Meet You

Meet You

Meet You
Oleh : Rizka W.A.

Rei mendengkus kesal saat engine yang sedang dia kerjakan lagi-lagi gagal running. Sudah tiga kali melakukan percobaan troubleshooting, tetapi tampaknya keberuntungan belum juga memihak padanya. Perlahan, Rei memijat kening, mengingat kembali satu per satu prosedur yang dia lakukan saat mengerjakan shop manual.

“Bagaimana, Rei, berhasil tidak?” tanya Dani, rekan kerjanya.

Rei menggeleng lemah. “Sepertinya kita akan Lebaran di hutan. Kerjaan tidak akan selesai sampai seminggu ke depan,” ucapnya sembari mengembuskan napas kasar.

“Sudah, tidak apa-apa, Rei. Jangan dipaksa mikir, nanti malah stres. Kalau memang harus Lebaran di hutan, kami sudah siap. Ayo istirahat dulu, sebentar lagi kita buka puasa!” Dani berusaha menghibur Rei yang tampak frustrasi. Rei mengangguk, lalu melepas sarung tangannya.

“Bray, aku duluan, ya!” teriak Rei, melambaikan tangan kepada karyawan lain yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Karyawan itu membalas dengan mengacungkan jempol.

Rei melepas helmnya, lalu berjalan gontai meninggalkan workshop. Berkali-kali dia mengembuskan napas kasar dan menggaruk kepalanya—yang terbalut kerudung—meskipun tidak gatal.
Dani yang berjalan di samping Rei tidak berani membuka obrolan. Hingga keduanya sudah sampai di mobil yang akan membawanya ke mes, mereka masih saja diam. Ahmad—sang sopir—mengangkat dagunya kepada Dani, seolah-olah meminta penjelasan. Namun, Dani hanya menggeleng, lalu memberi isyarat untuk diam. Jika ekspresi wajah Rei sudah merengut seperti itu, tidak ada yang berani mengajaknya berbicara.

“Rei, makan di mes atau mampir di warung?” tanya Ahmad hati-hati.

“Mes aja. Capek, mau istirahat,” jawabnya singkat.

Hampir tiga puluh menit perjalanan, mereka akhirnya sampai di mes. Tanpa berpamitan, Rei meninggalkan kedua rekannya, kemudian berjalan ke arah kumpulan kontainer—yang sudah didesain khusus untuk menjadi tempat tinggalnya selama bekerja di tambang.

Rei menanggalkan rompi dan sepatu safety-nya, kemudian merebahkan tubuh ke kasur. Dia merogoh ponsel yang ada di saku warepack-nya, lalu mengaktifkan benda tersebut. Dentingan berkali-kali terdengar, pertanda banyaknya pesan yang masuk.

Selang beberapa menit, ponsel itu berbunyi. Harajuku, nama yang tertera pada layar. Rei tersenyum semringah, lalu mengusap tombol hijau dan mengucap salam.

“Sudah pulang kerja, Dek?” tanya suara di seberang sana setelah menjawab salam.

Rei mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Dia terlalu bahagia sampai lupa kalau lawan bicaranya tidak bisa melihat anggukannya.

“Kok diam?” Suara di seberang sana kembali terdengar. “Bagaimana kerjaanya, lancar, enggak?”

Rei menepuk jidat sembari menahan tawa. Dia mengatur napas agar tidak terdengar gugup oleh lawan bicaranya.

“Enggak, Kak. Sepertinya Rei tidak bisa pulang ke Balikpapan. Tiga hari lagi jalanan antarkota akan ditutup, sedangkan kerjaanku belum ada tanda-tanda akan selesai,” ucapnya dengan nada malas.

“Padahal aku sudah ambil cuti dua minggu untuk meresmikan acara pertunangan kita.”

Rei menggigit bibir, wajahnya berubah layu. “Kalau memang tidak bisa ketemu, acaranya ditunda aja, Kak,” ucapnya lirih.

“Ya sudah, enggak apa-apa. Mungkin belum waktunya kita ketemu. Teleponnya aku tutup, ya, udah mau beduk Magrib. Habis Tarawih aku telepon lagi,” pungkas pemuda itu.

Rei mengembuskan napas kasar. Dia sangat kesal. Bukan hanya pekerjaannya yang tidak kunjung selesai, tetapi rencana yang dia susun terancam gagal.

Dua minggu yang lalu, Rei dilamar oleh sahabatnya melalui telepon. Pemuda itu berencana ingin meresmikan hubungan mereka sekaligus melakukan acara pertunangan tiga hari setelah Idul Fitri. Namun, pekerjaan dan situasi pandemi sepertinya akan membatalkan niat baik tersebut.

Suara ketukan membuyarkan lamunan Rei. Dia membuka pintu kamar. Dani mengajak untuk berbuka puasa di kantin, tetapi ditolak karena alasan tidak enak badan. Dani pun meninggalkan Rei dan menyuruhnya untuk beristirahat.

***

Sudah dua hari berlalu, Rei seolah-olah enggan untuk bekerja. Dia telanjur patah semangat menyadari situasi yang tengah dihadapinya saat ini. Sikapnya terhadap dua rekannya pun berubah, semakin emosional.

“Ahmad, tolong antar aku ke mes. Aku sedang tidak enak badan,” ucap Rei.
Ahmad mengangguk, kemudian berpamitan kepada Dani. Dani membalas dengan mengacungkan jempolnya dan memberi saran kepada Rei agar tidak terlalu memikirkan kerjaan.

Dalam perjalanan ke mes, Rei tak banyak bicara. Dia menyandarkan kepala sembari mendengarkan musik melalui headset. Ketika sampai pun, dia hanya mengucapkan terima kasih, kemudian bergegas menuju kamarnya.

***

Suara ketukan membuat Rei terjaga. Langkahnya gontai membuka pintu. Dia bahkan menggerutu, karena merasa waktu istirahatnya diganggu oleh Ahmad dan Dani. Namun, setelah dia membuka pintu, Rei terperangah melihat siapa sosok yang ada di depannya.

“Kak … Hary?”

Pemuda di depannya mengangguk.
“Jika calon tunanganku tidak bisa pulang, maka aku sendiri yang akan menjemputnya,” ucapnya seraya menyunggingkan senyum.

Rei tersipu mendengar ucapan pemuda di hadapannya. Dia menutup wajah dengan kedua tangan saat Ahmad dan Dani mulai menggodanya.(*)

Pojok kontainer, 5 Mei 2021.

Perempuan penyuka senja yang hobi baca buku. Panggil saja Mbak Conan.

Editor : Lily

Leave a Reply