Partikel Tuhan; Kumpulan Puisi Cahaya Fadillah

Partikel Tuhan; Kumpulan Puisi Cahaya Fadillah

Partikel Tuhan; Kumpulan Puisi Cahaya Fadillah

 

Kiriman Rindu

 

Kasih

Sampaikah rindu yang kukirim lewat angin?

Mungkin terasa dingin, tapi memang begitu keadaan hatiku.

 

Kasih

Sampaikah rindu yang kukirim lewat lagu?

Mungkin terdengar sedih, tapi memang begitu keadaan hatiku.

Mata ini memang berhenti mengeluarkan air mata. Bibir ini kini berusaha tersenyum bijaksana.

Semua kulakukan agar hati mampu untuk baik-baik saja.

Kapan pulang? Rinduku mengetuk pintu hatimu berulang. Apa kau tega?

 

Bosan itu Mematikan

 

Aku memilih mengurung diri

Berteman dengan sepi sampai nanti

Kubiarkan diri ini hanyut dengan lamunan

Semoga aku tidak mati ditelan bosan

Tanpamu, hidupku berantakan.

Sampai di sini apa kau paham?

 

Partikel Tuhan

 

Pernah aku mengutuk semesta

Karena rasaku di lambung gravitasi seenaknya

Bagai reaksi nuklir yang tidak sederhana

Hatiku mati rasa

Kau dan aku adalah Adhesi sang Ilahi

Yang bertemu melalui adsoropsi bernama hati

Hingga rasamu dan rasaku terbuai aerostat

Kau bagai partikel Tuhan yang mengikat

 

Lelaki, Wanita dan Isinya

 

Lelaki, kaummu memang punya kuasa

Tapi kami wanita punya sabar bagai ancala

Kuat, terpahat begitu gagahnya

Kokoh kami terlihat walau punyai sisi rapuh pada isinya

Lelaki, kaummu memang punya kuasa

Tapi akan hampa tanpa kami para wanita

Kuatmu diragukan jika dalam hatimu tidak ada cinta

Seperti ardi gagah perkasa, tapi kosong melompong di dalamnya

 

Sepotong Asa

 

Tengoklah ke sini

Kau akan dapati seonggok hati

Tergelak tak berdaya menunggu mati

Karna siksa cinta yang tak berhenti

Lihat sebentar saja

Tidak perlu pura-pura

Sesibir asa kini berteriak semaunya

Melolong ingin sudahi siksa

Unting tersedia untuk akhiri

Niatnya sudah ingin mati

Angur hidup fana seperti ini

Cinta yang sudah tidak akan jadi beban lagi

 

Harap Anak pada Bunda

 

Waktu melipat tawa

Merontokan kisah masa kecil

Bunda lupa pada wajibnya

Mengalirkan sayang pada si kecil tidak berdosa

Mengukur hari pagi hingga petang

Lupa si kecil belum makan

Abaikan dia tanpa rasa sayang

Demi berlian penghapus senyum kecil

Gigil, sendu dan sepi

Menutup hati hingga jiwa pun terkontaminasi

Dalam pikir berkata

“Bunda tidak inginkan aku lagi”

Si kecil pergi bersama sepi

Gigilnya kini jadi intropeksi

Bunda lupa curahkan cinta

Hingga si kecil hilang lupa bernyawa

 

Kotak Sabar

 

Sudah meluap

Tidak dapat dicegah

Merapal janji hanya pada mula

Lalu di tengah mulai jengah

Apa yang salah?

Ketika hati tidak lagi bisa menahan amarah

Cecar, bingar, kata penuh luka

Keluar tanpa tertahan

Bengisku meluap-luap

Mengepulkan asap di dada

Kepalaku penuh emosi sesaat

Lalu hilang sabar, sesal kemudian

 

Tangis Kecil

 

Kurasa sudah kupersiapkan semuanya.

Semua rasa yang akan menyiksa jika jarak membentang antara kita.

Ya, aku bisa apa? Jika tujuannya memang untuk kita.

Lagi dan lagi, aku hanya meng-amini sesuatu yang kita cita-citakan, lalu kau yang berupaya menjadikannya, sedangkan tugasku mendoakannya.

Aku bisa menjadi wanita kuat, bukan?

Namun, tangis kecil itu membuyarkan semuanya.

Benteng pertahananku mulai retak dan bisa saja hancur seketika.

Dalam hening ia bertanya, kau ke mana saja?

Tetesan air matanya berkata, kalau rindu itu menyiksa.

Padahal, aku mencoba lupa agar rindu tidak merusak suasana.

Kini, kuatku hanya tinggal kata-kata.

 

Cahaya Fadillah, lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat. Menyukai literasi sejak duduk di bangku sekolah dasar, tapi baru aktif tahun 2017. Ibu satu anak bernama Muhammad Adz Dzikri Faeb ini sangat suka menulis. Sampai sang suami memberi gelar untuknya “Si Tukang Karang”.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply