Judul: Pulang
Eda Erfauzan
Perjalanan bukan hanya tentang berapa kilo meter jarak yang telah kau tempuh. Bukan tempat terjauh dari rumah yang berhasil kau jejak. Perjalanan adalah pilihan dan keberanian. Berani memilih kembali ke masa lalu, berdamai dengan diri, memaafkan, dan menerima yang telah terjadi.
Rapat telah lama usai. Dalam remang ruangan, Ardi berdiri di sisi jendela. Dari lantai delapan gedung perkantoran ia leluasa menikmati pemandangan kota yang mulai bertabur cahaya. Gemerlapnya mengingatkan Ardi pada cahaya yang memikat kunang-kunang mendekat.
Ucapan selamat, tepukan di bahu dan jabat erat baru saja diterimanya. Di bawah pimpinannya, perusahaan mereka kembali meraih Top Brand Of Mind kategori iklan, kualitas, dan keragaman produk, dan itu juga berarti penghargaan untuk top selling. Jika kekayaan, penghargaan, dan harta yang diyakininya sejak kecil bisa membuat orang bahagia, seharusnya kini ia bahagia. Namun, kenapa hidupnya malah terasa hampa? Kepahitan itu masih bercokol, mencengkeram hatinya.
Suara getar gawai di meja mengalihkan perhatian. Sebuah icon telepon berwarna hijau berpendar-pendar.
“Di.”
Sebuah suara menyapa begitu ia mendekatkan benda pipih itu ke telinga. Suara serak dan lelah ibu. Ada yang berdesir di dalam hati Ardi.
“Mungkin, sudah saatnya.”
Ardi mengernyit, tangannya bergetar.
“Iya, Bu, Ardi pulang.”
Ardi mengetuk kemudi dengan telunjuk kanan, menghadirkan suara dengan ritme teratur. Masih ada tiga mobil di depannya yang menunggu giliran menempelkan kartu e-toll sebelum palang penghalang terangkat dan membiarkan mobil-mobil itu melaju.
Mungkin sudah waktunya. Suara ibunya seperti gema—memantul, memanggil kembali semua kenangan menerobos ingatan, dan memaksa semua ikut dalam perjalanannya ke sebuah rumah sakit umum daerah di perbatasan kota.
Breeeet!
Suara itu terdengar saat Ardi separuh membungkuk untuk mengambil bola yang menggelinding dekat kakinya.
“Celananya robek!” Seorang anak berteriak.
Ardi merasa tubuhnya menegang sesaat, rasa panas mulai menjalari wajahnya. Ia berdiri dengan dua tangan menyilang, menutup bagian belakang tubuhnya.
Suara-suara itu kian ramai, anak-anak di lapangan mendekat, menunjuk-nunjuk dirinya yang merasa malu dan bingung.
“Celananya robek!”
“Celananya robek!”
Kata-kata itu berulang diteriakkan seperti mantra. Mereka berputar dan tertawa-tawa, mengejeknya. Suara lonceng tanda jam istirahat usai menyelamatkan Ardi, teman-temannya masih dengan tertawa sambil berlari ke arah kelas mereka.
Ardi merasa matanya basah, ia berjalan menunduk dengan suara koor yang terus mengikutinya. ‘Celananya robek’. Angin membawa suara itu hingga seisi sekolah tahu dan rasanya ia tak mampu mengangkat wajah. Rasa malu karena tunggakan uang sekolah ditagih seorang guru di depan kelas belum juga hilang, dan kini … ia seperti orang yang baru saja melakukan kejahatan. Ardi merasa tenggorokannya pahit. Pahit yang terasa hingga ke hati.
Suara klakson dari arah belakang menyadarkan Ardi dari kenangan. Mobil di depannya telah bergerak, ada jarak cukup jauh dengan mobilnya. Pantas saja pengemudi di belakangnya tak sabar. Bergerak maju, Ardi memasuki tol Sedyatmo dan memilih lajur arah lingkar luar Jakarta.
Rasa pahit itu masih mengikutinya hingga kini. Menjadi kaya adalah impiannya, cita-cita yang begitu saja muncul ketika di satu hari mendapati ayah dan ibunya membungkukkan badan, mengangguk taklim pada orang yang tengah memaki mereka. Kedua orang tua itu seakan membenarkan sumpah serapah dan kata-kata buruk yang dilemparkan kepada mereka. Kenapa ayahnya tak melawan? Balik menantang. Apa karena sering meminjam uang? Ardi tak mengenal nama laki-laki itu tetapi ia tahu pria kasar yang mengumpat orang tuanya adalah pemilik toko di ujung jalan dan pemilik rumah yang mereka tempati. Kali pertama Ardi menyadari ayahnya begitu lemah, tak memiliki semangat, menerima dirinya dihina dan direndahkan.
Diam-diam Ardi mulai sering memperhatikan ayahnya. Laki-laki itu jarang bicara, tubuhnya separuh membungkuk saat menghaluskan kayu. Saat bicara ia lebih banyak mengeluh tentang hidup yang semakin susah tanpa rasa getir dan amarah. Wajahnya tanpa rona, terlihat hampa. Sinar semangat seperti telah lama redup. Matanya berkabut, mengingatkan Ardi pada mata sapi yang terbaring untuk disembelih. Mata yang menyerah pada keadaan. Tak ada yang bisa ia banggakan dari ayahnya seperti teman-teman di sekolah yang selalu membanggakan kehebatan ayah mereka.
Keluarganya hidup miskin karena ayahnya sudah menyerah kepada keadaan. Ardi merasa perasaannya pada sang ayah hanya kasihan, tak bisa tumbuh menjadi rasa sayang hingga ia merasa bersalah.
Ia sayang pada ibunya, perempuan dengan tatapan yang selalu tenang. Seakan tak ada apapun yang membuatnya terguncang. Ardi rajin belajar, baik budi di kelas, tidak merokok, tidak berkata kotor, menjadi anak terpandai di kelas meski selalu berbaju lusuh karena ingin menyenangkan ibunya.
Ketika guru agama berkata, dosa seorang anak yang tidak mencintai orang tuanya. Ardi mengingat perasaannya pada sang ayah dan ia kembali merasa berdosa. Sekuat apa pun ia berusaha, hanya ada rasa kasihan di hatinya. Ia kasihan melihat ayahnya sulit bernapas, kasihan karena napasnya berbunyi, kasihan karena ayahnya mengeluh, karena ayahnya miskin, karena ….
Rasa bersalah dan berdosa justru membuatnya lebih banyak melakukan kesalahan. Saat kehidupannya semakin baik; pendidikan yang susah payah diperjuangkan mengantarkannya pada lingkungan berkelas; wawasan terbuka; dan kemajuan yang seakan tanpa batas; ia merasa bagai daun yang terserap pusaran angin, melesat cepat menuju tingkatan yang lebih tinggi, meninggalkan keluarganya yangmasih terikat kebutuhan mendasar.
Ardi malu dengan keluarganya sendiri padahal mereka ayah dan ibu kandungnya.Ia kasihan pada mereka dan merasa benci pada dirinya sendiri sebab tak pantas hanya sebatas kasihan sebagai pengakuan atas apa yang telah orang tuanya berikan. Ia merasa berdosa karena lebih banyak melihat kekurangan ayahnya, terutama pada wajah murung dan matanya yang menyerah kalah. Ia juga marah ketika mereka menebar jarak.
Seharusnya ia rendah hati, berjiwa besar, dan mau menerima bahwa nasib manusia tidaklah sama. Ia benci kemelaratan. Ia benci direndahkan. Ia benci nasibnya sendiri.
Ardi menyalakan radio. Jalan bebas hambatan yang dilaluinya terasa lengang dan desis suara pendingin udara dalam kabin menghadirkan senyap yang tak nyaman, karena memberi ruang lebih banyak pada kenangan yang meruah.
Hidup masa kecilnya telah menempanya menjadi orang yang memiliki harga diri berlebih sekaligus hati yang pengecut, yang tak membiarkannya berendah hati pada orang lain. Dulu, ia beranggapan orang berbuat baik padanya karena ia miskin, mereka iba, dan kasihan. Kini, dia curiga kebaikan orang lain padanya adalah karena mengharapkan sesuatu darinya.
Bahkan Sonia yang tulus menemaninya menaklukkan hari-hari sulit mereka dengan sabar tetap ia curigai sebagai wujud rasa iba dan kasihan, hingga perempuan itu meradang.
“Tak cukup banyakkah yang kau pikir, hingga kau masih memikirkan hal-hal yang telah lama berlalu?”
“Tak cukup beratkah bebanmu, hingga beban luka masa lalu terus kau bawa?”
“Jika kau merasa berdosa, minta ampunlah pada Tuhan!”
“Jika kau merasa bersalah pada orang tuamu, minta maaflah pada mereka!”
“Kau punya masalah dengan masa lalumu, selesaikan itu, dan baru kembali padaku!”
Suara-suara perempuan itu kini kembali terdengar. Ardi mengambil jalur kiri bersiap keluar jalan bebas hambatan. Memasuki jalan luas yang dulu begitu sering macet, menjebaknya dalam pengap bus tiga per empat berwarna kuning hijau yang selalu kelebihan penumpang. Kini dalam kabin suv berpendingin ia meluncur nyaman membelah jalan RA. Kartini, lurus arah Ir. H. Djuanda.
“Kau harus menerima orang lain sebagaimana adanya. Jangan hanya karena segelintir orang menyakitimu, kau salahkan semua orang di dunia.” Suara itu kembali dengan nada yang lebih lembut. Ah, Ardi ingat. Sonia mengatakan itu usai ia bercerita tentang kejadian saat jam istirahat yang menghancurkan rasa percaya dirinya.
Selama ini, ia hidup sendirian, menentang seluruh dunia. Berperang dengan dirinya sendiri secara terus-menerus agar takluk rasa bersalah dan berdosa. Ia harus mencari jalannya sendiri, melepaskan beban masa lalu yang menggantung di lehernya.
Sedikit lagi ia sampai tujuan ketika sinar itu masuk memenuhi kabin mobilnya dengan cahaya lembut. Ardi menepikan mobil, ia menggigil ketika menyadari sesuatu yang berpendar itu telah lenyap meninggalkan rasa damai. Lalu, ia seperti melihat ayah dan ibunya sedang terbungkuk-bungkuk di depan sebidang tanah, sedang memandangi putik-putik mawar. Menyiangi rumput liar yang tumbuh di sekelilingnya. Kemudian membunuh ulat, semut, dan hewan-hewan kecil pengganggu. Bunga mawar itu telah tumbuh, sekarang. Mekar dan indah …. Ia merasa seperti bunga mawar kesayangan orang tuanya. Dalam asuhan mereka, ia tumbuh dan mekar, tetapi kemudian mawar itu merasa malu akan tukang kebunnya.
Ardi menarik napas, sesuatu terasa terangkat dalam jiwanya. Ia melanjutkan perjalanan. Langkahnya terasa ringan saat memasuki lift yang akan mengantarnya ke lantai empat. Dalam bayangannya, ia akan memeluk ayah dan ibunya. Mencium tangan mereka dan mulai menyayangi serta mencintai dengan lembut.
Tangerang Selatan, 3 April 2019
Eda Suhaedah/Eda Erfauzan gemar membaca dan hingga kini masih menyukai dongeng-dongeng klasik dunia. Mulai menulis di buku harian sejak SMP dan masih terus belajar untuk menghasilkan karya yang baik.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata