Never-ending

Never-ending

Never-ending
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Terbaik ke-5 Tantangan Lokit 9

Setiap malam, Mama bakal menyisihkan waktunya untuk membaca buku itu di beranda, mengabaikan angin malam yang berembus menggigit sampai-sampai aku mesti mengenakan sweater Winnie the Pooh. Ia membaca buku bersampul gadis abstrak itu berulangkali, pada kisaran halaman yang serupa, sampai aku bertanya-tanya apa yang selama ini ia baca. Terlebih, air muka Mama selalu berubah amat sendu, mirip sekali dengan langit kelabu. Ketika ia datang ke kamarku guna membacakan buku dongeng koleksinya, aku selalu bertanya tentang buku yang ia baca sedemikian khidmat, tetapi ia hanya menggeleng, berkata itu bukanlah hal besar.

“Amira tidak perlu tahu. Itu buku terlarang. Isinya tentang penyihir yang menakutkan. Amira akan ketakutan jika membacanya,” ucapnya sembari membelai rambut hitamku. “Sudah. Sekarang, bagaimana jika kita berkenalan dengan Alice yang masuk lubang kelinci?”

Aku mengerjap bersemangat. “Oke!”

Lalu, malam berganti pagi. Aku terbangun dengan jarum pendek nyaris menjangkau angka tujuh. Di samping meja belajar, Mama tersenyum sambil berkata, “Amira, sudah jam setengah tujuh kurang, lho! Kamu tidak mau terlambat sekolah, ‘kan?”

***

Mama sering menulis. Ia menulis di mana saja, memperhatikan lingkungan sekitarnya dengan amat detail, lantas menyulapnya menjadi cerita luar biasa. Ia mendengarkan cerita banyak orang, merekonstruksi banyak kisah pilu, lantas mencipta sekian buku yang meledak serta digemari masyarakat. Ia juga membaca berbagai buku terkenal, mulai dari roman, filsafat, sejarah, serta romansa sebagai referensi. Kamarnya serupa dengan perpustakaan lantaran dipenuhi rak-rak klasik berisi ribuan buku lintas sejarah. Mama berkata itu merupakan buku-buku warisan Kakek serta Nenek yang ia baca dari kecil.

“Jadi, Mama sudah membaca semua buku ini?” tanyaku suatu hari dengan takjub.

Mama tertawa sembari merengkuh tubuh mungilku. “Tentu saja belum. Tapi, Nenek berpesan agar Mama bisa membaca semuanya … padahal buku selalu bertambah tiap waktunya, jadi amat muskil membaca ribuan buku tersebut, ‘kan?”

Saat itu, aku mengamini perkataan Mama. Akan tetapi, hari ini, sembari mempelajari partitur yang diberikan guru musikku, aku bertanya-tanya: Jika memang Mama terbiasa membaca sejak kecil, lantas mengapa ia tidak segera menyelesaikan buku terlarang itu dan beralih pada buku lain? Apakah itu karena Mama terlampau menyukai buku tersebut? Namun, bukankah Mama sendiri yang berkata itu adalah buku yang mengerikan?

“Ma, mengapa Mama tidak segera menyelesaikan membaca buku terlarang itu?” tanyaku setelah guru musikku mengumumkan tentang kontes biola di balai kota.

Mama tersenyum. Ada mendung di mata jelaganya. “Sebab, itu buku yang sangat mengerikan, Amira … sampai-sampai Mama mesti menutupnya tiap selesai membaca satu paragraf.”

“Lalu, mengapa Mama tidak berhenti membacanya?”

Mama membelai rambutku dengan sangat lembut. “Sebab … ada beberapa alasan yang membuat Mama mesti membaca buku itu, lagi dan lagi … sesuatu yang hanya Mama saja yang boleh tahu.”

***

Mama pernah berkata bahwa aku dulu mempunyai papa—dulu, dulu sekali, sebelum seorang penyihir jahat datang dan membawanya pergi. Setelah itu, rumah menjadi sangat sepi sampai-sampai Mama tercekik keheningan itu sendiri. “Rasanya … sangat mengerikan,” ucap Mama dalam perjalanan pulang dari tempat les musik, “untungnya Mama masih memiliki Amira. Amira adalah alasan Mama bisa bertahan sampai sekarang.”

Aku tersenyum senang. Memahami bahwa Mama menganggapku berharga melebihi segala sesuatu di dunia ini.

Dulu, saat Mama mulai menekuni aktivitas malamnya dengan buku terlarang itu, aku sempat berspekulasi; barangkali, buku itu berisi kenangan Mama dengan Papa, atau tentang penyihir yang membawa Papa pergi, atau tentang sebuah rumah yang dilahap kesunyian setelah seorang laki-laki pergi dari sana. Oleh karena itu, Mama selalu memasang wajah sendu tiap membacanya … sebab buku itu berisi hal-hal menyakitkan yang sebenarnya ingin ia pendam dalam-dalam, malah kalau bisa tidak usah diungkit lagi.

Namun, aku baru menyadari bahwa bukan hanya kesenduan yang menelusup dalam diri Mama, melainkan juga kekhawatiran yang berlebihan. Setelah mengenal buku itu, ia menjadi lebih protektif kepadaku. Aku tidak boleh membantu memasak karena ia takut aku akan tergores pisau atau peralatan tajam di dapur. Aku tidak boleh bermain ke rumah temanku yang berada di timur kota karena ada kabar seorang perampok bermukim di sana. Aku juga hanya boleh pulang-pergi bila bersama Mama.

Puncaknya, aku tidak boleh mengikuti kontes biola karena adanya pemberitahuan bahwa akan terjadi pemadaman listrik di balai kota dan lingkungan sekitarnya. “Lampu lalu lintas tidak berfungsi dengan baik. Kalau ada pengendara mabuk, ugal-ugalan, atau anak muda yang tidak tahu namanya peraturan di jalan raya, kita akan celaka sendiri,” ungkapnya dengan raut wajah amat khawatir.

Tentu saja aku amat marah. Aku sudah susah payah berlatih ‘Sonata Hammerklavier opus 106′[1] dan Mama tidak memperbolehkanku mengikuti kontes tersebut hanya karena sesuatu yang tidak logis. Aku mencoba membela diri sambil menangis, tetapi pendiriannya tetap kukuh: apa pun yang terjadi, Amira tidak boleh keluar!

Kontan saja tangisku bertambah kencang. Aku mengurung diri, menyobek partitur yang sudah lecek lantaran kubolak-balik tiap hari. Sambil menyoret buku Matematika yang penuh dengan penarikan akar pangkat tiga, aku mencari alasan keoverprotektifan Mama baru-baru ini, lalu mendapat satu kemungkinan: buku itu!

Jangan-jangan ini semua bermula dari buku itu? Jangan-jangan, sang penyihir telah memberi Mama mantra hingga jadi sangat paranoid? Jangan-jangan, ada banyak hasutan, cerita traumatik, atau ajaran tidak berdasar yang membuatnya ketakutan tiap waktu?

Aku menelan ludah. Turun dari ranjang. Membuka pintu, melihat situasi serta posisi Mama, lalu beranjak ke beranda, menemukan buku itu … yang ternyata punya sampul tebal dan sangat kasar. Judulnya adalah Buku tentang Jiwa. Dari daftar isinya, buku ini hanya terbagi menjadi sepuluh bab dengan total 200 halaman. Aku menelan ludah ketika menginjak bab pertama, takut Mama datang dan marah bila tahu aku membaca buku terlarang miliknya. Namun, aku menguatkan tekad … aku harus tahu apa isi buku ini.

Sayangnya, begitu membaca buku itu, aku seolah tersedot akan sesuatu yang amat familiar, sesuatu yang amat dekat, hingga bulu kuduk berdiri tiba-tiba.

Ia adalah seorang gadis berumur sepuluh tahun. Maniknya segelap langit malam. Kulitnya putih, tetapi tidak seputih salju dalam dongeng “Snow White and The Seven Drawfs”. Dan, anak ini, yang rambutnya hitam mengilat bila ditimpa sinar matahari, menyukai musik melebihi apa pun di dunia ini.

Aku bergetar. Terduduk setelah orientasi yang tidak terasa asing tersebut.

Ia tinggal di sebuah rumah yang diselimuti keheningan. Hanya ada dua orang yang tinggal di sana, yakni ia dan sang Ibu. Dahulu, di sana, juga tinggal seorang pria berlesung pipi yang suka mengajaknya bermain kuda-kudaan—yang pertama mengajarinya membaca not balok—tetapi pria itu telah pergi bersama seorang wanita yang bisa kausebut sebagai Belahan Hati Keempat.

Jantungku berdebar. Lekas saja kubalik halaman buku itu hingga tiga perempat halaman terakhir.

Ia, Sang Pecinta Musik Melebihi Sesuatu di Dunia Ini, Sabtu nanti akan mengikuti kontes biola. Ia berlatih hingga tangannya kaku. Ia membalik partitur berkali-kali hingga lecek dan tidak bisa dibaca. Ia mengulangi rutinitas itu hingga hafal permainannya di luar kepala. Sang Ibu selalu mendampingi. Tersenyum melihat putri tunggalnya bersemangat. Sedikit meneteskan air mata lantaran ingat gadis berambut panjang itulah satu-satunya hartanya di dunia.

Aku mengernyit. Seberkas ingatan datang tanpa diundang. Tidak dapat dibendung.

Lalu, hari itu datang. Orang-orang tertawa, seperti biasa, pun ia dan sang Ibu. Mereka bersama-sama menyiapkan sarapan, bersenda gurau di meja makan, lalu berpegangan tangan, berdoa untuk kelancaran pertunjukan hari itu. Akan tetapi, tidak ada yang menyangka sebuah kejutan telah disiapkan oleh Yang Kuasa.

Waktu seolah berhenti ketika menginjak paragraf itu; ketika aku sampai pada dua halaman terakhir; ketika sebuah konklusi gila memenuhi kepala sampai-sampai aku tidak lagi mengenali realitasku sendiri.

Kejadian itu amat cepat. Tidak ada yang menyangka, termasuk kucing liar yang tengah berak di pinggir jalan. Telinganya seketika mendenging, tidak dapat mendengar benturan serta suara kendaraan yang ringsek. Penglihatannya memburam; ia hanya merekam dunia yang berputar seperti gasing, seperti rotasi bumi, seperti Ouroboros[2], seperti semesta yang dibolak-balik sedemikian rupa hingga seolah tidak dapat berhenti berputar, tidak berakhir, dan ….

“Amira!”

Mama memekik. Buku itu lepas dari genggamanku. Selanjutnya, semua jadi gelap.

***

Aku tidak ingat tepatnya jam berapa hari itu, yang pasti sinar matahari tidak terlalu terik, malah suasananya menyerupai musim penghujan. Ada keramaian yang normal: para pejalan kaki yang berjalan di trotoar; petugas kebersihan yang mengangkut sampah ke truk sampah; kucing-kucing liar yang berlarian mencari makanan. Ada rutinitas normal. Ada pembicaraan alami. Ada biola bermerek Hoffner. Ada dialog tentang harapan. Ada tawa yang amat kuhafal.

Selanjutnya, momentum yang amat cepat. Ada truk yang kehilangan kecepatan. Ada lampu lalu lintas yang berwarna gelap. Ada teriakan. Ada benturan. Ada perputaran. Ada kaca yang pecah dan menggores kulit. Ada gencetan di bagian bawah. Ada lampu jalanan yang menunggu di sisi kiriku.

Ada tangis … dan rasa sakit.

Lalu, indraku mati rasa dan semua menjadi gelap. Kegelapan yang hampa.

Kemudian, seberkas cahaya datang. Matahari sudah tinggi. Mama berdiri di samping meja belajar. Ia membawa sebuah buku yang cukup besar. Bibirnya tertarik ke atas, kentara senang.

“Amira, sudah jam tujuh kurang, lho. Kamu tidak ingin terlambat sekolah, ‘kan?”

***

Mama pernah berkata kepadaku, bahwa ia tidak menyukai akhir cerita yang sedih. Katanya, tiap membaca buku ataupun novel dengan alur seperti itu, ia bakal merangkai alur baru, menambahkan beberapa adegan, agar mendapat akhir yang bahagia. Mungkin, karena itulah, Mama bisa menjadi penulis hebat seperti sekarang. Mungkin, karena itulah, ia tidak pernah memperbolehkanku membaca buku itu—sebab aku ada di sana, menjadi tokoh utama, dan meninggalkan lara bagi para pembaca. Sebab, bila aku membaca buku itu hingga habis, tidak akan ada lagi bab baru dan itu berarti aku bakal pergi dari dunia ini—dunia ciptaan Mama.

Cahaya matahari sudah masuk lewat celah tirai kamar ketika aku membuka mata dan mendapati Mama tengah tersenyum di dekat meja belajar. Lagi dan lagi.

“Amira, sudah jam tujuh kurang, lho. Kamu tidak mau terlambat sekolah, ‘kan?” (*)

Ponorogo, 3 November 2018

Catatan:

[1] Lagu ciptaan Beethoven

[2] Ular yang memakan ekornya; menggambarkan sebuah siklus tanpa akhir

Devin Elysia Dhywinanda adalah cewek AB hasil hibridisasi dunia Koriya dan wibu yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001. FB: Devin Elysia Dhywinanda

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diselenggarakan di grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata