Mengejar Pelangi
Oleh : Dhilaziya
Resah menyelimuti hati Anis. Bagi gadis itu, amat tidak menyenangkan melihat ibunya hanya memainkan sendok di atas piring, lantas menyorongkan menu makan sahurnya menjauh sambil mengatakan bahwa beliau sedang tidak berselera makan. Anis paham dengan jelas jika ibunya bukan tidak berminat, melainkan tidak menyukai hidangan yang disajikan. Ibunya hanya mau makan nasi baru, bukan nasi yang sudah dimasak sejak kemarin untuk berbuka puasa.
Tinggal hanya berdua dengan ibunya membuat kegiatan mengatur menu dan mengolahnya terkadang amat memusingkan bagi Anis. Nasi dan sayur baru setiap kali waktu makan adalah hal yang amat disukai ibunya. Akan tetapi, bagi Anis semua itu merupakan pemborosan. Di luar bulan Ramadan, hal itu tidak menjadi masalah. Ada Mbok Nah, orang yang sehari-hari menjaga sang ibu selama Anis bekerja, yang akan ikut menikmati masakannya. Anis juga sering membawa masakannya ke tempat bekerja, untuk dibagi bersama kawan-kawan.
“Maaf, ya, Bu. Anis ndak masak nasi. Nasi sisa buka kemarin masih banyak, lagian Anis cek ndak bau, ndak berubah warna.”
“Ndak apa-apa. Ibu makan roti aja.”
Anis tahu sekali bahwa ibunya kurang menyukai roti. Nasi yang dimasak agak lembek adalah favorit beliau. Risau di hati Anis kian menjadi-jadi.
Anis membagi kegundahan hatinya kepada Durrah. Guru sekolah dasar yang tinggal hanya berselang tiga rumah dari rumahnya sekaligus kawan sekolah semenjak taman kanak-kanak hingga SMU itu sudah sangat paham karakter ibu sahabatnya. Saat hari libur kerja seperti sekarang, Anis dan Durrah memang kerap menghabiskan waktu bersama.
“Ya mau gimana lagi, ‘kan? Masaklah walau sedikit, daripada Ibumu ndak mau makan terus sakit?”
“Huum, kayaknya emang ndak ada solusi lain. Aku harus masak. Sebenarnya ibuku juga ndak susah makannya, asal nasinya baru, berlauk apa pun juga ndak masalah. Cuma nasinya, lho, nasiii. Kadang aku jadi gemes!”
“Jangan begitu. Mumpung ibumu masih ada, senangkanlah hatinya. Setiap orang, kan, beda-beda seleranya. Maklumilah, ibumu sudah sepuh. Beda jauh dengan ibuku.”
“Iya. Cuma, gimana dengan sisanya? Mana ada orang masak beras segenggam doang? Kasihan sekali mejikom-ku, padahal aku sudah pakai penanak nasi ukuran kecil. Aku masak segelas pun sisanya banyak banget. Dibuang sayang, kan? Mubazir.”
“Mbok Nah ndak ikut sahur di rumahmu?”
“Yo ndak, kan dia punya keluarga. Kalau menu buka masih amanlah, bisa dianter ke rumahnya. Lha, menu sahur?”
Terkadang Anis merasa iri dengan Durrah. Keluarga Durrah yang berisi ayah, ibu, dan seorang adiknya, tidak serewel ibunya untuk soal makanan. Durrah hanya sibuk saat menyiapkan menu berbuka dengan jumlah banyak. Mereka makan sahur dengan nasi sisa berbuka dan sayur yang dihangatkan. Lagipula, Durrah tidak perlu memikirkannya sendiri; ibunya lebih berperan dalam hal ini. Berbeda jauh dengan Anis, yang harus mengurus semua keperluan ibunya, semenjak ayahnya berpulang sementara semua kakaknya tinggal di luar kota.
Percakapan dua gadis itu terhenti oleh kedatangan Andre, adik Durrah satu-satunya yang masih kelas delapan SMP. Bujang tanggung itu baru saja kembali dari urusan remaja masjid, berbagi sembako untuk warga yang kurang mampu. Andre bercerita bahwa dia baru saja mengunjungi Mbah Karsono, seorang kakek yang hidup sebatang kara.
“Mbah Karsono yang tinggal di kebun milik Pak Kades itu, Ndre?” Anis bertanya untuk meyakinkan dugaannya.
“Iya, Mbak. Kasihan, udah setua itu hidup sendirian. Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi?”
Tiba-tiba sebuah ide melintas di benak Anis.
“Makan sahur sama bukanya gimana, tuh, si Mbah Karsono?”
“Tadi waktu kutanya, Mbah Karsono cerita, dia beli sayur buat buka ama sahur, kadang juga dikasih tetangga. Kalau ndak ada apa-apa, palingan bikin mi rebus atau sambel. Padahal buat jalan saja susah, gemetar terus badannya, lho, Mbak.”
Anis menoleh ke arah Durrah yang sepertinya sudah bisa menebak jalan pikiran sahabatnya. Berteman selama belasan tahun membuat mereka sudah sangat paham karakter satu sama lain.
“Nah, nemu solusi, ‘kan? Aku setuju!”
“Ha-ha-ha-ha! Kamu tuh, ya, Durrah. Aku belum ngomong apa-apa, main setuju aja!”
“Pasti kamu senang, ada yang bisa kamu bagi menu sahur, ya, ‘kan?”
“Bukan cuma itu. Di desa kita, ada berapa orang lagi, sih, yang kayak Mbah Karsono hidupnya? Sendirian atau kalaupun masih ada pasangan, sudah sama-sama sepuh dan ndak ada yang merawat. Ndre, kamu punya informasi?”
“Janda tua yang ngopeni cucu, bisa?”
“Boleh, sekalian aja.”
Anis amat antusias dengan idenya. Bertiga mereka membuat daftar siapa saja yang bisa menjadi sasaran mereka dalam berbagi menu sahur.
“Total tujuh orang, Nis. Kamu sanggup?”
“Insya Alloh sanggup. Masak buat sembilan orang sama aja repotnya sama masak buat berdua, malah lebih semangat. Aku cuma bingung nganterinnya, nih. Malem-malem cuy, seremlah!”
“Soal distribusi, urusan Andre. Nanti juga bisa dititipkan melalui remaja masjid yang keliling buat bangunin sahur. Aman, Mbak. Yang penting kita cocokin jadwal keliling sama waktu masakan mateng. Beres, deh, pokoknya!”
“Waah, makasih, ya Ndre. Jazakallah khoir. Aku seneng banget!”
“Sama-sama, Mbak Anis. Ini, tuh, bahasa kerennya, ayo kita berkejar-kejaran meniti pelangi, di mana ujungnya adalah ridho Alloh. Setuju? Aku udah kayak ustaz, ‘lum?”
Anis dan Durrah tertawa melihat gaya Andre. Selanjutnya mereka bergegas bangkit dari duduk. Andre pamit hendak menemui kawan-kawannya sesama remaja masjid, sementara Anis dan Durrah bersiap menuju pasar. Senyum mengembang di wajah ketiganya, bahagia. (*)
DZ. 20042021
Dhilaziya. Perempuan penyuka sunyi, bunga, buku, dan lagu.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata