Mencari Ayah

Mencari Ayah

Mencari Ayah
Oleh: Fitri Fatimah

Waktu itu aku yang berumur lima tahun tengah dipangku Ibu. Aku didudukkan di atas pahanya yang berselonjor, berhadap-hadapan dengan wajahnya yang basah oleh air mata. Ibu menangis. Dia tersedu-sedu dengan bahu berguncang, membuat dudukku jadi tak nyaman. Aku hanya bisa menatap dengan kebingungan, tak tahu bagaimana cara mendiamkan Ibu. Biasanya selalu aku yang ada di posisi perlu didiamkan dan Ibu yang akan jadi pahlawan, menyelamatkanku dari jerit kepanjangan. Entah dengan jurus dekapan, atau usapan tangan yang menenangkan di ubun-ubun kepala, atau disogok permen. Yang terakhir terbukti sangat ampuh membungkam tangisku. Tapi entah apakah juga akan ampuh pada Ibu. Seingatku Ibu bahkan bilang permen tak bagus untuk gigi.

Jadi akhirnya aku diam saja, membiarkan Ibu sesekali meraup kedua tanganku dan menangkupkannya di kedua pipinya yang lembap. Sorot mata Ibu yang biasanya bersinar kini tampak redup; senyum yang selalu melengkung di bibirnya kini sama hambarnya dengan sayur tanpa garam. Tangis Ibu amat pilu. Meskipun aku masih kecil  dan tak banyak mengerti apa-apa, aku sadar Ibu tengah dirundung luka yang teramat sangat. Satu hal lagi yang kusadari, hari ketika Ibu menangis adalah hari ketika untuk pertama kalinya Ayah tak pulang ke rumah. Dan sejak itu pulalah Ibu berubah. Ibu bukan yang langsung meninggalkan atau pun menelantarkanku, dia tetap menyayangiku, hanya saja dia bukan lagi seperti sosok yang sehangat mentari pagi yang dulu kukenal.

***

Ingatanku tentang sosok Ayah adalah bahwa dia jarang memelukku, jarang menggendongku apalagi sampai meninabobokanku. Padahal pikirku selama ini, karena lengannya lebih kokoh dari Ibu, mestinya dia lebih kuat menahan bobotku. Kesempatan bertemu Ayah juga—saking jarangnya—tak ubahnya ritual minum obat: tiga kali sehari. Pagi sebelum berangkat sekolah, sore ketika dia pulang kerja, dan malam menjelang tidur. Dan kesempatan itu hanya terdiri dari beberapa menit singkat yang berisi keheningan total. Sering aku berharap Ayah akan berpesan “jangan nakal di sekolah” atau “jangan banyak jajan”.

Awalnya aku tak keberatan dengan sifat acuh tak acuh Ayah. Toh, aku sudah punya Ibu. Keberadaan Ibu sudah menambal ketidakhadirannya. Tetapi sekarang ketika Ayah malah dengan tega merampas satu-satunya milikku—kepergiannya secara tidak langsung juga membawa serta jiwa Ibu, merenggut senyum Ibu, binar di mata Ibu, pelangi dari hati Ibu—aku tak bisa tidak jadi ingin mengecamnya.

***

Dalam kepalaku yang masih kanak-kanak, aku merangkai seperti ini: aku sayang Ibu, Ibu sayang Ayah, karenanya Ibu bahagia. Aku bahagia kalau Ibu bahagia. Dan sekarang setelah berhari-hari Ayah tak pulang, berhari-hari Ibu merana, aku bertekad untuk mencari Ayah.

Mulailah aku mencari. Kugambar wajah Ayah menggunakan krayon warna-warni pada buku bergambarku. Kubuat sepasang mata besar, hidung juga besar seperti  jambu air, pipi yang dipenuhi bintik tahi lalat, kumis kaku. Aku tidak mengada-ada, tapi sungguh, Ayah memang sama sekali tidak tampan. Entah kenapa Ibu bisa sampai jatuh hati. Kugambar banyak-banyak lalu kutempel di setiap jalan yang kulewati: pagar rumah teman-temanku, tiang listrik yang terletak di persimpangan jalan pasar, gerbang sekolah TK-ku. Gambar itu lengkap dengan tulisan “DICARI: AYAHKU”.

Tulisan itu susah payah kudapat. Karena aku masih belum tahu menulis, jadi sebelumnya aku bertanya pada ibu guru TK-ku. Dia sempat tercengang ketika mendengar kata-kata apa yang kuminta tuliskan. Tetapi untungnya, pada akhirnya dia tetap mau membantu juga.

Aku kemudian mengikuti tiap hurufnya dengan persis sama. Meski, yah … kurasa tulisanku agak meliuk-liuk seperti cacing kelaparan.

Aku berharap siapa pun yang sudah melihat pengumumanku dan dengan beruntungnya berpapasan dengan laki-laki di gambar itu, mau dengan baik hati menyampaikan pesanku, bahwa dia sedang dicari oleh anaknya. Bahwa anaknya mencari karena ibunya rindu. Si anak juga sebenarnya rindu pada si Ayah. Malah jauh sebelum si Ayah menghilang, si anak sudah rindu. Si anak rindu kasih sayang sebagaimana kasih sayang seorang ayah yang sebenarnya.

Namun sehari, dua hari, berhari-hari kemudian, Ayah tetap tak ada kabar. Apakah gambarku kurang jelas? Mungkin saja. Ah, ternyata empat bintang yang sering kudapat di pelajaran menggambar tak banyak berguna. Sementara semakin lama Ibu semakin murung. Sering kudapati dia tengah melamun, tatapannya kosong. Suasana hati Ibu juga berimbas pada pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga. Masakan Ibu tak lagi aneka ragam, cucian Ibu tak lagi harum pelembut, uang sakuku dipotong, jatah listrik di rumah kami juga dikurangi. Tiap malam sebelum tidur, saat aku memejamkan mata, aku kadang sampai merasa bahwa gelap ruangan tak ada bedanya dengan gelap di bawah kelopak mataku.

Lalu suatu hari, entah hari keberapa—aku tak lagi dapat menghitungnya sebab hari-hari itu telah melampaui jumlah jari-jari tangan dan kakiku, kemampuan menghitungku masih payah—sosok yang Ibu tunggu-tunggu itu akhirnya kembali. Tapi berbeda jauh dari dugaanku, kembalinya Ayah ternyata tak mampu mengembalikan senyum dan binar di mata Ibu. Bibir Ibu malah makin menggaungkan gerung dan mata Ibu bak banjir bah air mata.

Barangkali ini ada hubungannya dengan wanita yang Ayah bawa. Wanita yang tepat berdiri di sampingnya, dan jadi membuatku urung berlari untuk menyambutnya. Ibu pernah bilang aku tak boleh dekat-dekat dengan orang asing, nanti aku diculik. Meski aku sangsi wanita di samping Ayah itu berniat menculikku—sejak tadi tangan wanita itu hanya sibuk bergelayut mesra di lengan Ayah, tak ada tanda-tanda hendak menangkapku. Apakah tangis Ibu yang semakin menjadi karena dia juga takut orang asing? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, tak lama kemudian, terjadi cekcok sengit di antara mereka. Mereka saling menimpal kata dengan intonasi yang bikin kupingku berjengit. Lagi-lagi karena aku masih kecil, aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Hanya samar kudengar Ibu berteriak tentang surga yang tak dirindukan. (*)

 

Fitri Fatimah, kelahiran Sumenep, suka membaca dan mencoba menulis.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata