Osuarium
Oleh : Vianda Alshafaq
Hari ini akan ada ritual pembongkaran kuburan Tuan Karl yang dikebumikan sebulan lalu. Sejujurnya, saya selalu merasa ngeri ketika melihat tulang-tulang penghuni kubur itu dikeluarkan. Ketika melihat itu, saya merasa tulang saya nyeri, seperti terasa terpisah-pisah seperti tulang penghuni kubur yang saya lihat itu. Coba kau bayangkan bagaimana jika tulang tanganmu disatukan dengan tulang kaki? Atau dengan tulang kepala? Dan, diempaskan dengan keras ke dalam osuarium?
Kadang-kadang saya berpikir, apa yang mungkin saja dirasakan oleh si penghuni kubur ketika tulangnya diangkat dan diempaskan dengan kasar? Ketika saya sedang berpikir begitu, kadang-kadang saya juga bersyukur karena mereka sudah mati. Setidaknya, mereka tidak lagi merasakan nyeri itu.
Angin berembus lebih kuat dari biasanya. Saya sudah berdiri di depan lubang dengan kedalaman sekitar tiga meter yang mereka sebut “Osuarium”. Lubang ini akan menjadi tempat penyimpanan tulang-tulang penghuni kubur yang sudah dikeluarkan dari kubur. Dan, kapan-kapan, tulang itu akan diambil untuk diubah menjadi aksesoris atau hiasan dinding oleh siapa saja yang membutuhkan.
Tepat pukul satu siang, proses pembongkaran kuburan Tuan Karl dilakukan. Kegiatan itu diawali oleh doa-doa dari tetua kampung. Dalam doa itu, mereka menaruh harapan agar Tuan Karl tenang di pangkuan Tuhan. Begitu yang saya dengar ketika tetua kampung memimpin doa.
Seorang laki-laki—sebut saja Penggali Kubur—mulai mencangkul kuburan Tuan Karl. Sementara beberapa orang lainnya—di sana ada empat orang laki-laki—hanya melihat dan mengucapkan doa. Saya sendiri, hanya mengamati. Tidak mengucapkan doa, tidak juga masuk dan mengambil tulang-belulang itu nanti. Kadang-kadang saya berpikir kenapa saya harus menghadiri proses ini sementara saya tidak akan membantu apa pun. Tetapi begitulah, setiap akan ada pembongkaran kuburan ini, saya akan hadir, berdiri di samping orang-orang ini dan hanya mengamatinya.
Satu-dua bunga kemboja yang sedang mekar jatuh ke kuburan Tuan Karl. Kembang berwarna kuning bercampur putih itu kemudian terbawa oleh cangkul Penggali Kubur, kemudian terempas ke tumpukan tanah hasil penggalian. Tak lama setelah bunga yang gugur itu bergabung dengan tumpukan tanah hasil galian, satu-dua bunga kemboja lainnya kembali jatuh. Begitu seterusnya, sampai peti mati Tuan Karl terlihat dan diangkat ke permukaan oleh beberapa orang yang turun. Untungnya, Penggali Kubur membuat sedikit ruang—yang hanya pas untuk tubuh—di antara dinding kubur dan peti mati Tuan Karl.
Jujur saja, setiap kali saya menghadiri pembongkaran kuburan ini, saya ingin membantu si penghuni kubur untuk menetap di kamarnya. Saya ingin orang-orang tidak mengganggu penghuni kubur ini. Tapi, saya tidak bisa melakukan apa-apa. Kadang-kadang saya berpikir, apa mungkin saya sudah melewatkan sesuatu untuk membantu para penghuni kubur agar mereka tetap di kamarnya masing-masing dan tidak dipindahkan ke osuarium? Tetapi, sekeras apa pun saya mencoba berpikir, saya tidak menemukan jalan untuk membantu mereka. Saya lagi-lagi hanya bisa mengamati dan terus merasa kasihan.
“Apa di antara kalian ada yang ingin mengambil beberapa tualangnya sebelum dimasukkan ke osuarium?”
Itu suara pria bertopi hitam yang sudah membuka tutup peti mati Tuan Karl. Namun, mereka yang ada di sana hanya menggeleng.
Pria bertopi hitam itu meminta pria lain membantunya mengumpulkan tulang-tulang Tuan Karl yang masih tersusun rapi di dalam peti ke sebuah kain putih yang akan membungkus tulang-tulang itu. Dengan segera, mereka melakukan titah pria bertopi hitam.
“Kenapa kalian tidak ingin mengambil tulang hari ini?” tanya tetua kampung.
“Tulang kemarin belum selesai dipahat. Hiasan dinding dari tulang Nyonya Elf belum selesai,” jawab salah seorang dari pria itu.
Satu-dua bunga kemboja yang sedang mekar kembali jatuh ke dalam kuburan Tuan Karl. Angin berembus sedikit lebih kencang dari tadi. Bahkan, topi hitam pria yang membuka tutup peti mati Tuan Karl terbang dan masuk ke dalam kuburan.
Para lelaki itu sudah membuka tutup osuarium. Mereka sudah mengikat tulang-tulang Tuan Karl dalam kain putih. Dengan cepat, mereka menjatuhkan tulang-tulang itu ke osuarium.
Saya melihat lagi ke arah kuburan. Di sana, saya dapat melihat Tuan Karl berdiri dan berangsur keluar dari kuburannya. Ia berjalan ke arah osuarium, tempat tulang-tulangnya sudah dikumpulkan. Tak lama, Tuan Karl juga ikut masuk ke dalam osuarium itu.
Setelah Tuan Karl sampai di osuarium, tiba-tiba angin berembus jauh lebih kencang dari sebelumnya. Saking kencangnya, tubuh si pria bertopi hitam tadi terjatuh ke dalam peti mati. Manusia-manusia lain yang ada di sana hanya diam, tak melakukan apa-apa. Saya ingin membantu dia keluar dari peti itu, tetapi saya tidak bisa melakukan apa-apa. Satu-satunya yang bisa saya lakukan hanyalah mengawasi saja.
“Apa yang kau lakukan dari sini?” tanya Tuan Karl yang sudah berdiri di samping saya.
“Saya hanya mengawasi mereka. Saya ingin ke sana dan membantu mereka, tetapi saya sudah terkurung dalam dinding transparan ini. Sama seperti saya, kamu hanya bisa mengamati mereka melakukan semua itu. Kita tidak bisa lagi ke sana.”
“Kenapa kau peduli?”
“Karena saya bosan tinggal di sini. Kehidupan saya di dunia yang sekarang ini, tidak bergairah sama sekali. Jadi, daripada saya bosan, lebih baik saya mengawasi mereka.”
Di sana, di seberang dunia saya ini, tutup peti mati tiba-tiba saja kembali ke tempat seharusnya. Sementara pria bertopi hitam masih ada di dalam peti itu. Peti itu kemudian terbang dan masuk ke dalam kubur dengan sendirinya.
Bunga-bunga kemboja yang tadi gugur dan terimpit tanah galian, naik ke awang-awang. Sementara tanah galian tadi menutup kubur kembali. Manusia-manusia lain yang ada di sana masih diam, tak melakukan apa-apa. Hal ini sudah lumrah terjadi ketika proses pembongkaran kubur.
Setelah kuburan tertutup sepenuhnya, bunga-bunga kemboja yang ada di awang-awang itu jatuh lagi ke tanah. Bunga-bunga itu menaburi kuburan itu. Satu-dua bunga kemboja yang masih ada di batang, juga jatuh dan menaburi kuburan itu hingga terlihat seperti kuburan baru.
“Sebulan lagi, pria bertopi hitam itu akan menemani kita di sini.”
Agam, Agustus 2020
Vianda Alshafaq, seseorang yang bukan siapa-siapa.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata