MESKIPUN SALJU MASIH TURUN
Oleh: Nishfi Yanuar
Yuki kembali menuju jendela. Menyibak gorden lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling di bawah sana. Dari kamar lantai dua, biasanya dia bisa memandang jelas hingga puluhan meter sekitar jalan raya sampai taman di seberang jalan. Namun, intensitas salju malam ini sepertinya cukup tinggi, membuat kaca bening di depannya hanya memperlihatkan bayangan samar dan beberapa hamparan putih di sana-sini menyelimuti sekitar.
Lagi-lagi dia mendesah, lantas menutup tirai bermotif bunga sakura itu dengan kasar. Untuk kali kelima dia menelan kecewa. Tak didapatinya sebuah mobil memasuki pekarangan. Ayah! Ya, sudah dua hari ini hatinya gelisah menunggu kepulangan lelaki yang tempo hari berpamitan ke luar kota.
“Jangan lama-lama ya, Ayah!” Gadis enam belas tahun itu merajuk. Melepas kepergian ayahnya dengan setengah hati.
“Dua hari, Sayang. Jika kerjaan lancar, pasti Ayah langsung pulang.” Lelaki tegap itu melangkah sembari mendorong koper hitam yang tak terlalu besar.
Saat hilang di balik pintu, Yuki segera berlari ke lantai atas. Dibukanya lebar-lebar jendela kamar dan melihat dari atas sang ayah yang bersiap masuk ke mobil. Hal yang sekitar tiga tahun ini selalu dia lakukan saat ayahnya berangkat bekerja. Melambai dari balik jendela, lalu melepas mobil itu hingga mengecil dan tak lagi terlihat.
Tiga tahun. Dia kehilangan waktu selama itu untuk sekadar mengantar ayahnya sendiri ke dalam mobil dan melepasnya dengan riang. Tak apa. Setidaknya, dari balik jendela kamar dia jauh lebih leluasa melihat mobil hitam itu hingga menghilang.
“Ini sudah dua hari, Ayah. Kenapa sampai selarut ini belum juga pulang?” Yuki menggumam di balik selimut tebalnya sebelum akhirnya terlelap.
***
Suara gaduh mengusik pendengaran. Dari mana lagi kalau bukan dari pintu kamar! Pasti ini ulah Haruka, adik tiri Yuki yang begitu menyebalkan.
Yuki menyudahi aktivitasnya di depan cermin. Menyambar tas sekolah dan buru-buru membuka pintu. Benar saja, wajah kesal dan mata mendelik menyambutnya. Tanpa permisi, perempuan berambut cepak itu melangkah ke dalam kamar. Yuki hampir terhuyung karena tersenggol kasar olehnya.
“Mau ngapain kamu?”
Haruka tak menjawab. Sampai di depan nakas, tangannya mengambil sebuah botol bening. Ia tersenyum menyeringai lantas bersiap melangkah keluar.
“Minggir!” bentak Haruka ketika Yuki menghalangi di depan pintu.
“Pakai semaumu, tapi letakkan kembali parfum itu.” Yuki mencoba bersikap tenang.
“Aku bilang minggir! Atau mau kudorong, hah!” suara Haruka semakin meninggi. Mukanya merah menyiratkan amarah.
“Aku bilang … pakai semaumu di sini, lalu letakkan kembali parfum itu.” Lagi, Yuki masih mencoba berucap datar. Ditahan mulutnya untuk tidak berteriak.
“Oke!” Haruka mengalah. Ia menyemprotkan wewangian berwarna merah cerah itu di seragam yang ia kenakan. Terakhir di pergelangan tangan kiri lalu menjatuhkan begitu saja ke lantai sembari melenggang pergi. Sontak botol kaca itu berserakan dan isinya membasahi sekitar.
“Harukaaa!”
Selalu. Pagi yang menyebalkan!
***
Kembali ke rumah, Yuki heran mendapati suasana yang lumayan ramai. Terlihat beberapa orang berseragam polisi mondar mandir di teras. Cepat, dia memperlebar langkah kakinya.
“Anda putri Tuan Yamaguchi?” Sampai di depan pintu, salah seorang mereka menghentikan Yuki.
Gadis itu mengangguk berkali-kali, wajahnya pucat. “Ada apa? Apa yang terjadi?”
Tiba-tiba, ibu tirinya terhuyung di depannya. Ia meraung, menangis kencang, dan mencercau tak jelas. Hanya satu yang masuk di pendengaran Yuki. “Ayah meninggal!”
Kaki kecil itu seketika ambruk. Gemuruh di dadanya serasa jauh lebih dahsyat daripada lima tahun lalu, saat ibunya menutup mata selama-lamanya di ranjang rumah sakit. Ya, ini lebih sakit! Jika dulu ada sosok ayah yang menguatkan, sekarang tak ada sesiapa lagi yang membantunya berdiri. Tak ada!
“Detektif Conan masih di dalam?” Satu suara samar-samar mampir ke telinga Yuki. Segera ditatapnya lelaki di depannya, lalu merengek, meminta diizinkan melihat ayahnya.
“Tidak bisa, Nak. Sabarlah, sebentar lagi!”
Tubuh kurus itu meronta, sedu sedan dalam tangis yang menderas. Meratapi kesedihan mahapedih. Sebentar kemudian, jatuh. Tersungkur tak sadarkan diri. Haruka dan ibunya sontak menjerit bersamaan. Lalu seseorang berseragam menggotong Yuki ke dalam kamar.
Hampir satu jam berlalu, Yuki akhirnya sadarkan diri. Dia lantas dituntun ke ruang sebelah melihat ayahnya. Selama di dalam, dia juga dimintai keterangan. Semuanya dicocokkan dengan keterangan Haruka dan ibunya.
Hingga dua jam berlalu, Yuki, Detektif Conan, Detektif Kagoro Mouri, Inspektur Megure, dan beberapa pria berseragam lainnya barulah keluar dari ruangan tempat ayah Yuki terbunuh. Benar, kasus ini telah mereka simpulkan sebagai pembunuhan. Lalu, siapa pembunuhnya?
***
Masih segar di ingatan. Saat sore itu, Yuki mendapati ayahnya di ruang tamu. Ah, senyum hangat itu! Senyum tulus pengganti senyum ibunya yang sangat dirindukan kini dapat dilihatnya kembali.
Spontan, dia berteriak girang bukan main. Tiga hari seperti di neraka yang dicipta ibu dan saudara tirinya, seketika terlupakan begitu saja.
Lelaki empat puluh tahun itu membentangkan kedua tangan. Mereka pun berpelukan melepas rindu.
“Ayah terlambat pulang ….” Bibir Yuki cemberut, merajuk manja layaknya anak-anak.
“Maaf, Sayang. Ada sedikit kendala. Kan, Ayah sudah kasih kabar. Eh, kalau kamu lihat apa yang Ayah bawa, pasti cemberutmu langsung hilang!” Sang Ayah melepas pelukan, lalu mengambil kotak merah berukuran lumayan besar. Disodorkan ke arah putrinya.
Air muka Yuki kembali merekah begitu membuka bungkusan tersebut. Aneka kue kesukaannya berjajar rapi di dalamnya.
“Dango!” serunya berbinar. Dia mengambil satu tusuk dango. Kushidango, kue tradisonal berbentuk bulat warna-warni yang menggugah selera.
Seketika, ingatannya beralih ke ratusan hari lalu. Dulu, ibunya juga sering membuat kue-kue tradisional seperti ini untuk bekalnya ke sekolah. Selang-seling antara kushidango dengan warna-warna ceria, amanatto yang manis, lalu uiro yang kenyal, juga rasa jeruk dari yatsuhashi. Ah, sungguh momen merindukan yang tak akan pernah terulang.
Melihat kunyahan terakhir Yuki, ayahnya menyodorkan sepotong taiyaki. Namun, Yuki buru-buru menggelang, menolak kue berwarna cokelat serupa ikan tersebut. Tangannya beralih ke mata, mengusap sesuatu yang dirasa basah.
“Kenapa, Sayang?” Sang Ayah menatap heran. Memegang pundak gadis berkuncir kuda itu lembut.
“Enggak, nggak pa-pa kok, Ayah. Yuki hanya teringat Ibu saja.”
Lelaki berwajah bulat itu tersenyum. Menepuk-nepuk punggung tangan anaknya, memberi penguatan. Tak lama berselang, Haruka dan ibunya menghampiri. Sebelum melihat mereka mengacau, Yuki memilih beranjak.
***
Salju masih turun. Satu-satu, tak terlalu rapat seperti seminggu lalu. Namun, tetap membuat pepohonan, atap-atap rumah, beberapa ruas jalan, dan pagar-pagar berselimut putih meskipun tak terlalu tebal.
Yuki sesekali mengintip keluar. Dia duduk di tepi ranjang yang tingginya sejajar dengan bibir jendela. Sebentar kemudian membenamkan kepala di kedua lutut. Lesu, bisu. Mengintip sekali lagi, menunduk kembali. Terus seperti itu berulang-ulang.
Yuki melihat Detektif Conan dan Detektif Kagoro Mouri melintas di balik jendela. Mereka baru saja menemuinya. Kembali meminta keterangannya untuk kali kelima. Keduanya akhirnya berhasil menciptakan bayangan-bayangan layaknya sebuah slide di kepala Yuki. Kini, dia bisa mengingat kejadian siang itu. Saat dia dan ayahnya bertengkar hebat hingga akhirnya, lelaki yang selama ini dianggapnya separuh malaikat itu terjungkal tak sadarkan diri.
“Jangan lari dari takdirmu sendiri!”* Kalimat menyesakkan yang kembali terngiang di telinga Yuki. Ajaib memang, Conan yang berjuluk Detektif dari Timur itu mampu masuk di kedalaman hati seorang Yuki.
“Ingat, Yuki. Kalau cuma bicara mimpi, kita tak akan bisa melihat kenyataan.”* Benar! Dan selama ini ternyata semua yang dikatakan ayahnya dianggapnya hanya mimpi. Mimpi yang membuat Yuki terlena, menutup mata, menutup telinga, hingga akhirnya dia tak dapat mengetahui kenyataan lebih cepat. Kenyataan bahwa sesungguhnya dia hanyalah boneka. BONEKA!
Bagaimana bisa, lelaki yang begitu dipercayai dan disayangi sepenuh hati ternyata adalah orang lain? Ya, orang lain yang mengaku-aku sebagai ayahnya selama lima belas tahun! Mendapati kenyataan demikian, mana mungkin Yuki tak merasa terpukul?
Dua hari setelah kepulangan ayahnya dari luar kota waktu itu, Yuki baru mengetahui semuanya. Dia bukanlah anak kandung lelaki yang dipanggilnya ayah. Lelaki itu menikahi janda beranak satu tahun yang tak lain adalah ibu dan dirinya. Parahnya, fakta mengejutkan itu keluar dari mulut ibu tirinya.Sakit!
Hingga hanya ada satu kata di kepala Yuki: MATI!
Ya, gadis yang setelah kepergian ibunya mengidap gangguan bipolar dan diperparah sejak kehadiran ibu dan saudara tirinya itu, berniat mengakhiri hidupnya sendiri.
Pertengkaran dengan sang ayah membuat emosinya semakin meledak. Pisau buah di meja depan mengerling ke arahnya. Dengan hitungan detik, pisau dengan ujung runcing itu berpindah ke tangan Yuki.
Aksi itu ingin digagalkan Tuan Yamaguchi. Mereka pun berebut pisau. Hingga akhirnya, justru perut lelaki itu yang robek. Darah segar seperti air keran yang terbuka. Panik, Yuki pun melarikan diri.
“… sekalipun itu ditempatkan di telapak tangan kita, bukan berarti kita dapat menggenggamnya.”*
Itu kalimat terakhir detektif Conan yang diingat Yuki. Lagi-lagi begitu menyentil. Meskipun sebenarnya potongan kalimat-kalimat itu adalah kalimat motivasi yang disampaikan untuk menguatkan Yuki. Yuki sendirilah yang menghubung-hubungkan dengan nasib pelik yang menimpanya.
“Ya, kau benar, Detektif. Meskipun selama ini Tuan Yamaguchi selalu di sisi, tetaplah aku bisa kehilangan hak kapan saja. Atau bahkan dari awal sebenarnya aku sama sekali tak punya hak menggenggamnya? Ataukah hak itu justru terputus karena kematian yang kuciptakan?”
Slide demi slide kembali berputar di kepala Yuki. Ah, bagaimana saat itu dia sempat lupa dengan perbuatannya sendiri?
Meskipun salju masih turun, tetapi sama sekali tak membuat Yuki gigil. Tanpa syal, tanpa sweater, tanpa kaus kaki. Seakan-akan telah mati rasa.
Ranjang rumah sakit berderit. Yuki tersenyum miring, sebelum akhirnya dia terpejam. Mungkin untuk selamanya.(*)
Keterangan:
*potongan-potongan kalimat yang diucapkan Detektif Conan di dalam cerita aslinya.
Profil Penulis: Nishfi Yanuar, penulis buku “Kepada Sebuah Nama” (kumpulan cerpen). Bisa dihubungi di akun Facebook Nishfi Yanuar, atau Instagram @nishfiyanuar
Tantangan Lokit adalah tantangan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata