Margio

Margio

Margio
Oleh : Ning Kurniati

Margio baru bertemu Maria kemarin malam ketika menghadiri pesta pernikahan sepupunya—Ra’isah dengan Buleleng. Dan detik itu juga, ketika mata mereka saling bertatapan, Margio merasa sudah mengenal Maria berabad-abad lamanya. Ini keajaiban, pikir Margio. Dua detik kemudian, dia merasa Marialah perempuan yang dikirim Tuhan untuknya. Satu-satunya di dunia ini.

“Maria cinta pertama dan terakhirku, Leleng. Aku yakin itu.”

“Aduh, kau ini … kupikir ada yang penting sampe pagi-pagi begini mengganggu kami,” jawab Buleleng yang masih dengan muka mengantuk.

“Heh, ini penting Leleng.” Margio berkeras.

“Memangnya kau itu sudah yakin dia mencintaimu.”

“Tentu, tentu dia mencintaiku. Kami kemarin malam bertatapan saat aku mengambil makanan. Matanya itu Leleng … jernih menenangkan bagi yang melihatnya dan dia tersenyum padaku. Oh, selama ini aku tidak percaya ketika mencintai perempuan, laki-laki akan bertekuk lutut di hadapan perempuan. Tapi dengan Maria aku percaya itu, aku akan melakukan apa pun untuknya. Dia cinta pertama dan terakhirku.”

“Kau pernah jatuh cinta sebelumnya?”

“Belum, kan barusan kubilang, dia cinta pertamaku.”

“Kalau begitu gawat.”

“Apanya yang gawat?”

“Ya, kamu … kamu bisa gila nantinya.” Buleleng terkekeh.

“Ya, ya kurasa begitu, aku akan gila karena cintanya. Tidakkah kamu juga bilang begitu sebelum menikahi Ra’isah.”

“Aduh, kasus kita beda, Gio.”

“Apanya yang beda?”

*

Margio bingung sekaligus kesal, Buleleng tidak menjawab pertanyaannya sampai beberapa lamanya mereka mengobrol. Laki-laki itu terus-menerus berkelit, mengarahkan pembicaraan pada hal yang meskipun tidak dibahas tidak masalah, sebab tidak ada kepentingan di sana. Sedang pikir Margio, permasalahannya sedang gawat, dia takut Maria diserobot pemuda desa lain. Tidak dapat dia membayangkan itu. Sehingga tatkala Buleleng menyingkir ke kamar mandi, dia pun memutuskan untuk menyingkir juga. Begitu keluar, di teras rumah, berpapasan dia dengan Ra’isah. Margio menundukkan kepala dalam-dalam. Melihat itu, Ra’isah tergeleng-geleng. “Kali ini, apa masalahnya?”

*

Dua hari berlalu, Margio tidak pernah lagi bertemu Maria. Dia tahu kalau perempuan itu memang bukan warga di desanya, tetapi dia tidak mau meyakini kalau Maria sudah pergi dan mereka tidak ditakdirkan bertemu setelah pertemuan tempo hari itu. Ini tidak adil kalau memang begitu, pikir  Margio. Selama ini dia tidak pernah meminta ataupun mengeluh pada Tuhan. Bahkan, ketika dia mulai paham bahwa dirinya seorang yatim piatu dan hidupnya jauh dari kemewahan. Dia berpasrah diri. Namun, kali ini kasusnya berbeda, dia merasa harus memiliki Maria. Bagaimanapun caranya, dia bertekad. Nahas, dia tidak tahu apa-apa selain nama saja.

Sesiangan dia menimbang-nimbang untuk ke rumah sepupunya. Namun, dia khawatir kalau bertemu dengan Buleleng hanya membuang waktu saja, sebab laki-laki itu akan kembali berkelit dan berkelit, dan dirinya tidak bisa sabar karena itu. Sat ini, dia menyesali perbuatannya membantu Buleleng mendekati Ra’isah. Tidak tahu terima kasih, dia menganggap Buleleng orang yang tidak baik.

Bila Buleleng tidak mau membantu, maka akan ada orang lain yang membantu. Kesulitan sebelumnya, kemudahan setelahnya. Margio membesarkan hati yang hampir patah sebelum berkembang. Dia mengusahakan berpikir yang baik-baik saja, terus-menerus dia meyakinkan diri dengan nasihat-nasihat yang pernah didengarnya.  

Maka kemudian, Margio mulai memikirkan semua kerabatnya, semua orang yang dia kenal. Dengan orang yang kelak terpilih itu dia akan meminta tolong. Setiap dari mereka dipikirkan kepribadiannya, bagaimana perlakuan mereka terhadap dirinya selama ini. Betapa nahas, hanya Ra’isalah yang tidak pernah mencela dan yang paling menghargainya selama ini. Margio mengelus dada.

Tidak, dirinya tidak mau. Margio menggeleng-gelengkan kepalanya yang terasa berat. Untuk beberapa waktu, dia tidak mau mengungjungi pengantin baru itu. Dia masih kesal bukan main. Namun, ketika kembali teringat-ingat senyum Maria, malu rasanya dia mengatakan mencintai sedang tidak ada tindakan yang dilakukan. Dan sungguh, hanya dengan dialah, dia merasa terbawa melayang ke langit ketujuh.

*

Ketika air sudah membasahi seluruh tubuh dan sabun di beberapa bagian, Margio menganggap itu sudah cukup. Tujuan utama dari mandi adalah membuat tubuh tidak berbau. Itu saja. Tak perlu berlama-lama. Namun, hari ini berbeda dan mungkin ke depannya juga akan begitu. Degup jantung yang berubah  membuatnya melakukan segala hal dengan lebih teliti dan benar. Lekukan di bagian tubuhnya disabungi berulang kali. Tiga-empat kali. Tidak boleh lagi ada hitam, semuanya harus terlihat enak dipandang.

Selesai mandi, segera Margio masuk ke rumah. Dilewatinya dapur tanpa mengicip makanan meski perutnya sedang keroncongan. Di kamar, dihempaskannya baju ke tumpukan cucian yang baunya tidak lagi nyaman di hidung manusia mana pun. Lalu, dibukanya lemari. Dipilihnya baju yang sedap dipandang oleh semua mata, yang tidak bolong, yang jahitannya masih rapi, dan tentu saja yang warnanya belum pudar. Hanya ada lima lembar pilihan.

Baju pertama, kemeja cokelat bergaris-garis vertikal. Itu pemberian Pak Ipun yang dia lupa kapan tahunnya, bagus, tapi agaknya sudah ketinggalan zaman sekarang. Baju kedua, kaus lengan panjang, pemberian Iwan, pemuda yang kuliah di kota. Bagus, tapi di belakangnya tertulis dengan ukuran tulisan yang besar “Himpunan Mahasiswa Geologi”. Itu tidak baik, tidak merepresentasikan dirinya sebagai buruh harian dari banyak jenis pekerjaan. Dia ingin terlihat yang sebenarnya. Baju ketiga, keempat dan kelima, baju koko yang bergantian dia pakai ke masjid selama setahun belakangan di waktu Jumat. Namun, itu akan membuatnya tampak alim, padahal selama ini solat lima waktu saja, dirinya masih bolong-bolong. Margio jadi dilema.

*

Rambutnya sudah rapi, sudah menggunakan pakaian yang baik—kemeja cokelat dan celana training, Margio yakin melakukan hal terbaik. Lalu,  dia menuju rumah Buleleng. Dari kejauhan dia mendengar ribut-ribut orang mengobrol, membuat dadanya serasa bergetar, tetapi tak lantas membuatnya gentar dan memilih mundur. Dia maju dan itulah yang seharusnya dilakukan oleh lelaki sejati, pikirnya. Maria memanglah jodohnya, cinta pertama dan terakhir. Dia merasa Tuhan merestui apa yang dia niatkan. Sebab, kemarin Buleleng tiba-tiba datang dan mengatakan kalau Maria akan bertamu ke rumahnya. Sebelum pulang, Buleleng berkata dengan muka datar, “Inilah hal terbaik yang kulakukan untukmu, Margio. Jangan kau sangka aku tak peduli kepadamu.” Mendengar itu, Margio jadi merasa bersalah pada Buleleng, apalagi kalau mengingat dirinya pernah berpikir yang buruk tempo hari lalu.

Margio mengetuk pintu dan tak lupa memberi salam. Dia memunculkan dirinya dari balik pintu itu sambil tersenyum. Diedarkannya pandangan ke orang-orang yang duduk lesehan membentuk lingkaran. Dicarinya wajah yang beberapa hari ini memenuhi kepalanya siang dan malam.  Ketemu, maria sedang memomong tiga orang anak. Mata anak-anak itu persis dengan sang ibu.

“Sudah kubilang ‘kan gawat,” ucap Buleleng ketika dia hanya berdua dengan Margio. Namun, tak seperti yang lalu, Margio sekarang tak berkata apa-apa. Hamparan sawah lebih menarik baginya sekarang. Margio menyibukkan diri mencabuti uban.(*)

3 Juni 2020

Ning Kurniati, penulis pemula

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply