Lelaki Penidur
Oleh: Karna Jaya Tarigan
Seharusnya kau tidak pulang kampung di hari ini. Seharusnya kau berada di negeri Syam bersama teman-temanmu dan pejuang-pejuang lainnya. Di bawah langit kota Aleppo yang kering kerontang, mengangkat senjata di medan perang. Bukankah dulu kau pernah bercerita, bahwa kau ingin bersama mereka: pejuang-pejuang pemberani yang tidak pernah takut menumpahkan darahnya demi membela sebuah keyakinan. Tetapi hari ini kau malah berbaring di dalam sebuah mobil berwarna putih yang melaju dengan kecepatan tinggi membelah pekatnya malam. Ada apa denganmu? Kau menikmati tidurmu yang lelap dan tidak peduli sama sekali jika mobil ini berlari secepat angin atau badai sekalipun. Entah apa yang kau impikan, hingga membuat kedua kupingmu sama sekali tidak mendengar raungan suara sirene mobil ketika sedang berusaha memecah kemacetan di depan Pasar Tumpah. Kau tidak juga peduli ketika supir tua itu menginjak pedal remnya dalam-dalam dan mendadak, hingga tubuhmu berguncang-guncang dan bergeser. Bahkan ketika bunyi klakson yang memekakkan telinga terdengar seperti suara sangkakala yang ditiupkan dari langit oleh malaikat–saat sebuah truk gandeng yang melaju, tiba-tiba oleng dan hampir menyentuh iring-iringan kendaraan yang mengantarkanmu, wajah supir tua itu berubah pucat.
**
Bintang gemintang menampilkan pendaran kemilau yang memukau. Langit menunjukkan keanggunannya tanpa mengenakan selimut awan. Menyusuri jalan menuju kota Salatiga. Rawa Pening, sebuah danau alam yang luas, terlihat dari kejauhan setangkapan mata. Cahaya lampu di sekitarnya seperti manik-manik yang berkelap-kelip. Biasanya kau tak pernah melewatkannya. Ini adalah momen yang kamu tunggu … tetapi kau tetap meneruskan tidur tanpa suara dengkuran. Dan roda-roda mobil terus berputar melewati satu kota ke kota berikutnya, menyusuri jalan-jalan sepi. Tengah malam, sekilas kehidupan nampak berhenti bernapas, tetapi mobil ini bukan menunggu datangnya hari esok, ia melaju menuju perhentian terakhir.
**
Matahari baru menampakkan separuh tubuhnya, ketika kota Kediri dilewati. Pagi mulai menggeliat, dari balik kaca nampak anak-anak sekolah berjalan bersisian mengenakan seragam putihnya yang berwarna cemerlang, pedagang penganan yang sedang menjual dagangannya di sisi trotoar; Mbok bakul jamu yang sedang melayani pembelinya, seorang tukang becak. Biasanya kau selalu terlihat menikmatinya, setiap detail kehidupan pagi. Memandang dengan takjub yang terpancar lewat binar matamu. Dan beberapa jam berikutnya, mobilmu telah memasuki kota Pasuruan, melintasi bayangan gunung Arjuno. Kau tetap hening dalam tidur, seakan pesonanya sekarang telah hilang dari ingatanmu. Apa kau lupa ucapanmu dahulu:
“Naik kereta begitu monoton, selain kegelapan malam, lainnya hanyalah suara lokomotif yang mengganggu.”
Itu kata-kata yang kau ucapkan karena sepertinya kau yakin, bahwa tak ada cara lain yang lebih menyenangkan untuk pulang kampung, selain menaiki bis antar kota. Dan senyummu selalu penuh semangat ketika kakimu menginjak anak tangga dan memasuki pintu bis. Raut mukamu terlihat bahagia meski membawa satu ransel besar penuh barang bawaan di pundak.
Tetapi jika sekarang kau melupakan saat-saat menyenangkan ini tidak heran juga, kau mungkin telah melupakan ibumu, adik-adikmu, dan semua kenangan indah yang tersimpan utuh di otakmu. Lima tahun lalu semenjak teman-teman barumu sering datang berkunjung, dan mengajak berbincang-bincang dengan percakapan rahasia yang hanya dimengerti dan dipahami oleh kalian. Kau telah banyak berubah: melupakan seorang ibu yang telah membesarkanmu dengan susah payah, bahkan lupa menziarahi makam mendiang Ayahmu. Juga uang sebesar tiga ratus ribu rupiah yang senantiasa kau kirimkan setiap tahunnya untuk membeli ketupat lebaran kepada Ibumu. Padahal kau tahu, berapa penghasilan pasti wanita paruh baya itu sebagai seorang buruh tani yang menjual tenaga dan keringatnya kepada mereka, pemilik sawah. Barang kali, setiap petang sehabis bekerja, setelah Sholat Maghrib, Ibumu akan duduk termenung sendiri di atas bangku kesayangannya. Memikirkanmu dan menunggumu yang penuh ketidak-pastian. Biasanya dia melakukan itu jika dia sedang memikirkan anak-anaknya, dan kau anaknya.
**
Mobil berwarna putih mulai mengurangi kecepatannya ketika melewati gapura desa. Jalanan yang rusak dan berlubang menghambat laju kendaraan. Seharusnya kau bangun dari tidurmu, ketika mobil yang kau naiki berguncang-guncang dengan tidak beraturan. Juga ramai orang-orang di dusun yang berdiri di sepanjang jalan. Hari ini adalah harimu, di mana setiap orang menyambut kedatanganmu, seseorang yang wajahnya menghiasi surat-kabar, layar televisi dan portal berita online.
Beberapa saat kemudian, mobil yang membawa dirimu, tiba di depan sebuah halaman rumah sederhana yang berdindingkan gedek atau bilik bambu. Masih sama seperti lima tahun lalu, berwarnakan cat putih yang telah kusam. Terakhir melangkahkan kaki meninggalkannya.
**
Suara sirene yang meraung-raung mengagetkan Ibumu yang sedang bersembunyi di dalam bilik rumah. Dia keluar dari balik pintu, menyambut kedatanganmu dengan menangis histeris. Setelah menanti tanpa kepastian, akhirnya kau pulang, kembali ke rumah. Sebuah mobil berwarna putih, yang bertuliskan “Kereta Anumerta” berhenti di depan rumah dikawal dua mobil dari Kepolisian. Beberapa petugas berseragam dan dibantu dua orang tetanggamu menurunkan sebuah peti jenazah. Ada sebuah kertas putih yang bertuliskan, Dul Kamid. Ya, menurut pihak kepolisian, namamu adalah Dul Kamid bin Moekti, alias Abu Sofyan, alias Abu Imran, alias Abu Musa dan masih banyak alias atau sebutan lainnya. Kau adalah tersangka peledakkan sebuah Hotel bintang lima yang menewaskan beberapa orang tak bersenjata: dua orang ekspatriat yang sedang duduk santai mengobrol sambil menyecap kopi, sepasang kekasih yang sedang menikmati sarapan pagi, seorang cleaning service yang sedang mengepel lantai, seorang pelayan wanita yang sedang membuat capuccino dan seorang satpam yang sedang mengantar seorang tamu hotel. Serta korban-korban lain yang tidak disebutkan. Sebab setelah peristiwa itu, masih banyak peristiwa lainnya yang memakan banyak korban. Dan menurut televisi, kamulah sang pembuat bom, begitu beritanya.
“Mereka adalah orang-orang yang telah kamu habisi, pantas untuk mati.”
**
Seharusnya kau bangun dari tidur, ketika suara tangisan ibumu memecahkan keheningan sore dan adik-adikmu terpaksa harus memapahnya. Seharusnya kau bangun dan segera bangkit dari tidurmu, ketika suara takbir yang dikumandangkan ke telinga sebelah kiri oleh seorang adikmu, sebagai kata-kata perpisahan terakhir. Seharusnya kau terjaga, kemudian bangun dari tidurmu, ketika beberapa orang menutupi tempat peristirahatan terakhirmu dengan timbunan tanah lalu Ibumu jatuh pingsan. Seharusnya, kau tidak berada di sini–jika saja sebelumnya kau lebih memilih untuk meringankan beban berat di pundak Ibumu, seperti katamu dahulu, surga ada di bawah telapak kaki Ibu.Tetapi mungkin kau sedang bermimpi dan lebih memilih bermimpi berada di negeri Syam, bersama teman-temanmu, dan pejuang-pejuang lainnya sedang mengangkat senjata, bertempur di medan perang. Mengibarkan panji-panji Tuhan ke seluruh penjuru bumi. Bukankah kau juga pernah bercerita, bahwa kau ingin bersama mereka: pejuang-pejuang pemberani yang tidak pernah memperlihatkan rasa takut atau ragu, membela keyakinan. Bahkan menumpahkan darah siapa saja demi memperjuangkan sebuah impian. Atas nama kebenaran. Atas nama Tuhan.
29 Maret 2018.
Karna Jaya Tarigan, seorang Penulis pemula yang terdampar di Facebook untuk berkarya.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata