parno berusaha memberi pengertian kepada istrinya.  

 

Halimah memandang sinis ke arah suaminya. Lelaki yang sejak zaman pandemi kelihatan tambah tua itu menghela napas menyadari tatapan istrinya. 

 

“Itu biar jadi urusan Limah, Bang. Limah tak mau pernikahan Rania biasa-biasa saja. Dia anak kita satu-satunya.” 

 

“Kita bisanya yang biasa-biasa saja,” ujar Parno. 

 

“Sudahlah. Serahkan saja pada Limah. Abang kasih modal sikit aja, nanti Limah tambah dengan uang hantaran dari Pras.” 

 

“Halimah … jangan gembling.” 

 

“Percayalah, Bang. Kalau pun tak untung, Limah yakin kita tak akan rugi.”

 

Parno tak habis pikir dengan ucapan Halimah. “Kalau pesta itu, ya ndak usah hitung untung rugi, Mah.” 

 

“Sudahlah!” Halimah menepiskan tangannya di hadapan Parno. “Abang tenang sajalah. Limah yang jamin.” 

 

Parno terpaksa mengunci mulutnya rapat-rapat. Terlebih saat rumah mereka dihias dengan tenda besar dan pelaminan mewah. Kemudian satu per satu petugas katering membawa tester makanan, Parno tahu biaya yang harus dikeluarkan tak sedikit.

 

Halimah masih berdiri di pintu masuk resepsi saat antrean tamu mengular. Dia menyambut semua orang yang datang dengan antusias. Saat dia melihat perempuan paruh baya turun dari Fortuner hitam, mata Halimah membesar lalu dia bergegas menyongsong si tamu istimewa 

 

“Kak Lung.” Halimah memeluk sepupunya yang datang dari Bengkalis. “Lambat betul Kak Lung sampai, Limah pikir Kakak nginap di sini.” Perempuan itu berceloteh dengan sikap berlebihan. Dia mengamit lengan Kak Lung dan mengajaknya memasuki area pesta. 

 

Wanita yang dipanggil Kak Lung itu hanya tersenyum tipis. Matanya sibuk melirik meja hidangan, pelaminan, dan riasan wajah pengantin. Sementara Halimah tersenyum penuh kemenangan. Resepsi putrinya lebih mewah daripada pesta pernikahan anak Kak Lung dua bulan lalu. Padahal siapa pun tahu keluarga Kak Lung lebih kaya. 

 

“Keluarga kita sudah lama datang, Kak. Ada agaknya tiga hari mereka menginap di sini.” Halimah masih menggandeng tangan kakak sepupunya itu. “Kakak berangkat jam berapa dari Bengkalis? Tak macet di kapal? Biasanya hari libur ni roro antre panjang, kan?” 

 

Kak Lung tak ada niat menjawab pertanyaan bertubi-tubi Halimah. Dia memandang deretan hidangan di meja prasmanan yang menggugah selera. 

 

“Kak Lung nak makan dulu? Atau langsung mau foto sama pengantin? Fotografernya dari Momentum, Kak,” kata Halimah bangga. 

 

Kak Lung menatap fotografer berseragam hitam itu  dengan gusar. Pesta anaknya saja tidak pakai Momentum karena pertimbangan biaya.

 

“Kakak … nak makan saja dulu,” ucapnya pelan. 

 

“Ya silakan, Kak. Ayo, makan sampai kenyang. Makanannya masih banyak kok. Eh, keluarga kita di meja depan ya, Kak. Dekat pelaminan. Jangan pula Kakak duduk jauh-jauh. Dah rindu betul kumpul keluarga, kan? Dah lama tak jumpa.” 

 

Kak Lung lagi-lagi membuang napas kesal. Dia tahu waktu resepsi anaknya, banyak keluarga besar yang berhalangan hadir. Selain faktor acara yang diadakan pada hari kerja, Kak Lung memang malas menghadiri pernikahan saudara-saudaranya. Wajar saja saat dia mengadakan acara, keluarga yang datang hanya sedikit. 

 

*

 

Tak ada pesta yang tak selesai. Begitu juga resepsi pernikahan putri Halimah. Para tamu yang tadinya ramai datang, perlahan berkurang begitu jarum jam bergerak ke angka enam. Makanan-makanan yang tersisa dipindahkan ke piring milik tuan rumah oleh petugas katering. Suara musik yang tadinya memekakkan telinga berhenti. 

 

Halimah tersenyum puas saat duduk di meja penerima tamu. Dia yakin uang amplop yang ada di dalam dua buah  kayu putih bergembok.

 

Tunggu! 

 

Halimah mengernyitkan kening. Seingatnya dia sudah meminta Bang Parno membeli gembok kecil untuk keamanan uang yang ada di dalam kotak itu. Bukan rahasia lagi kalau uang yang menjadi hadiah dari para tamu bisa hilang saat pesta sedang ramai-ramainya. 

 

Halimah bergegas mencari Nunung dan Ica, dua anak tetangga yang bertugas menjaga meja penerima tamu. Dua gadis itu tampak sedang menghabiskan sepiring mpek-mpek. 

 

“Nung, Ca, tadi om kalian tak jadi beli gembok untuk kotak uang?” 

 

“Enggak ada, Tan,” jawab Ica. 

 

Halimah membuang napas kesal. Dia sudah yakin pesta pernikahan anaknya ini akan untung besar. Tamu undangan ramai datang, mereka pasti memberi amplop yang tidak sedikit. Dia sudah berencana melunasi katering dan tenda dengan uang itu. Halimah memang melaksanakan resepsi ini dengan modal berutang, tetapi dia yakin uang hadiah dari tamu cukup untuk melunasinya. 

 

“Yakin tak ada yang hilang?” tanyanya panik. 

 

“Insyaallah, Tan. Kami enggak ada ke mana-mana sejak tadi. Seharian nungguin kotak.”

 

Halimah mengembuskan napas lega. Lalu dia memerintahkan Bang Parno untuk membawa kotak itu ke kamar. Dia akan menghitung uang amplop nanti malam, sendiri, eh, berdua dengan Bang Parno. 

 

*

 

Malam hari, kesibukan di rumah di rumah Halimah tak ada lagi. Para saudara sudah pulang ke rumah masing-masing. Pengantin baru pun telah masuk ke kamar selepas azan isya. Ruang tamu masih penuh dengan kado yang belum sempat dibuka. Biarlah, itu bisa dilakukan esok pagi. 

 

Halimah bergegas menyeret suaminya masuk ke kamar. Dia tak sabar menghitung uang amplop. Pasti jumlahnya banyak. Semoga sampai di angka dua puluh juta. Uang sumbangan dari sanak familinya saja sudah sepuluh juta. Halimah optimis rencananya berjalan lancar. 

 

Maka, dia mulai membuka kotak pertama. Amplopnya melimpah hingga tak tertampung. Bibir Halimah menyunggingkan senyum manis. 

 

“Abang kelompokkan uang merah dan biru. Nanti disusun sejuta-sejuta, biar sedap kita menghitungnya.” 

 

Halimah mulai membuka amplop pertama. Tidak ada nama. Baik. Dia membukanya dan tersenyum semringah melihat dua lembaran merah. Lalu satu per satu amplop dibuka. Senyum Halimah perlahan memudar melihat pecahan dua ribuan, lima ribuan, bahkan banyak amplop kosong terselip di sana. 

 

Kotak kedua sama saja. Isinya memang penuh, tetapi amplopnya lebih banyak berisi uang dua puluh ribuan. Halimah mengerang kesal saat uang amplop yang diterimanya hanya berjumlah lima juta. Utangnya tak akan tertutup semua. 

 

“Ya, sudahlah. Seginilah rezeki kita.” Parno menenangkan istrinya. 

 

“Ah! Abang tak ngerti! Katering sama tenda itu Limah utang, Bang. Baru bayar DP lima puluh persen. Pelaminan juga masih utang lima juta.” 

 

“Astagfirullah.” Parno mengelus dada. Dia pikir acara mewah yang diselenggarakan istrinya ini berbekal uang simpanan, ternyata utang. 

 

“Macam mana ni, Bang?” rengek Halimah panik. 

 

Parno hanya menggeleng-gelengkan kepala, tak tahu harus berbuat apa.[*]

 

Padang, 7 Agustus 2022

 

Rinanda Tesniana, ambiver yang senang membaca.

 

Editor Zuhliyana

Leave a Reply