Percakapan di Atas Ranjang

Percakapan di Atas Ranjang

Percakapan di Atas Ranjang
Oleh : Rachmawati Ash


Asap gelap dari gas air mata membubung pekat menutup semua pandangan, membuat hidung terasa panas dan menembus ke pangkal paru-paru yang membuat dangkal pernapasan. Suara histeris dan sumpah serapah keluar nyaring dari mulut-mulut yang tidak dapat diketahui siapa pemiliknya. Gas air mata terpaksa diluncurkan, membuncah, porak poranda menghantam kornea mata para demonstran yang sulit dikendalikan. Bukan, bukan hanya menghunjam mata dan pernapasan para demonstran, tapi juga menusuk menghunjam pada mata, kerongkongan, dan penglihatan para polisi itu sendiri. Senjata makan tuan, tapi tak ada pilihan lain. Keadaan memaksa semua bertindak brutal. Tak ada yang salah, tak ada yang benar. Polisi dan demonstran sama-sama bertindak sesuai tugasnya masing-masing. Semua yakin dan percaya bahwa yang mereka lakukan sudah sesuai prosedur.

Apa pun bentuk dan tujuan demontrasi tidak pernah tidak meninggalkan luka. Entah, luka hati atau luka fisik, luka berat atau ringan. Luka tetaplah luka, tak ada luka yang tidak meninggalkan bekas. Rumah sakit terdekat dengan lokasi dipenuhi korban demontrasi dan juga korban dari pihak keamanan. Sibuk lalu-lalang petugas perawat dan dokter, berseliweran keluarga yang berebut mencari celah untuk segera mendapatkan keluarganya yang sedang dirawat seadanya. Aroma obat bius menebar menembus tembok tiap-tiap ruangan, naik ke langit-langit. Adegan sudah mirip dengan film action pertempuran yang berdarah-darah.

Manda mempercepat jalannya, dengan sigap dan penuh tenaga dia menyingkirkan pengunjung lain yang memenuhi koridor rumah sakit. Harapannya hanya satu, segera bertemu dengan Rudi—suaminya. Kedua matanya menangkap sesosok wajah dengan ekspresi menahan sakit. Manda menghampiri dan memeluknya. “Kamu akan baik-baik saja, Pak Polisi. Aku di sini, datang untuk menjemputmu pulang.”

Rudi sedikit pun tidak tersenyum menyambut pelukan istrinya. Matanya memandang penuh penyesalan, ada luka yang tidak dapat diungkapkannya pada siapa pun saat ini.

**
Secangkir teh manis hangat tersaji di meja sebelah ranjang. Manda memandang suaminya, lalu memandang teh di meja, memandang lagi ke arah suaminya. Manda mengangkat bahu, tersenyum dan menyusul suaminya ke atas ranjang. “Kenapa tehnya tidak diminum, Sayang?” Tangan kanannya bergelayut di pundak suaminya.

Rudi tersenyum kecil, bibirnya masih pucat di masa penyembuhan ini. Rudi merebahkan tubuhnya yang masih dipenuhi luka basah di kasur. Manda mengikuti merebahkan tubuh di samping suaminya sebelum tangannya menarik selimut menutupi keduanya sampai ke batas leher.

“Aku payah sekarang, masihkah kamu menerimaku?” Rudi memperbaiki posisi kepalanya di bantal.

Manda bangkit, memperhatikan wajah suaminya dengan tajam, tersenyum dan mengambil teh hangat di sampingnya. “Aku akan menerima bagaimana pun keadaanmu, Pak Polisi. Ini minum dulu tehnya.”

Senyumnya yang manja membuat Rudi tak bisa menolak setiap keinginannya. Rudi menerima cangkir dan meminum tehnya. Manda menyandarkan tubuhnya yang lencir di bagian ranjang di belakangnya. “Aku sudah berjanji akan menerima semua keadaan kita, bagaimana pun itu. Saat kamu membacakan janji suci untuk mengambilku sebagai istrimu, saat itu juga aku berjanji dalam hati, aku menerimamu, Sayang.”

Manda memandang suaminya dengan tatapan serius, disusul senyum manis yang membentuk garis di sisi kedua pipinya yang putih mulus. Rudi membalas senyumnya, tatapannya beralih ke luar jendela. Kedua mata dengan alis tegas itu menatap nanar pohon-pohon mahoni yang berdiri kukuh di seberang rumahnya. Manda menarik lembut wajah suaminya dengan kedua telapak tangannya, membuatnya sedikit bergeser, matanya beralih memandang Manda.

“Aku cacat, Sayang, aku malu!” Rudi menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.

Manda segera mengambil tangan itu, menahan di dadanya, sampai Rudi dapat merasakan detak jantungnya yang berirama stabil dan tenang. “Kenapa harus malu? Kamu akan lebih malu saat kamu lari dari tempat demo dan bersembunyi untuk menyelamatkan diri.”

Manda merapikan piama yang dikenakan suaminya, menyentuh lembut bekas luka di bawah leher yang sudah agak kering. Rudi sedikit bergeser, saat tangan halus istrinya menempel pada bekas lukanya. Manda terkejut, menarik kembali tangannya, “Masih sakit?” raut wajahnya seketika berubah menjadi panik. Rudi tersenyum nyengir, bibirnya yang tebal masih tampak pucat. Laki-laki yang menikahi Manda selama enam tahun ini terlihat rapuh. Bukan karena banyak luka di tubuhnya pasca demo beberapa hari lalu, tapi karena ada ketakutan yang membuatnya merasa sangat lemah sebagai seorang laki-laki.

“Ada banyak hal yang akan membuatku bertahan, rumah tangga bukan hanya tentang seks, tapi ada anak-anak yang butuh kasih sayang kita, ada cita-cita dan keinginan yang belum kita capai.” Manda mengelus lembut pipi suaminya, berusaha memberinya penjelasan dengan hati-hati agar tidak membuatnya tersinggung.

“Aku tahu kamu akan menerimaku, tapi seiring berjalannya waktu, aku takut kamu akan meninggalkanku.” Polisi berbadan tegap itu mulai tidak percaya diri. Setelah kemaluannya dioperasi , prostatnya telah diangkat dan dokter mengatakan bahwa Rudi tidak dapat melakukan hubungan suami-istri lagi.

Manda tersenyum, lalu sedikit tertawa sambil menyandarkan kepalanya di bahu suaminya, “Meski kamu pulang tanpa tangan dan kaki sekalipun, aku akan tetap menerimamu.” Manda memeluk Rudi, membuat suaminya itu meringis karena menahan sakit di sekujur tubuhnya yang belum benar-benar sembuh. Manda segera melepaskan pelukannya, mencium pipi suaminya dengan mesra. “Aku mencintaimu.” Rudi membalas ciuman istrinya di dahi dengan cukup lama. Manda berusaha tidak meneteskan air mata. Dia tahu suaminya sedang berada di titik lemah. Dia harus menunjukkan betapa cinta telah menghadirkan kekuatan yang mahadasyat bagi dirinya.

Manda bersyukur karena memiliki suami yang bersikap kesatria, bertanggung jawab pada profesinya. Bukan hanya itu, Manda telah menerima segala risiko yang akan didapatkannya sebagai istri seorang polisi. “Sudah! jangan cengeng, Pak Polisi, nanti gantengnya ilang!” Manda melepaskan diri dari pelukan suaminya. Dengan cepat merebahkan diri di kasur, disusul Rudi merebahkan diri dengan pelan-pelan dan menahan sakit di sekujur tubuhnya.

“Bagaimana kalau nanti kamu pengen, hemmm … begituan?” Rudi tidak memandang wajah istrinya, matanya menatap langit-langit kamar yang berwarna biru muda.

“Hah? Ya ampun, Pak Polisi masih membahas itu?!” Manda mengangkat kepala, mendekatkannya ke wajah suaminya. Rudi terpaksa menatapnya, masih dengan wajah yang datar, tidak ada reaksi tersenyum atau marah di sana.

“Iya, apa yang akan kamu lakukan?!” Rudi melontarkan pertanyaan dengan harapan menerima jawaban yang dapat memuaskan hatinya, sedikit menghilangkan ketakutannya.

Manda terkejut, pertanyaan yang tidak dipikirkannya itu keluar begitu saja dari mulut suaminya. Manda lebih mendekatkan wajahnya ke wajah suaminya, “Aku akan mengisi malamku dengan berdoa, agar suamiku diberi umur panjang dan dilindungi oleh Tuhan. Aku akan berdoa agar anak-anak kita tumbuh kuat seperti papanya.” Manda kembali mencium pipi suaminya.

Rudi meneteskan air mata.

“Jangan cengeng, Pak Polisi, aku mencintaimu, dan… aku tidak akan melakukan hal konyol seperti yang ada dalam pikiranmu.” Manda tertawa, disusul tawa dari suaminya yang memeluknya tidak terlalu erat.

Rudi mencium kening Manda, mulutnya berbisik lembut , “Terima kasih telah menjadi mutiara yang indah untukku.” (*)

 

Rachmawati Ash. Hobi menulis dan membaca. Makanan kesukaannya adalah bika ambon, gado-gado, dan bakso.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply