Melepas Masa Lalu (Bagian 1)
Oleh: Fitri Hana
Ben datang lebih awal dari biasanya. Ia langsung menyalakan PC kemudian tenggelam dalam desain yang harus selesai ia perbaiki hari itu juga.
“Ben? Tumben duluan sampainya.” Ruth menyapa begitu tiba dan duduk di meja samping Ben.
“Eh, selamat pagi, Sayang. Iya, nih. Tadi malem Si Bos nyuruh revisi letak air mancurnya. Makanya aku datang lebih awal,” jawab Ben sambil terus mengamati layar 14 inci di depannya.
“Oh, begitu. Tapi nanti malem jadi ke rumah, kan, Ben?” tanya Ruth sambil mengecek beberapa kertas catatan yang ia tempel di mejanya.
“Nah, karena itulah, Ruth, kekasihmu ini mengejar waktu. Biar rencana kita tidak gagal nanti malam,” jawab Ben sambil menoleh ke arah Ruth. Ia tersenyum, menampakkan gigi-gigi depannya yang mirip biji mentimun.
Ruth menghela napas panjang sambil berucap syukur. Sejenak kemudian ia berlalu ke pantri, membuat kopi untuknya dan Ben.
“Thanks, Darling,” ucap Ben sambil menerima cangkir kopi yang dibawakan Ruth. “Kamu kenapa pagi ini murung begitu?”
Ruth menggenggam cangkir kopi yang masih mengepulkan asap itu dengan kedua tangannya, lalu menyesap kopinya perlahan, “Aku gelisah, Ben. Nanti malam … ini pertama kalinya bagiku, membawa pacar ke rumah. Aku khawatir dengan Mama.” Pandangan Ruth menerawang. Ia letakkan cangkirnya di atas meja dengan tangan kiri yang tetap memegang pegangannya.
“Ruth …,” Ben menggenggam tangan kanan Ruth. “Ini langkah awal kita untuk menikah, seperti harapanmu, dan juga harapanku, harapan kita, Sayang. Jadi mari kita bersiap. Kita jalani bersama. Seberat apa pun itu, aku akan menemanimu, Sayang. Kita akan melaluinya. Oke?”
Ruth tersenyum lalu mengangguk perlahan. Kaca-kaca di matanya hampir tumpah.
***
Ruth mondar-mandir di kamarnya. Sebentar-sebentar ia menengok ke arah jam dinding. Tepat pukul tujuh malam, bel pintu rumahnya berdenting. Ruth berlari-lari kecil, melewati lorong kamarnya yang bersebelahan dengan kamar mamanya. Ia melewati ruang keluarga, lalu ruang tamu. Sejurus kemudian ia membuka pintu.
“Hai, Sayang,” sapa Ben sambil memberikan setangkai mawar merah.
Ruth tersenyum. Pipinya merona. Ia berucap terima kasih setelah menerima bunga itu.
“Kupetik dari kebun Mama, bersiaplah kena omel,” bisik Ben di telinga Ruth.
“Ben … !” Ruth mencubit pinggang Ben. Ben mengaduh, berpura-pura kesakitan.
“Sudah cukup, Ruth.” Ben menghindar, tapi Ruth terus mencubit lagi. “Sakit. Aku berbohong, maafkan aku …” Ben menyeringai sambil memegang bekas cubitan Ruth. “Cubitanmu sakit juga, Ruth.”
“Kamu, sih, Ben, suka banget godain aku.”
“Kan bisanya emang cuma godain kamu, Ruth. Emang kamu mau aku godain yang lain?” tanya Ben sambil mengedipkan mata kirinya.
“Ben …!” Ruth memelotot, tapi sejurus kemudian ia tersenyum, pipinya merona.
“Kenapa ini kok seru sekali kelihatannya?” Jenny, mama Ruth sudah berdiri di samping sofa yang berada di dekat pintu ke ruang keluarga.
Ruth salah tingkah. “Eh, Mama, ini ada tamu. Sekalian Ruth mau ngenalin ke Mama.”
Ruth dan Ben beranjak menghampiri Jenny.
“Ini Ben, Ma. Temen Ruth.”
“Halo, Tante. Saya Ben. Ini buat Tante,” ucap Ben sambil mengulurkan paper bag.
“Loh, apa ini? Kok repot-repot begini. Tidak perlu repot-repot kalo maen ke sini,” ucap Jenny sambil menerima paper bag dari Ben.
“Tidak repot, Tante. Hanya cup cake saja, kok.”
“Wah, cup cake? Kesukaan Tante ini, Ben. Ayo, duduk … duduk.” Jenny beranjak duduk ke sofa, lalu mengeluarkan kotak persegi panjang dari dalam paper bag.
Jenny membuka kotak itu, lalu mengambil cup cake red velvet dengan sebuah strawbery di atasnya. Ia menggigitnya perlahan.
“Gimana rasanya, Ma?” tanya Ruth.
“Sepertinya beli di langganan Mama ini. Enak. Terima kasih, Ben.” Jenny tersenyum.
Jenny mengalihkan pandangan ke arah Ruth yang duduk di sebelahnya, “Ruth, tumben bawa temen ke rumah? Beneran temen?” tanya Jenny dengan pandangan menyelidik. Ia menggigit cup cake-nya di sela-sela mengobrol.
Gemuruh di dada Ruth semakin kencang. “Kami berteman dekat, Ma. Kami juga berencana untuk segera menikah. Tentu saja dengan persetujuan Mama.”
“Duh, Mama berasa ditodong. Ya udah, sih, kalian juga yang jalanin. Asal tetap di koridor aja.”
Ben diam-diam menghela napas, lega.
“Ben, anggap rumah sendiri, ya. Tante mau ke dalam dulu,” ucap Jenny sambil beranjak berdiri. “Sana bikinin minum, Ruth.”
Ruth tersenyum ke arah Ben, lalu mengekor mamanya ke dapur. Jenny mengambil air minum lalu meneguknya perlahan. Sementara Ruth menjerang air untuk membuat kopi.
“Orang mana itu, Ruth?”
“Orang Bandung, Ma. Papanya kerja di KBRI Malaysia.”
“Mukanya kayak Mama nggak asing gitu, Ruth. Kayak bukan orang sini.”
“Iya, Ma. Ada keturunan Belanda di papanya.”
“Belanda … Sebentar, sebentar. Siapa nama papanya?”
“Pak Bram, Bramantyo kalo nggak salah, Ma. Kenapa emangnya?”
“Bram? Nggak bisa ini, Ruth.” Jenny berjalan cepat kembali ke ruang tamu.
“Ben, papamu Bramantyo, bukan? Kakekmu William?”
Ben keheranan kenapa mama Ruth tahu nama kakeknya padahal ia belum bercerita kepada Ruth tentang nama kakeknya. Ia hanya bercerita kalau papanya berdarah Belanda.
“Betul, Tante. Tante kenal?”
“Keluar dari rumahku, Ben. Papamu brengsek! Keluar sekarang!” Dada Jenny naik turun. Matanya memelotot. Tangan kirinya menunjuk ke pintu.
“Sebentar, Tante. Tolong jelasin ke Ben, ada apa ini?” Ben berdiri, memohon penjelasan.
“Tidak ada penjelasan. Keluar dari rumahku! Sekarang!” suara Jenny berapi-api.
“Tapi, Tante ….”
Jenny menggeleng lalu menunjuk pintu berulang kali.
“Ma, ada apa ini?” Ruth mendekati mamanya.
“Dia anak dari lelaki yang Mama ceritakan padamu. Dia anak dari lelaki yang mengkhianati Mama, Ruth. Usir dia sekarang.”
Ruth terkejut, tapi ia segera menguasai dirinya. Ia menoleh ke arah Ben, lalu memberi isyarat agar Ben pulang.
Ben menghela napas, lalu beranjak juga dari tempatnya berdiri.
“Ben minta maaf, Tante.”
Jenny memalingkan muka, lalu menyuruh Ruth agar segera menutup pintu.
(Bersambung)
Klaten, 18 Juni 2022
Fitri Hana. Seorang ibu yang memaksakan diri untuk menulis. Kadang-kadang ia suka kopi. Kadang-kadang ia suka cokelat panas. Kadang-kadang ia tak suka keduanya.
Editor: Lutfi Rosidah