Judul : Dua Barista
Penulis : Najhaty Sharma
Penerbit : Telaga Aksara
Tebal buku : xvi + 494 hlm + 1 hlm (profil penulis)
Tahun terbit : 2020
Reviewer : Ken Lazuardy
Saya termasuk orang yang judge the book from the cover secara harfiah. Jadi jatuh cinta sama cover-nya dulu. Sekece cover novel “Dua Barista” ini.
Awalnya saya mengira, novel ini menceritakan kisah berlatar cafe atau kehidupan seorang barista. Eh ternyata saya keliru, justru novel ini mengangkat topik yang hot di kalangan emak-emak, yaitu poligami.
Saya suka gaya bercerita si penulis, luwes banget, mengalir, cerdas, penuh riset, dan sukses membuat saya baper sekaligus terkesima—meskipun ada sedikit kesalahan kaidah PUEBI namun tak mengurangi intisari novelnya. Terlebih, sosok beliau adalah seorang bu nyai muda di sebuah pondok pesantren, membuat saya semakin kagum kepadanya.
Dan yang saya tangkap, topik poligami dan drama percintaan di sini hanyalah sebagai pemanis. Sebab yang utama dalam novel ini adalah sebuah kritik sosial yang coba diutarakan oleh penulis, serta meluruskan paradigma yang salah kaprah yang tengah berkembang di masyarakat mengenai poligami.
Baper? Iyaaaa … sangat! Berkisah tentang kehidupan rumah tangga seorang Gus Ahvash, penerus tongkat estafet perjuangan Kiai Sholah di Pondok Pesantren Tegalklopo bersama Ning Mazarina yang kebetulan putri dari Kiai Manshur, pengasuh Pondok Pesantren Banyu Kuning tempat Gus Ahvash menimba ilmu.
Awalnya mulus, sampai suatu saat berhadapan dengan masalah yang sangat pelik, yaitu tidak ada lagi harapan bagi kedua sejoli itu memperoleh keturunan. Sistem patriarki di lingkungan pesantren yang memaksa Gus Ahvash untuk memperoleh keturunan sedarah, akhirnya berujung keputusan menikahi seorang Khodimah Meysaroh yang dipilih sendiri oleh Ning Maza (meskipun awalnya karena Meysaroh membubuhkan namanya sendiri dalam daftar calon). Awalnya Mey bersedia dengan niat mendapat ridho dan berkah dari Kiai, agar keluarga ndalem memiliki keturunan. Namun, siapa yang dapat menyalahkan ketika benih cintanya tumbuh subur kepada Gus Ahvash.
Konflik pun dimulai, apalagi setelah kehadiran Aliya, putri yang lahir dari rahim Meysaroh. Di tengah kekalutan yang dialami Maza, akhirnya dia menghibur diri dengan mengikuti acara fashion di Jogja yang mempertemukannya dengan sosok Juan Harvey, seorang teman di masa lalu yang—pelan tapi pasti—menggelitik perasaan Maza.
Badai kembali mengoyak kapal cinta Gus Ahvash dan Ning Maza ketika ada fitnah “perselingkuhan” antara Ning Maza dan Juan yang menyeruak di masyarakat.
Akankah Ning Maza menyerah dengan kehidupan poligaminya dan berlabuh dalam cinta Juan yang bersedia menerima dia apa adanya atau tetap bertahan dengan Gus Ahvash? Lantas bagaimana dengan Meysaroh? Menjadi yang kedua memang tak pernah mudah sebab akan selalu ada bayangan Ning Maza.
Saya rasa, tidak ada tokoh antagonis disini. Semuanya seimbang dan berjuang.
Ning Maza, Ning yang cerdas, fashionable, menarik, seperti sosok Aisyah RA, yang tak kuasa menahan cemburu dengan madunya yang semakin hari mendapat perhatian dari suami dan mertuanya.
Gus Ahvash, dengan kharismanya, gus ganteng, cerdas menawan yang berusaha mati-matian bersikap adil pada keduanya yang nyatanya sulit dilakukan.
Meysaroh, gadis lugu, baik, pandai memasak, yang berusaha untuk tetap ta’dzim karena ingat dia dahulunya seorang khodimah, namun ingin diakui eksistensinya dan dibalas cintanya.
Juan, lelaki tampan nan dermawan yang memiliki minat yang sama di bidang fashion dengan Maza, yang rela menerjang aral demi mendapatkan Maza yang dinilai tak bahagia dengan pernikahannya yang berstatus sebagai istri orang.
Banyak hikmah yang bisa saya ambil dari novel ini:
✅ Penulis tetap “memanusiakan” tokohnya, Kiai, Bu Nyai, Gus, Ning, menunjukkan bahwa mereka adalah manusia yang tak luput dari khilaf dan kesalahan.
✅ Banyak ilmu yang terselip disini, terkait fiqih wanita, mawarits, terdapat maqolah ulama dan hadits.
✅ Menunjukkan bahwa santri dan pesantren mengikuti perkembangan zaman, bukan kolot seperti yang dibayangkan
✅ Poligami jangan dijadikan sebagai pemuas hawa nafsu berkedok agama
✅ Digambarkan bahwa banyak kiai-kiai yang tak memiliki keturunan namun tak memilih jalan poligami. Begitu pula dengan Rasulullah yang bermonogami selama 25 tahun, berpoligami 8 tahun (itupun dengan tujuan menyelamatkan derajat wanita lemah kala itu)
✅ Tren fashion muslimah, busana syar’i, yang kadang berbelok dari tujuan aslinya.
Namun, selain beberapa kelebihan ada juga kekurangan dari novel ini, antara lain:
⛔ Ada beberapa kalimat berbahasa Jawa yang tidak diterjemahkan, jadi orang yang nggak ngerti bahasa Jawa mungkin akan kurang memahami.
⛔ Candaan atau rayuan yang diambil dari kaidah ilmu nahwu (gramatikal bahasa Arab) kurang bisa dimengerti, jika pembaca tak memiliki background dan ilmu terkait hal tersebut.
Overall, kesan saya setelah membaca novel ini adalah “Tak hanya indah, tetapi juga penuh hikmah. Tak hanya menyayat kalbu, tetapi juga sarat ilmu”. (*)
Ken Lazuardy. Perempuan kelahiran November 1990 di Pasuruan, Jawa Timur ini mencoba menekuni dunia kepenulisan pada bulan Oktober 2019 dengan mengikuti sebuah kelas menulis online. Masih dan akan terus belajar di berbagai grup kepenulisan, salah satunya di Kelas Menulis Loker Kata. Jika ingin berkenalan lebih lanjut, silakan berkunjung ke akun sosial medianya, WA : 082234570275, IG : ken_lazuardy, Facebook : ken_lazuardy.
Editor : Nuke Soeprijono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata