Mimpi-Mimpi Naina (Part 1)
Oleh : Musyrifatun
Aku memeluk gundukan tanah merah bertabur kelopak bunga aneka warna yang masih basah. Di kedua ujung gundukan tanah ini tertancap bilah kayu yang salah satunya tertulis nama Ibu. Di bawahnya ditulis tanggal lahir dan tanggal wafatnya. Sudah dua jam lebih, aku meringkuk sambil terus menangis tersedu. Tak kupedulikan Ayah yang berulang kali membujuk untuk pulang.
Para pelayat dan orang yang ikut membantu menguburkan almarhum Ibu sudah pulang satu per satu. Tinggal aku dan Ayah yang masih terduduk di samping pusara.
Ayah akhirnya berhenti membujukku pulang, mungkin dia lelah karena aku mengabaikan ajakannya sedari tadi. Apa Ayah tidak tahu bahwa aku tidak mau berpisah dengan Ibu?
Hari mulai gelap, awan kelabu berarak-arak. Aku baru melepas pelukan di atas pusara Ibu saat tetes air pertama turun membasahi lengan.
“Sebentar lagi magrib, ayo kita pulang sebelum hujan bertambah deras.” Ayah menyentuh pundakku, sekilas kutatap wajahnya yang sembap. Baru kali ini aku melihat Ayah menangis.
“Ayah, apa Ibu tidak kedinginan di dalam sana?” tanyaku.
“Tidak, Sayang. Ada malaikat baik yang menemani Ibu di sana. Ayo, naik ke punggung Ayah. Sudah lama Ayah tidak menjadi kuda untuk putri cantik ini.”
Ayah sepertinya ingin menghibur, namun sayangnya kalimat yang mungkin dianggapnya lelucon itu tak sedikit pun mengusir rasa sedihku.
“Nggak mau. Na mau jalan sendiri.”
Aku menautkan jariku dengan jemari Ayah. Kami berdua berjalan bersisian di bawah tetes air hujan. Sesekali aku menoleh, rasanya enggan meninggalkan Ibu sendirian di sana. Tetapi genggaman erat tangan Ayah memberiku kekuatan, seolah mengatakan bahwa ia ada untukku dan aku harus tegar.
Tiba di rumah, suasana sudah sepi, tidak seramai saat kami mengantar jenazah Ibu tadi. Hanya tinggal Nenek yang berada di sana. Aku kembali tak dapat menahan tangis saat kami melangkah masuk ke dalam rumah. Belum genap sehari kepergian Ibu, tapi rasanya sudah sangat lama. Aku rindu Ibu, benar-benar rindu. Rumah ini dan segala isi di dalamnya, menyimpan banyak kenangan manis di antara kami.
“Naina gadis yang kuat. Kamu boleh menangis tapi tak boleh menyesali apa yang Tuhan takdirkan untuk kita,” kata Ayah.
Aku menatapnya dengan tatapan tidak mengerti.
“Masih ada Ayah, Sayang.” Ayah kemudian memelukku erat sekali. Kami berpelukan dalam tangis.
“Mandi dulu, yuk, Na,” bujuk Nenek.
Aku menurut saja saat Nenek menuntun langkahku ke kamar mandi. Sudah sejak kemarin tubuhku tak tersentuh air. Terakhir kali mandi sesaat sebelum Ibu jatuh pingsan dan dilarikan ke rumah sakit.
Saat hendak melepas baju, aku ingat kejadian kemarin, Ibu pingsan setelah selesai memakaikan baju dan menyisir rambutku.
“Ibu yang memakaikan baju ini kemarin,” ucapku lirih. Rasanya enggan sekali melepas pakaian ini, ini baju terakhir yang Ibu pakaikan untukku. Setitik air kembali meluncur dari sudut mata.
***
“Bangun, Sayang.” Kurasakan Ayah menepuk pelan pipiku.
Aku menggeliat, meraba tempat tidur yang telah kosong di sebelahku.
“Ibu mana, Yah?” Kalimat itu meluncur begitu saja.
“Ayo kita mandi, terus salat Subuh berjemaah.” Ayah seolah tak mendengar pertanyaanku. Seketika aku tersadar, bahwa mulai hari ini, Ayahlah yang akan membangunkanku setiap pagi, bukan lagi Ibu.
“Maaf, Yah.” Aku menunduk, menyadari kata-kata tadi tak seharusnya kuucapkan.
“Kebiasaan memang sulit diubah, Na. Apalagi untuk anak kecil sepertimu yang biasa melalui sepanjang hari bersama Ibu. Tapi percayalah, kita pasti bisa melaluinya bersama-sama.” Ayah kembali memelukku erat sekali.
Selesai mandi dan salat Subuh, Ayah menyiapkan baju seragam sekolah, aku memandanginya menurunkan baju dari dalam lemari.
“Ini hari Rabu, Yah. Seragam hari ini bukan yang itu.”
Gerakan tangan Ayah terhenti mendengar kalimatku.
“Oh, jadi pakai yang mana?”
Aku menunjuk baju seragam batik yang tergantung dalam lemari. Baju itu terlihat kusut.
“Tapi bajunya masih kusut, Yah.”
Ayah kembali terdiam, tiba-tiba bayangan Ibu seperti hadir menyentuh tanganku. Ibu tidak pernah salah mengambilkan seragamku, Ibu tidak pernah lupa menyetrika semua baju-bajuku, juga baju-baju Ayah.
“Biar Ibu yang nyetrika, Ar. Kamu siapkan sarapan,” ujar Nenek.
Ayah beranjak menuju dapur, lalu mulai memotong bawang dan cabai. Nasi hangat ia keluarkan dari dalam magic com. Setelah menuangkan minyak goreng ke atas wajan, ia mulai menumis bawang dan cabai kemudian mencampurkan dengan nasi, ditambah garam dan penyedap rasa, selesai.
Ayah tersenyum puas, “Membuat nasi goreng adalah perkara mudah,” ujarnya.
Tetapi senyum di wajah Ayah memudar saat aku enggan memakan nasi goreng buatannya. Aku hanya mencicipi seujung sendok lalu mengunyahnya dengan pelan. Sebenarnya aku enggan menelan makanan dalam mulutku ini, tetapi Aku ingat pesan Ibu agar tak memuntahkan makanan sembarangan.
“Itu tidak sopan,” kata Ibu waktu itu.
“Nasi gorengnya buat Ayah sama Nenek aja. Na mau sarapan roti tawar.” Aku menunduk sambil mendorong pelan piring di hadapan.
Kening Ayah berkerut, sepertinya ia bertanya-tanya apakah masakannya tidak enak? Tapi ia tidak menanyakan hal itu secara langsung. Mungkin melihat ekspresi wajahku saat mengunyah tadi, Ayah sudah bisa menebak bahwa aku tidak menyukai nasi goreng buatannya.
Ayah pun menyuapkan satu sendok makan nasi goreng ke dalam mulutnya dan seketika ia terdiam, aku tahu ia merasakan sesuatu yang aneh, rasa yang terlalu asin bercampur getir. Dengan sigap diambilnya segelas air putih kemudian meneguknya dengan cepat. Masakan Ibu rasanya selalu enak, tidak seperti masakan Ayah. Bahkan seingatku, ini pertama kalinya Ayah memasak.
Aku mengambil dua potong roti tawar di atas meja lalu mengolesnya dengan selai kacang. Ayah mengikuti gerakanku.
“Nasi gorengnya kita kasihkan kucing saja, ya. Rasanya aneh.” Ayah tersenyum geli. Wajahnya terlihat lucu.
***
Satu bulan setelah kepergian Ibu, Ayah masih juga belum terbiasa menyiapkan segala keperluanku. Sepertinya memang sudah saatnya aku menyiapkan semua keperluanku sendiri. Usiaku sudah tujuh tahun, sedikit-sedikit aku mulai melakukan apa yang dulu sering dikerjakan oleh Ibu, seingatku saja.
Rumah kotor dan berdebu karena Ayah jarang sekali menyapu lantai dan membersihkan barang-barang. Nenek juga sudah jarang datang, sibuk mengurus toko kelontong miliknya, hanya sesekali ia datang membawakan kami makanan. Nenek pasti tahu kalau aku dan Ayah sering hanya makan mi instan atau menggoreng telur, karena sama-sama tak pandai memasak.
Baju-baju dan semua perlengkapan Ibu sudah disedekahkan kepada saudara dan tetangga. Kata Nenek, tak baik menyimpan barang-barang orang yang sudah meninggal, karena bisa membuat sedih berkepanjangan.
Aku mulai merapikan kamar, pertama kuambil baju yang sudah menumpuk tergantung di belakang pintu lalu memasukkannya ke dalam keranjang. Baju-baju kotor itu kubawa ke kamar mandi, memindahkannya ke dalam baskom besar dan kuisi air dari keran sampai semua pakaian itu terendam air.
Aku ingat, setelah baju-baju terendam air, Ibu akan mencampurkannya dengan deterjen. Ah, di mana deterjennya? Aku mencari-cari ke seluruh sudut kamar mandi, tapi hanya menjumpai sabun mandi, sampo serta pasta gigi. Mungkin Ayah lupa membeli deterjen, pikirku. Mau membeli deterjen ke warung sebelah rumah, tapi aku tak punya uang. Baiknya aku menunggu Ayah pulang saja baru akan kucuci baju-baju kotor ini, pikirku.
Sambil menunggu Ayah pulang, aku pergi ke rumah Kak Wina, teman yang usianya tiga tahun lebih tua dariku, rumah kami lumayan dekat, hanya berjarak dua pohon kelapa. Sampai di rumah Kak Wina, ternyata dia sedang asyik bermain gawai di teras rumahnya.
“Na, sini. Kita main, yuk.”
Aku berlari riang ke arahnya. Bermain bersama teman seperti ini, sedikit banyak membuat rasa sedihku sedikit terlupakan.
“Na, kamu jangan bolehin Ayah kamu nikah lagi,” ujar Kak Wina tiba-tiba.
“Kenapa?” Aku tidak paham apa maksudnya.
“Iya, kalau ayahmu menikah lagi, berarti kamu punya ibu tiri. Ibu tiri itu jahat lho, Na. Aku sering lihat di televisi, ibu tiri menyiksa anak suaminya.”
“Benarkah begitu, Kak?”
Kak Wina mengangguk. Walaupun tidak sepenuhnya mengerti dengan kalimatnya, tapi kata-kata Kak Wina membuatku takut. Bagaimana jika kisah ibu tiri jahat itu terjadi padaku?
Aku pulang ke rumah setelah azan Asar berkumandang, Ibu mengajarkanku untuk selalu salat di awal waktu. Namun, langkah kakiku terhenti saat melihat Ayah sedang duduk di kursi teras bersama Kak Yuni, tetanggaku yang ditinggal mati suaminya. Mereka terlihat sedang serius berbicara.
Apa yang mereka bicarakan? Apa jangan-jangan Kak Yuni dan Ayah mau menikah? Berarti aku akan punya ibu tiri! Tidak, tidak boleh. Ayah tidak boleh menikah lagi.
Aku berlari ke arah Ayah, saat telah sampai di hadapannya, aku tak tahan untuk tidak berteriak, “Ayah jahat!”
Kemudian berlari masuk kamar dan membanting pintu dengan keras.
Bersambung ….
Musyrifatun, perempuan penyuka hujan, bunga, benang dan pena.
Editor : Imas Hanifah N.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata