Lendir
Oleh: Cokelat
Cermin Terbaik ke-5 pada Lomba Menulis Cermin Lokit
Kosong. Sepi. Tak ada kegembiraan. Begitulah suasana Ramadan sebelum sekarang dan kuharap kali ini tidak. Tahun lalu, tak ada riuh jemaah bercengkrama, tak ada gema lantunan ayat saat tarawih serta tilawah, punun, tak ada keriangan anak-anak menyambut gempita Ramadan. Hanya Pak Imam yang datang setiap waktu salat tiba untuk mengumandangkan azan. Setelah itu, tempat ini kembali kosong dan sunyi.
Karpet-karpet yang biasanya terhampar untuk para jemaah digulung rapi lalu ditumpuk dalam ruangan kosong di bagian belakang masjid. Tentu saja, itu membuat aku dan teman-teman kedinginan. Entah apa yang terjadi. Kudengar, ada wabah menyerang dan menyebabkan orang-orang tidak bisa bergerak sebebas biasa, terisolasi di rumah-rumahnya, terkungkung oleh serangan makhluk tak kasat mata.
Aku bersyukur, beberapa bulan terakhir, orang-orang mulai kembali berkunjung, walau tak seramai biasa. Aku dan teman-teman masih tergulung di belakang sana dan ketika ada satu dua jemaah yang datang membuat kami sedikit merasa hangat. Namun, kadang ada jemaah yang datang lalu menyemprotkan air bercampur obat ke segala arah, membuat kami kedinginan. Katanya untuk membunuh virus, entahlah.
Beberapa hari sebelum ramadan, aku dan teman-teman mendengar Pak Imam berbincang bersama beberapa jemaah. “Masjid akan kita buka selama Ramadan ini. Tidak ada larangan seperti tahun lalu. Mari kita ramaikan Ramadan kali ini.”
“Syukurlah. Saran saya, kita tetap menjalankan protokol kesehatan. Meminta jemaah untuk menjaga jarak dan mewajibkan pemakaian masker pada semua jemaah. Dan kita harus tegas.” Lelaki berkacamata yang memakai sarung biru menimpali ucapan Pak Imam. Beberapa lelaki lain yang bergabung bersama mereka mengangguk. Sepertinya mereka semua setuju dengan usul lelaki berkacamata itu.
Aku dan teman-temanku bersorak. Akhirnya, Ramadan kali ini akan lebih meriah. Tempat ini akan kembali dipenuhi suara mereka yang salat dan mengaji. Kami tak akan kesepian lagi.
Ramadan ke sepuluh, suara azan berkumandang. Para jemaah mulai mengisi saf-saf untuk salat. Seorang lelaki muda dengan alis tebal berdiri khusyuk mendengar azan yang dikumandangkan muazin. Tatapannya tepat ke arahku. Sepertinya dia bukan warga sekitar sini karena aku tak merasa pernah melihatnya sebelumnya.
Saat akan memulai salat, dia melepas masker dari mukanya lalu melipat benda berwarna biru itu dan memasukkannya ke dalam saku baju. Astaga … apa dia tidak tahu kalau area ini wajib masker? Bahkan saat sedang salat sekali pun. Kenapa tidak ada yang menegurnya? Aduh, semua jemaah telah mengangkat tangan untuk memulai takbiratul ihram. Tak ada lagi yang memperhatikan dan memberi tahunya untuk menaati peraturan.
Semua jemaah melaksanakan salat Isya dengan khusuk. Saat sujud rakaat terakhir, pemuda itu tiba-tiba bersin tepat di atasku. Menjijikkan! Ada lendir yang keluar dari hidungnya dan menempel di permukaanku. Aku benar-benar tak nyaman. Huh! Ini pertama kali aku setuju dengan mereka yang selalu ribut soal masker. Sampai pemuda itu selesai salat, lendir yang keluar dari hidungnya masih menempel padaku. Usai berzikir ponselnya bergetar, diangkatnya dan dia bercakap beberaoa saat lalu beranjak pergi.
Seorang remaja–anak Pak Imam– bergerak dari belakang mengisi tempat pemuda itu. Dia pemuda yang rajin mengajar mengaji di tempat ini sebelum pandemi. Aku ingin berteriak saat dia sujud di rakaat pertamanya. Tidak! Berhenti! Kau harus membersihkan permukaan tubuhku terlebih dahulu.
Ya Allah, lendir menjijikkan itu pun menempel pada maskernya. Seandainya dia tahu ….
Teman-teman di sekitarku sibuk memarahiku. Karena aku ribut sekali. Dasar kalian! Bukan kalian yang merasakan betapa menjijikkannya tertempel lendir yang basah dan lengket.
Aku bersyukur ketika keesokan harinya para pengurus masjid mengepel seluruh lantai. Semenjak wabah yang mereka takutkan merebak, seluruh area masjid semakin sering dibersihkan.
Beberapa hari kemudian, masjid dipenuhi jemaah salat Asar. Tak biasanya seperti ini. Waktu asar adalah salah satu waktu yang paling sepi di antara waktu salat lainnya.
“Sepertinya ada yang meninggal. Aku mendengar beberapa jemaah yang lewat membahasnya.” Teman yang berada di samping kananku memberi informasi.
Oh, pantas saja. Biasanya memang seperti itu jika ada yang meninggal, masjid mendadak ramai. Keluarga serta teman almarhum atau almarhumah akan masuk dan ikut mensalati jenazah yang mereka antar.
“Benarkah dia yang meninggal?”
“Tidak mungkin!”
“Astaga, baru beberapa hari yang lalu dia ikut salat di sini.”
“Aku bersaksi, dia anak yang baik dan saleh.”
Teman-teman di sekitarku seketika ribut dan heboh. Ada apa dengan mereka?
“Ya, terakhir kali dia salat tepat di atasmu.” Mendadak hening ketika teman di samping kiriku mengatakannya padaku.
“Apa? Maksudmu … yang meninggal itu anak Pak Imam?”
Ya Allah, jangan-jangan lendir itu ….(*)
Kamar Cokelat, 5 Mei 2021
Cokelat, jatuh cinta pada cokelat dan semua turunannya.
Komentar juri:
Keunikan dari naskah ini, penulis menempatkan POV 1 pada sebuah karpet. Hal ini membuat naskah terasa berbeda dan membawa hawa baru dalam event kali ini. Sesuatu yang sederhana, jadi terasa menarik untuk dibaca hingga akhir.
Penulis juga menyampaikan pesan yang belakangan ini terus digaungkan di segala kesempatan dengan halus tanpa pembaca merasa digurui.
Kalau saja penulis mau lebih detail lagi dalam proses editing dan pemilihan diksi, bisa jadi naskahnya masuk ke tiga besar. Terus terang saya sedikit terganggu dengan pemilihan judul yang konotasinya menjurus ke seksualitas. Over all, naskah ini tetap menonjol dari puluhan naskah yang lain.
—Lutfi Rosidah—
Lomba Cerpen Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata