Pertanda

Pertanda

Pertanda

Oleh : Medina Alexandria

“Kita mungkin terhubung oleh masa lalu, tapi tidak dengan masa depan. Seumpama ada sebuah lorong yang menghubungkan keduanya, maka ia telah runtuh dan tertutup sejak ibumu menolak kehadiran saya.”

*

Saya bertemu Mufik! Di jalan pintas yang biasa saya lewati saat berangkat dan pulang kerja. Ya, ia ada di sana, menyadap nira.

Entah mengapa perusahaan memercayakan pembuatan gula kelapa pada orang-orang luar—orang-orang suku Jawa dari sisi timur kabupaten. Mungkin karena laki-laki lokal dianggap tak cakap menyadap nila dan perempuan-perempuannya tak mahir mengolahnya menjadi gula. Atau mungkin,orang dalam tidak memadai lagi, tenaganya sudah terpakai untuk komoditas utama: kakao dan karet.

Dalam perjalanan pergi-pulang kerja, sering saya melihat para penyadap merayapi pohon-pohon tinggi itu. Pisau sadap sebesar parang berkilat-kilat di balik punggung mereka, kempleng penampung nira yang digantungkan pada pengait khusus di bagian belakang ikat pinggang bergoyang-goyang ke kiri kanan mengikuti liuk tubuh-tubuh kurus mereka.

Dan beberapa hari lalu, saya melihatnya, menuruni takik-takik pohon lalu berbalik setelah menjejak tanah, ia tersenyum. Senyum yang sejak dulu tak pernah berubah.

“Mufik?! Apa yang kamu lakukan di sini?!”

Hanya tanya itu yang terpikir dalam otak setelah beberapa detik menganga dan terbelalak. Namun, lain dengan saya, tak tampak tanda-tanda keterkejutan dalam roman wajahnya, seolah kami sudah biasa bertemu. Laki-laki itu kembali mengumbar senyum.

“Sudah sebulan saya bekerja di sini dan setiap hari pula saya melihat kamu lewat,” katanya beberapa saat kemudian. “Kamu tak pernah melihat saya, karena saya tak ingin mengganggu, anggap saja saya bersembunyi. Tapi saya rasa, tak mungkin bisa terus menghindari kamu. Cepat atau lambat kita pasti akan bertemu.”

“Bagaimana kamu bisa bekerja di sini?” Saya mengulang pertanyaan yang belum ia jawab.

Mufik menghela napas.

“Zaman sekarang, nyaris semua orang memiliki sepeda motor, Mar. Pekerjaan sebagai kusir delman sudah tak bisa diharapkan. Orang-orang lebih suka bepergian dengan motor. Yang tak punya pun lebih memilih naik ojek. Karenanya, saat ada menawari saya pekerjaan ini, saya langsung menerima.”

Entah ini kesialan atau sebaliknya. Yang jelas, saya tak pernah menyangka dan berharap akan kembali bertemu dengannya, setelah sekian lama.

“Kamu belum menikah, saya pun belum bertemu jodoh, dan sekarang saya di sini tanpa menyengaja. Tidakkah menurutmu itu sebuah pertanda?” katanya setelah beberapa kali perjumpaan di jalan.

Saya tak menduga ia akan mengatakannya. Namun, saya juga tak perlu waktu lama untuk memikirkan jawabannya.

“Hubungan kita sudah berakhir bertahun-tahun lalu, Fik. Saya rasa Allah memang menakdirkan itu, dan saya tak ingin mengingat-ingatnya.” Saya berdiri dan bersiap pergi. “Ini musim hujan, pohon kelapa pasti licin, kamu hati-hatilah bekerja.”

Setelah pertemuan itu, saya tak lagi menyusuri jalan pintas demi sampai lebih cepat di depan pintu kantor. Saya beralih pada jalan utama yang membelah kampung menjadi dua: bagian timur dan barat. Sedikit lebih jauh, tapi tak mengapa.

Saya tahu ia juga terluka dengan apa yang terjadi delapan tahun silam, tapi duka saya tentunya lebih dalam, karena selain terluka, hati ini juga terhina oleh prasangka ibunya atas asal-usul saya. Dan setelah semua itu, ia ingin kami kembali mencoba?

Walaupun tak lagi menyakitkan, tapi masih sangat membekas dalam ingatan saat Mufik mengundang saya ke rumahnya atas kehendak sang ibu. Perasaan saya tidak karuan waktu itu, antara bahagia dan stres karena akan bertemu calon mertua untuk pertama kalinya. Namun, apa yang saya dapat? Ibunya yang sangat santun itu tak menginginkan menantu seorang berdarah Madura!

Tentu saja saya memaafkan, dan berusaha memahami bahwa seorang ibu tentu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun memaafkan bukan berarti bisa melupakan, bukan?

*

“Mar, Ibu ketemu Mufik,” kata Ibu memulai percakapan. Saya mengalihkan pandangan dari buku-buku kas. Akhir bulan memang sangat sibuk, karenanya saya sering membawa pulang pekerjaan.

“Ya?”

“Dia enggak berubah, ya. Tetap sopan dan ramah anaknya.”

Ah! Itu karena Ibu belum tahu kisah kami sebenarnya. Dulu saat Mufik tiba-tiba tak pernah lagi mendatangi saya di Sabtu malam, saya sampaikan pada Ibu dan Bapak bahwa kami bukan lagi pasangan kekasih, keluarga Mufik meminta kami untuk segera menikah, tapi saya merasa belum siap, masih ingin bekerja, jadi sayalah yang memutuskan hubungan. Ya, saya berbohong.

“Dia juga minta maaf sama Ibu ….”

“Terus?” Kali ini saya benar-benar menaruh perhatian akan perkataan Ibu. Saya menaruh pulpen lalu menutup buku kas yang masih selesai separuh jalan.

Ibu menatap saya sebagaimana juga saya serius memandangnya. Beliau menarik napas panjang.

“Usiamu itu sudah lebih dari cukup untuk berkeluarga, lho, Mar. Ibu dan Bapak sudah tua, takutnya enggak sempat nimang cucu.”

Mata Ibu tak lepas memandang saya. Sekali lagi beliau menghela napas. Sejenak saya menunduk lalu kembali menatapnya.

“Maksud Ibu, Ibu ingin saya menikah dengan Mufik?”

Perempuan teristimewa itu mengangguk.

“Ibu akan tenang kalau kamu sudah menikah, dan Ibu merasa Mufik akan menjadi suami yang baik untuk kamu, Mar. Lupakanlah apa yang terjadi di masa lalu.”

Seketika saya merasa linglung.

Kata-kata Ibu terus terngiang bahkan saat saya merebahkan badan di tempat tidur. Saya terserang insomnia. Haruskah saya menerimanya kembali karena kemauan Ibu? Seperti halnya Mufik meninggalkan saya dulu sebab baktinya terhadap orang tua.

Lalu saya teringat pada Mufik. Saya tidak membencinya, hanya saja saya tak lagi punya perasaan apa pun terhadapnya.

“Masa? Apa kau yakin, Mar. Apa penolakanmu ini bukan karena hatimu itu masih terluka? Kau hanya ingin melampiaskan kekecewaanmu padanya.”

Saya menggeleng-geleng sambil menutup kedua telinga. Mana bisa hati ini berkata demikian. Itu tidak benar!

*

Jarum jam di pergelangan tangan menunjuk angka enam. Pekerjaan yang tak kunjung rampung ini biarlah saya lanjutkan esok hari. Setelah mengemasi buku-buku, saya beranjak dari kursi yang di bantalannya sudah tercetak sebentuk pantat saking lamanya diduduki. Di luar, hujan yang turun sebelum zuhur belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Beruntung saya tak pernah lupa membawa payung. Saya bergegas pulang.

Sepanjang jalan saya menimbang-nimbang lagi, tentang hal yang beberapa hari terakhir menghantui pikiran, tentang Ibu, Bapak, Mufik, dan sebuah keputusan yang telah saya ambil: Demi orang tua, seperti saat ia meninggalkan saya dulu, saya pun akan melakukan hal yang sama. Demi orang tua, besok saya akan katakan padanya, ya, saya bersedia!

Belum jauh meninggalkan kantor, telinga saya menangkap suara riuh dari arah timur, cahaya senter saling berkelebat, beberapa lelaki tampak berlarian ke arah jalan di mana saya berdiri kebingungan. Kaki-kaki mereka berkecipak saat menjejak tanah basah. Orang-orang itu melewati saya, mereka menggotong sesosok tubuh. Cahaya lampu jalan tak cukup terang sehingga saya tak bisa melihat siapa para lelaki itu. Warga kampung berlarian keluar rumah, mereka tak peduli akan derasnya hujan. Sama seperti saya, mungkin mereka juga penasaran. Lalu saya mendengar seseorang berkata: “Kasihan sekali pemuda itu, mungkin karena belum lama bekerja, jadi dia tergelincir dari atas pohon kelapa.”

Hanya hujan. Tak ada petir. Namun rasanya seperti halilintar telah menyambar ke dalam dada. Saya berbalik, lelaki-lelaki yang melewati saya tadi tampak semakin jauh, sementara orang-orang yang berkerumun saling bicara dan saling menimpali. Suara mereka nyaris terdengar seperti dengungan lebah.

Saya berlari mengejar mereka dan membiarkan angin menerbangkan payung yang terasa semakin berat dalam genggaman. Air hujan menghunjami kulit laksana paku-paku tajam, tapi saya tak lagi peduli.

“Tunggu! Tunggu saya!” Saya memekik berulang-ulang. Namun tampaknya hujan menenggelamkan suara saya.

Medina Alexandria, bidan yang suka menulis.

Editor : Fitri Fatimah

Leave a Reply