Moi Bukan Cinderella (Bagian 5)

Moi Bukan Cinderella (Bagian 5)

Moi Bukan Cinderella (Bagian 5)

Oleh : Nuke Soeprijono

Begitu sadar dari lelap, Moi mengerjapkan matanya berulang kali. Dia tampak bingung dengan keadaan sekelilingnya. “Aku ada di mana, nih? Perasaan tadi aku tidur di pinggir danau, kenapa sekarang berubah jadi tempat gelap? Apa mungkin ikan-ikan tadi nggak rela, lalu mengutuk dan melemparku ke tempat pengap ini.”

Moi terus menggumam sambil mengusap wajahnya. Dia edarkan pandangan ke tiap sudut ruang itu. “Hei, kenapa aku dikurung?” tanya Moi sambil mencengkeram bilah besi yang mengungkung dirinya.

Besi yang dingin dan bau dinding yang lembap, ditambah suara cicitan tikus, membuat Moi bergidik dan sedikit sesak napas. Walaupun Moi bisa mengubah semua benda menjadi bentuk apa pun, tetapi hewan berkaki empat dan berkumis seperti kucing itu adalah sesuatu yang paling dihindarinya. Sebab pernah ada kejadian yang membuatnya trauma.

Belum hilang rasa heran Moi dengan tempatnya sekarang, tiba-tiba dia dikejutkan dengan suara derit pintu yang dibuka pelan diiringi suara langkah kaki. Langkah kaki yang diseret itu terdengar berat disertai suara orang batuk yang parau. Sebenarnya Moi adalah gadis pemberani–kecuali dengan tikus. Dia sering menjumpai berbagai makhluk aneh ketika disuruh ke hutan oleh Jamilah dan Romlah. Akan tetapi, kali ini Moi mengkerut, berbanding terbalik dengan perutnya yang melar akibat kekenyangan makan ikan di pinggir danau tadi, dia merasa ada sesuatu yang mengancam jiwanya.

Moi berusaha menajamkan pendengaran dan membuka matanya lebar-lebar ketika suara langkah berat itu semakin mendekat. Rasa penasaran membuatnya ingin tahu, makhluk apa yang sedang menghampirinya di ruang sempit ini.

“Heh-heh-heh … rupanya kau sudah bangun, gadis kecilku,” seringai suara parau yang kini tepat berada di depan wajah Moi. Aroma busuk melintas tanpa permisi. Sontak dia memencet cuping hidungnya yang minimalis dengan tangan kirinya.

“Siapa, kamu? Kenapa aku berada di sini?” tanya Moi dengan suara agak sengau.

“Heh-heh-heh … aku adalah Nini Melet,” ujarnya sambil menyalakan tongkat obor yang menempel di dinding. Nyala api obor itu kecil sekali, mungkin lebih tepat jika disebut lilin. Udara lembap dan sedikit oksigen di sekitar tidak mendukung obor itu untuk berpijar lebih terang. Wanita tua itu terlihat sering menjulurkan lidah. Rambutnya yang berwarna putih keabu-abuan tampak mengembang bak tumpukan jerami yang tak beraturan dan tertutup sebagian oleh topi berbentuk kerucut berwarna hitam.

Moi baru menyadari kini dirinya telah disekap. Dia mencoba memberontak dengan cara menggoyang-goyangkan bilah besi di depannya. “Lepaskan aku, nenek jahat!” teriak Moi panik. Dia mencari tongkat sihir yang selalu menemaninya. Diraba kantong sebelah kanan dan kiri pada pakaian panjangnya, tetapi kosong!

“Ah, sial! Ke mana tongkatku? Pasti nenek melet itu sudah merampas. Hei, Nek! Mana tongkatku? Lepaskan aku dari sini!” Moi berteriak histeris ke arah si nenek yang tampak tak acuh menyalakan beberapa obor yang tersebar di beberapa titik.

“Oh, kau mau keluar dari situ, gadisku? Boleh saja …,” ujar Nini Melet sambil sesekali menjulurkan lidahnya. “Tapi ada syaratnya.”

“Apa syarat itu, cepat katakan, Nek!” bentak Moi lantang.

“Ho-ho-ho … tidak sabaran sekali kau rupanya, ya? Berani membentakku pula, dasar anak tak tahu sopan santun!”

Traaang!

Nini Melet itu menggesek bilah besi yang melingkari Moi dengan tongkatnya. Sepertinya itu tongkat sumber kekuatan si nenek. Moi terkejut sekaligus bertambah geram.

“Apa urusannya aku harus sopan padamu? Sedang kau sendiri tak tahu diri telah menyekapku. Memangnya kamu siapa?!” Moi semakin emosi dan berteriak-teriak tidak terkendali. “Aaarrggh, sialan! Kak Jam, Kak Rom, tolong Moi! Ayah, Ibu, kenapa nasib Moi seperti inii ….” Moi mulai meratap, teringat dengan kedua kakak kandung dan orangtuanya. Moi mulai menangis meraung.

“Ah, dasar gadis bawel! Kau mau kukutuk jadi tumpukan sampah agar jadi santapan tikus-tikusku? Ayo, bicaralah lantang seperti tadi,” tantang Nini Melet sambil melotot ke arah Moi.

“Aku mau keluar! Lepaskan akuu!”

“Heeh-heh-heh … dasar gadis keras kepala. Baiklah jika kau ingin aku kutuk.” Nini Melet terkekeh sambil menyeringai lagi.

“Meremere ketumbar mirijahe!” Kemudian dia mengucapkan mantra sambil mengayunkan tongkatnya.

Zaap!

Ajaib! Dalam sekali ayun, seketika wujud Moi yang manis dan imut-imut itu berubah menjadi tumpukan sampah yang bau. Moi menjerit-jerit dan menghentakkan kakinya ke lantai. Rambutnya yang panjang terurai dia jambak hingga beberapa helai lepas dari tempatnya.

“Dasar nenek sihir sialan! Lihat saja nanti jika kedua kakak dan orang tuaku datang!” Moi terus memaki. Dia tidak menyadari, memang itulah tujuan Nini Melet.

Akan tetapi, semua itu tidak bisa mengembalikan Moi ke wujud semula. Kini Moi berubah menjadi sisa-sisa makanan yang basah dan berbau busuk. Hal itu tentu saja mengundang tikus-tikus yang tak lelah mencicit dari tadi untuk mendatangi wujud Moi.

Moi menjerit-jerit ketakutan. Untung saja di bagian bawah bilah-bilah besi yang mengurung Moi itu terdapat kayu lapuk yang sedikit bisa menahan tikus-tikus untuk tidak langsung menyerbunya. Akan tetapi Moi tidak menyadari. Dia terus saja menjerit sambil menyebut nama siapa saja yang diingatnya.

***

“Romlah, perasaanku kok makin nggak enak, ya,” ujar Jamilah pada adik keduanya yang kini sama-sama terkurung di suatu tempat.

“Bukankah dari kemarin kita memang sudah dalam bahaya? Sekarang apa lagi?” jawab Romlah ketus. Dia merasa putus asa dengan keadaannya sekarang. Lepas terkurung dalam rumah kini mereka malah terkurung di tempat yang lebih buruk. Kehilangan kebebasan untuk kedua kali dan parahnya kini tanpa tokek goreng. Romlah hanya bisa menangis meratapi nasib. Berbeda dengan sang kakak, Jamilah, dia lebih tenang malah semakin menajamkan telepatinya.

“Romlah, berhentilah menangis! Sepertinya aku mendengar suara Moi memanggil kita.”

“Hah, yang benar, Kak? Jadi Moi ada di sini?” teriak Romlah gembira. Baru kali ini dia begitu merindukan sosok adiknya. Romlah bangkit dari duduk, dia berjalan mondar-mandir sambil ikut menajamkan telepatinya.

“Ah, iya, Kak!”

“Aduh, ngagetin!” Jamilah refleks melempar sepatunya yang dia letakkan di sebelah kanan.

“Ada apa?” tanya Jamilah setelah kembali tenang. Dia beringsut dari tempat duduknya dan mendekati Romlah. “Kamu mendengar suara Moi juga?” selidik Jamilah.

Romlah memegang pelipis kirinya dengan ujung telunjuknya. Matanya masih terpejam tanda menajamkan indera keenamnya.

“Kak, Moi memang ada di dekat sini.”

“Kakak … Kakak … tolong Moi! Kak Jam, Kak Rom … Moi takut tikuus, toloong ….”

“Itu! Aku mendengarnya lagi. Kak, kita harus menemukan Moi segera! Perasaanku mengatakan dia dalam bahaya besar.”

“Iya, aku tahu. Tapi gimana caranya?” Jamilah berusaha berpikir keras dengan cara memutar-mutar ujung telunjuk ke dalam lubang hidungnya.

Bersambung

Tgr_Okt 2020

Nuke Soeprijono, alter ego yang baru belajar menulis.

Leave a Reply