Masker Untuk Rina
Oleh: Lilik Eka
Rina manatap masker yang disodorkan oleh Uni dengan bimbang. Terlihat oleh Rina, teman-teman sekelasnya berbisik-bisik sambil sesekali melihat ke arahnya. Rina menggeleng kemudian berjalan ke bangkunya, lalu duduk sambil menutup mulutnya dengan ujung kerudung. Uni menatapnya dengan iba, kemudian dia duduk di bangku yang terletak di depan bangku Rina.
Kegiatan belajar mengajar di Sekolah Dasar Negeri 10 akan segera dimulai. Murid-murid siap menimba ilmu dari guru mereka.
“Duh, kamu ini, Rin! Kenapa tak pake masker lagi? Penyebar penyakit kamu ini!” Ismi, teman sebangku Rina berkata sinis.
Mendengar hal itu, Rina hanya bisa menggeleng dengan matanya yang berkaca-kaca. Bukan mau dia tidak memakai masker, tetapi uang yang diberikan mamaknya tadi pagi tidak cukup untuk membeli masker di warung depan sekolah.
Melihat wajah sendu Rina, mendadak Ismi merasa bersalah, “Maaf.”
Rina hanya menganggukkan kepalanya. Dia juga semakin cemas ketika Bu Galuh terlihat memasuki kelas, “Selamat pagi, Anak-Anak.”
“Selamat pagi, Bu Guru,” jawab murid serempak.
Bu Galuh tampak hendak duduk, tetapi tidak jadi. Dia berdiri kembali, lalu berjalan menuju deretan bangku ke dua dari pintu, “Rina … kamu tidak memakai masker lagi? Kan Ibu sudah bilang pake masker itu wajib. Kamu tahu artinya wajib, kan?” tanya Bu Galuh dengan tatapan tajam.
“I-iya, Bu, saya mengerti, ta-tapi uang saku sa-saya tidak cukup buat beli … masker.” Rina menjawab pertanyaan gurunya itu.
Pertanyaan yang sedikit menekan itu menimbulkan reaksi dari murid lainnya. Rina menjadi malu ketika dilihatnya sebagian teman-temannya kembali berbisik-bisik sambil sesekali melihatnya, ada pula yang menertawakannya. Meskipun di antara mereka ada yang menatapnya dengan iba, tapi itu tidak bisa mengurangi rasa malunya. Suasana kelas menjadi sedikit riuh. Rina kembali mengangkat ujung kerudungnya untuk menutupi wajahnya.
“Sudah, sudah! Ayo keluarkan buku tematik lima!” perintah Bu Galuh.
Dengan tenang semua mengeluarkan buku sesuai perintah Bu Galuh. Kemudian pembelajaran berlangsung hingga jam pulang.
“Rin … Rin! Tunggu!” panggil Uni sambil berlari mengejar Rina.
Rina yang berjalan sedikit berlari terpaksa berhenti dan menunggu Uni, “Ada apa, Un?”
“Tadi kenapa tidak mau menerima masker dariku? Dimarahi, kan, jadinya,” ucap Uni sedikit kesal, lalu menyodorkan kotak masker pada Rina.
“Mamakku bilang, aku tidak boleh berharap belas kasihan dari orang,” tolak Rina.
“Aku temanmu. Aku tidak hanya kasihan kamu dimarahi Bu Galuh, tapi ini masih pandemi, masih ada korona, Rin. Aku tidak ingin kamu sakit.”
“Aku tidak apa-apa, kok. Lagian Mamak bilang hari ini akan dibelikan. Sudah, ya, Un, aku pulang duluan. Kamu udah dijemput, tuh!” ucap Rina sambil menunjuk ibunya Uni yang telah menunggu di seberang sekolah.
Rina melangkah berlawanan arah dengan Uni. Dia menoleh sambil tersenyum. Dia sedikit iri dengan temannya itu. Hidup dengan orang tua lengkap dan serba ada, tidak seperti dirinya yang sudah tidak memiliki Bapak dan hidup serba kekurangan.
***
Sementara itu di tempat lain, seorang wanita berkerudung biru berjalan tanpa alas kaki menggendong keranjang berisi pisang. Dia berharap dengan berkeliling, pisang hasil dari kebunnya itu bisa terjual dengan cepat. Namun harapannya tak kunjung nyata. Dia sudah berkeliling di dua komplek perumahan yang ada di dekat kampungnya, tetapi pisang yang dia bawa tak kunjung habis.
Sambil duduk di bangku di bawah pohon trembesi di depan bengkel yang tutup, wanita itu menghitung hasil jualannya yang ternyata baru cukup untuk membeli beras dan tempe. Sambil meremas uang yang ada di genggaman, dia mengingat cerita anak tetangganya. Menurut cerita anak yang satu sekolah dengan Rina, dia mendengar bahwa anaknya itu dimarahi gurunya. Bahkan, dia dilarang ikut pelajaran olah raga karena tidak memakai masker.
“Jual apa, Bu?” Wanita itu dikejutkan oleh pertanyaan seseorang, rupanya ada ibu-ibu yang membonceng anak berseragam merah putih telah berhenti di dekatnya.
“Pisang, Bu.”
“Oh … iya. Sebentar.” Ibu-ibu itu kemudian menstandar motornya setelah anaknya turun dari motor.
“Berapaan, Bu? Saya beli semuanya,” kata si ibu tadi sambil melongok ke dalam keranjang yang ada di samping wanita itu.
“Masih tiga, Bu. Tiga puluh ribu.”
Mendengar jawaban dari penjual itu, si ibu tadi membuka dompet dan mengeluarkan dua lembar uang. Satu lembar sepuluh ribuan dan satu lembar dua puluh ribuan. Kemudian dia berikan kepada penjual itu, “Ini, Bu.”
Dua wanita itu menukar apa yang dipegang. Uang berpindah tangan ke penjual, dan sebaliknya, sekarang tiga sisir pisang telah dibawa si ibu tadi, yang kemudian disimpannya di motor.
“Terima kasih, Bu,” ucap si penjual dengan senyum semringah.
“Sama-sama,” jawab si ibu sambil menaiki motornya dan meminta anaknya naik di boncengan. “Ayo naik, Un!”
Anak berseragam merah putih yang dipanggil Un itu tidak segera naik. Dia membuka tasnya dan mengeluarkan kotak kecil kemudian mendekati wanita penjual pisang itu. “Bu, ini ada masker. Ibu pake, ya!”
Anak itu menaruh kotak masker ke dalam keranjang, lalu berjalan mendekati ibunya yang telah menunggunya di atas motor.
Wanita penjual pisang itu tidak bisa berucap apa-apa. Dia hanya melihat ibu dan anak itu dengan mata berkaca-kaca, lalu bersiap untuk pulang. Diperhatikannya kotak masker yang ada di keranjangnya, “Rina pasti senang. Dia tidak akan lagi dihukum,” gumamnya.
Sementara diboncengan sang Ibu, Uni tersenyum ceria, “Besok Rina pasti tidak akan dimarahi Bu Galuh lagi.”
Rupanya dia mengenali kalau penjual pisang itu adalah ibunya Rina. Beberapa kali dia melihat ibu itu ketika pembagian raport di kelas. (*)
Lilik Eka, penulis pemula yang ingin mengajarkan pada anaknya bahwa belajar itu tidak mengenal usia.
Editor: Evamuzy
Sumber gambar: pinterest.com