Pulang
Oleh: Melati ER
“Arsaaa!”
Terdengar suara dari lelaki tua membentak anak lelakinya yang berusia enam belas tahun, memecah keheningan malam tepat di depan pintu rumahnya. Sementara anaknya itu hanya memandang ayahnya dengan, nyaris tak berkedip, bagai menyimpan amarah yang siap terlontar dari mulutnya kapan saja.
“Kenapa?” tanya anak lelaki yang bernama Arsa itu, tidak kalah kencang. Ia menantang sang ayah.
“Ingat! Ini rumah bukan halte bus yang seenaknya kamu pulang dan pergi tanpa pamit. Pulang dengan badan bau alkohol dan rokok!”
Sang ayah terus berkata-kata dengan suara keras, lalu hampir saja tangannya melayang mengenai pipi Arsa. Namun, otak normalnya mengerem tangan yang sudah hampir mendarat itu.
“Pukul! Cuma itu yang Ayah bisa berikan kepadaku! Semua perhatian Ayah sekarang hanya tertuju kepada perempuan itu!” teriak Arsa sambil menunjuk seorang perempuan yang sedang menggendong dan berusaha menghentikan tangisan bayi berusia sepuluh bulan akibat terkejut dengan suara keras yang tiba-tiba.
“Dasar anak tak tahu di urus! Itu ibumu yang sudah membesarkanmu!”
“Ibu? Ibuku sudah meninggal dan perempuan itu sudah merebut perhatian Ayah sejak aku SMP. Apa pernah Ayah bertanya tentang kesusahanku sepeninggal Ibu?
“Arsa! Ibumu ini harus mengurus Alif yang masih kecil saat ibu kandungmu meninggalkan kita semua, termasuk kamu! Bahkan ia tidak pernah mengeluh akan keras kepalamu yang memperlakukannya dengan kasar. Ia hanya berharap suatu saat kamu akan sadar akan kasih sayangnya!”
“Ayah hanya membelanya. Kenyataannya perhatian Ayah hanya untuk perempuan itu!”
Arsa berjalan ke kamarnya, lalu keluar lagi dengan membawa ransel yang berisi pakaian beberapa lembar dan melangkahkan kakinya menuju pintu depan.
Melihat anaknya pergi tanpa pamit, sang Ayah sangat sedih. Ia merasa telah gagal mendidik Arsa untuk menjadi anak yang baik. Padahal, sejak kecil, Arsa selalu menerima ajaran kebaikan. Ayahnya juga selalu mengajaknya salat berjamaah dan tadarusan.
Namun, sejak ibunya meninggal karena sakit-sakitan setelah melahirkan Alif, adiknya, Arsa menjadi anak yang lain. Tidak suka di rumah dan bertabiat kasar.
“Jangan sedih, Ayah,” ujar Alif yang sudah berusia lima tahun.
Sang ayah hanya tersenyum tipis sambil mengelus kepala anak lelaki keduanya dengan rasa sayang.
***
Tiga bulan kemudian.
“Kenapa lo mukanya ditekuk gitu, Sa?” tanya Aini.
“Gak apa-apa. Yuk, ah. Mana minumannya?” tanya Arsa kepada Aini, teman minum-minumnya. Tak lama kemudian muncul Agus, Tipeng dan beberapa teman lainnya. Mereka gabung untuk minum dan merokok. Mabuk sepertinya sudah menjadi hal biasa bagi mereka setelah mendapat hasil rampasan dari para korbannya.
Aini yang penasaran sesekali, memperhatikan
raut muka Arsa. Sudah tiga bulan anak itu gabung di gubuk Aini bersama teman jalanannya. Mereka sudah seperti saudara, saling berbagi apa yang mereka punya.
Gubuk yang mereka tempati, tepatnya adalah bangunan yang asal berdiri di sebuah lorong dari rumah rusak yang mereka betulkan seadanya, yang penting bisa untuk mereka berkumpul, madat dan berteduh. Mereka anak-anak yang menjauhkan diri dari keluarga aslinya dengan berbagai masalahnya masing-masing. Merasa senasib dan seperjuangan hingga mereka asyik bersama, lupa namanya bangku sekolah bahkan manisnya kasih sayang dari orang tuanya.
“Sa, hari ini kita satroni minimarket depan sekolahan lo, ya!” ajak Tipeng sambil mengepulkan asap rokok ke muka Arsa yang sedang duduk menatap langit dari celah jendela kayu. Malam ini tidak ada bintang, hanya kelam. Pikiran Arsa tiba-tiba ingin pulang, ia merindukan dimarahi ayahnya.
“Sa …!” teriak Aini yang duduk tak jauh dari Arsa.
“Apaan, sih!”
“Malam ini kita keliling, cari mangsa, duit udah nipis,” jawab Tipeng sambil memainkan asap rokoknya.
“Asyik … yuk, jalan!”
Tiba-tiba Arsa bersemangat, ia siapkan perlengkapannya. Berjalan menuju motor dan diikuti oleh Tipeng, Aini, Agus, serta tiga teman lainnya yang baru selesai main kartu.
Arsa membonceng Aini. Malam ini ia seperti orang yang sangat bahagia. Sepanjang jalan berteriak dengan memainkan gas motornya. Bila sedang berada di jalanan, mereka bak anak kecil yang mendapat mainan kesukaannya, tidak takut dengan apa pun.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari, minimarket yang jadi tujuan akhir mereka masih buka karena toko tersebut beroperasi 24 jam. Ada dua penjaga toko, keduanya laki-laki. Arsa dan teman-temannya langsung menerobos masuk . Tipeng menodongkan belatinya ke penjaga kasir.
Pada saat yang bersamaan, datang beberapa preman dari sekitaran minimarket itu. Salah satu dari mereka mengenali Arsa yang beberapa waktu lalu pernah menusuk perut adik salah satu preman. Maka tak bisa dihindari, mereka pun terlibat perkelahian. Arsa lari keluar toko dan diikuti oleh empat preman. Sementara Tipeng dan yang lain kabur setelah merampas uang dari Kasir.
Arsa memacu motornya dengan kencang. Sayup-sayup terdengar suara mengaji dari salah satu masjid untuk penanda akan memasuki waktu Subuh. Arsa berhenti karena bensin motornya habis. Pemuda itu terpaksa berlari dan terus berlari hingga memasuki halaman masjid.
Arsa yang sudah lelah, jatuh tersungkur di depan halaman. Mereka yang mengejarnya sudah bersiap menusukkan belati ke arahnya. Arsa memejamkan mata tanpa daya. Lalu, tiba-tiba ada darah yang terciprat ke wajahnya. Bersamaan dengan itu, terdengar orang-orang sekitarnya berteriak.
“Bantu ini! Ada yang diserang! Ditusuk!”
Suara saling bersahutan tidak begitu jelas terdengar di telinga Arsa. Ia sudah merasa dirinya sedang berada dalam kondisi antara sadar dan tidak sadar. Kemudian perlahan Arsa memegang wajahnya yang basah, ternyata bau darah, ia pun segera duduk. Dilihatnya seorang bapak tersungkur tak jauh dari tempatnya berada, darah keluar dari punggungnya.
Setelah Arsa amati, ternyata itu ayahnya. Arsa berteriak dengan keras.
“Ayaaah! Maafkan aku!”
Rasa bersalahnya membuat Arsa seperti gila. Ia berteriak agar siapa pun yang berada di sekitarnya segera menyelamatkan ayahnya. Dengan cekatan, pengurus masjid segera mengeluarkan mobil ambulan milik masjid dan segera membawa ke rumah sakit terdekat.
Arsa ikut ke dalam mobil tersebut. Berkali-kali ia meminta maaf kepada ayahnya.
“Pulang-lah, Nak. Ja-ga Alif, Ibu dan a-dikmu!” katanya terbata-bata.
Arsa sangat sedih. Ia ingin pulang, tapi bukan seperti ini. Kini ia menyadari selama ini, ayahnya sangat menyayanginya. Hanya karena hasutan temannya tentang ibu tiri yang jahat, yang membuatnya jadi salah langkah.
***
Arsa hanya terdiam dalam penyesalan terdalam di atas tanah kuburan ayahnya yang masih basah. Ia menangisi kepergian sang ayah dan merasa karena menjadi anak yang tidak berbakti. (*)
Melati ER adalah Penulis yang sedang belajar menulis dengan baik dan benar. Penyuka makanan enak ini ingin berhasil membuat sebuah novel yang bagus dan berkesan. Bisa ditemui di Facebook: Melati Fortune.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata