Lelaki Bertelanjang Dada dan Pantai
Oleh : Rachmawati Ash
Lelaki itu meletakkan lukisannya di tepi pantai. Sebuah gubuk sederhana, menyediakan berbagai minuman hangat dan makanan instan. Di sana, lelaki itu merebahkan tubuhnya yang dipenuhi keringat. Mengibas- ngibaskan celananya yang dipenuhi pasir basah. Anak-anak laut sibuk menghitung uang receh, hasil menjual layang-layang kepada pengunjung. Lelaki itu berteriak, memanggil nama-nama dengan sembarangan. Tiga anak laut berlari, menghambur ke arah lelaki yang kini telah bertelanjang dada. Lelaki itu tampak membagikan makanan kepada ketiga anak laut itu. Wajah anak-anak menjadi semringah, berlari dan bernyanyi sepanjang pantai.
Mataku mengawasi setiap sudut pantai dengan sangat teliti. Entah, sudah berapa jam kuhabiskan di tempat yang gersang ini. Matahari menurun di ujung barat pantai, sinarnya jingga di antara burung-burung camar yang berkelok-kelok. Aku tetap duduk, mendengar pikiranku, membiarkan kebingungan dan dugaan yang berlarut-larut.
Aku adalah perempuan yang ditelantarkan. Semua terjadi sebelum jiwaku terbangun dari lena masa muda. Saat aku terbangun, ada benih cinta yang tumbuh dalam diriku, benih cinta dari hubungan terlarang. Aku hamil. Aku yang pernah melambung karena anugerah kasih sayang, pada kenyataannya pengorbananku tak sepadan dengan hilangnya kehormatanku. Kekasihku tidak mau mengakui bahwa bayi yang tumbuh dalam rahimku adalah benih cintanya.
Aku melihat langit semakin merah, matahari semakin sembunyi. Kuturunkan kaki dari batu karang. Saat ombak kembali ke tengah laut, menghapus jejak langkahku. Aku berpikir bahwa ombak juga mampu menghapus aibku. Aku berjalan terus ke tengah laut, menikmati ombak yang bergulung-gulung. Membiarkan angin besar-besar menerpa tubuhku, aku kehilangan kendali, kakiku goyah dan terpelanting terbawa ombak yang mengamuk.
Kututup telinga agar tak mendengar. Kukatupkan mata agar tak melihat. Aku pasrah, membiarkan tubuhku seperti melayang-layang. Aku membayangkan, bidadari dan malaikat akan datang menjemputku. Mereka membawaku hanyut ke dasar laut yang indah atau membawaku terbang bersama burung-burung camar.
***
Aku menangkap bayangan seseorang, wajahnya samar-samar menunduk dekat sekali dengan wajahku. Aku merasakan embusan napas yang hangat di pipiku. Aku membuka mata, seseorang itu kini sangat jelas di penglihatanku. Lelaki yang kulihat di pantai siang tadi. Lelaki yang berdiam sepanjang hari di depan kanvas lukisnya. Lelaki ini menatapku, tidak berkata apa-apa. Aku bangun dan menatap seluruh ruangan yang aneh, ada dua pintu dalam ruangan, pintu di depanku menghadap ke laut dan pintu belakang berbatasan langsung dengan pepohonan yang hijau dan rimbun. Beberapa kanvas tertutup dengan kain putih bersih. Kuas-kuas tertata rapi di tempatnya. Aku memastikan bahwa ruangan ini adalah tempat melukis atau bisa jadi sebuah galeri lukisan. Selain kanvas dan alat melukis, tak ada lagi benda lainnya–kecuali sofa kecil di mana tubuhku di tidurkan karena pingsan.
Lelaki ini mengambil segelas air, mengulurkannya padaku. Dia masih tidak berkata apa-apa. Tiba-tiba aku merasa takut, aku menangis layaknya manusia paling berdosa dan tidak berguna. Aku semakin menangis, memeluk kedua lututku di atas sofa sewarna kapas. Aku menatap wajahnya dengan kemarahan, mengeluarkan kekecewaan karena telah menolongku dari pelarian. Lelaki ini memelukku. Aku merasakan detak jantungnya begitu tenang, aku juga merasakan kedua tangannya hangat, mengelus-elus punggungku yang kedinginan. Lelaki ini membiarkanku terus menangis dalam pelukannya.
***
Beberapa hari kemudian aku bertemu dengan Alfares. lelaki ini masih bertelanjang dada, saat kakiku melangkah kecil-kecil di tepi pantai. Alfares tidak melihatku, aku juga tidak berusaha memanggil atau menghampirinya, aku pikir dia juga tidak akan peduli. Aku berdiri kaku, menatap burung-burung camar yang terbang lalu lalang di atas kepalaku. Seseorang menghampiriku, menatapku dengan wajah penuh kekecewaan.
“Aku sudah pernah bertemu denganmu, aku juga sudah mendengar pikiran-pikiranmu, jangan mengulang sesuatu yang bodoh untuk kedua kalinya, sini, duduklah bersamaku.” Alfares menuntun tanganku, menuju ke gubuk sederhana, duduk di samping anak-anak laut yang kulitnya hitam legam.
Aku tidak dapat menolak permintaannya, bagaimanapun dia telah menyelamatkanku dari kematian yang konyol. Pertama kali aku melihat matanya yang bercahaya, mendengar suaranya yang merdu, aku berkata dalam hati: Mungkinkah dia malaikat yang membawaku pergi ke surga?
Anak-anak laut pergi meninggalkan kami, menerbangkan layang-layang di tepi pantai. Ketika kami duduk berdua, Alfares menceritakan sebuah dongeng yang belum pernah kudengar sebelumnya. Dia bercerita bahwa pernah ada seorang pangeran yang memiliki istri cantik jelita, baik hati dan sangat setia kepada suaminya. Perempuan itu diculik oleh orang-orang jahat, diperkosa, dibunuh dan mayatnya dibuang ke dasar laut. Pangeran itu mencari mayat sang istri, tetapi tidak pernah menemukannya. Pangeran itu memutuskan untuk tinggal di tepi pantai dan menunggu istrinya kembali. Pangeran itu terus melukis apa saja yang dilihatnya di pantai, sambil menunggu istrinya kembali dalam pelukannya. Pangeran itu jarang menggunakan pakaiannya, dia memilih bertelanjang dada, karena kapan pun dia melihat istrinya muncul, dia akan siap menjemputnya dari tengah lautan yang berobak besar.
“Sudah berapa lama pangeran itu menunggu istrinya di pantai?” akhirnya aku terpancing untuk menanggapi dongengnya.
“Hampir sembilan tahun.” Alfares menatap jauh ke tengah laut. Lelaki ini memalingkan wajah dariku. Sepertinya dia sedang dihinggapi masa lalu, atau dia merasa malu saat menangkap bayangan wajahnya tepat di bola mataku.
“Kenapa kamu tidak menyusulnya ke dasar laut?”
“Apa maksudmu?” Alfares menatapku dengan matanya yang tajam.
“Pangeran itu adalah kamu.” Aku menjawab pertanyaannya yang basa-basi.
Alfares berdiri, menghela napas dan mengambil sebuah kemeja yang terlipat di sebuah tas berisi alat-alat melukis. Dia memakai kemeja itu setelah merapikan bagian-bagian yang kusut karena terlalu lama disimpan. Aku tersenyum melihatnya gugup.
“Hei, kamu tersenyum, apa kamu sudah lupa tentang masalahmu kemarin?” Alfares menatapku dengan sungguh-sungguh, mengenakan kemeja dan merapikannya.
Alfares mengajakku berjalan menyusuri pantai, mengajakku menghitung setiap sisa jejak kaki yang kami tinggalkan. Aku menurutinya, meski dengan perasaan yang masih tercabik dan penuh luka. Aku mengingat tempat ini. Pantai di mana aku memadu nafsu dan bercumbu dengan kekasihku. Aku belum lupa, saat dia memintaku melepas kancing baju, meraba dan mencium dadaku. Lalu dia pergi, tak mau lagi menemuiku. Dia mencampakkanku seperti barang yang sudah tidak ada manfaatnya.
Alfares membawaku ke sebuah bangunan kecil, tempat yang memiliki dua pintu depan dan belakang. Ya, tempat di mana dia telah merawatku saat aku mencoba bunuh diri beberapa waktu lalu. Alfares membuka pintu, mempersilakan aku masuk dan duduk di sofa seputih kapas. Alfares membuka pintu belakang ruangan, membiarkan mataku memandang lepas ke bukit-bukit yang hijau.
Alfares membuka kain-kain putih yang menutupi setiap kanvas lukisnya. Aku terkejut, sampai merasakan seperti kehilangan napas, dan tubuhku gemetar. Lukisan-lukisan itu menggambarkan wajahku. Ada diriku yang sedang duduk di atas batu karang, aku yang sedang berlari di tepi pantai, dan aku yang sedang mengandung seorang bayi. Lukisan lelaki yang duduk menimang bayi di sebelahku. Seketika, aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Aku sedang bermimpi, atau mungkin ini adalah kehidupan setelah kemarin aku mati. Alfares adalah malaikat yang membawaku pada kehidupan setelah kematian. Aku merasa takut, aku berdiri dan hendak berlari, tetapi tangan Alfares menahanku.
“Jangan takut, kamu belum mati, Maretha” Alfares seolah tahu apa yang kupikirkan. Aku menatap wajahnya dengan tatapan menantang, aku berpikir jika dia bukan malaikat, berarti dia telah menguntitku selama ini. Mengikutiku setiap hari dan melukisnya tanpa sepengetahuanku.
“Maretha, jangan salah paham, dia adalah istri yang selama ini ditunggu oleh pangerannya di tepi pantai.” Alfares mengangguk pelan, berusaha menyakinkanku.
Aku kembali duduk di sofa seputih kapas, mengamati satu per satu lukisan di depanku. Melihat Alfares berjalan menutup semua jendela dan juga kedua pintu. Aku duduk seperti orang dungu, menunggu apa lagi hal bodoh yang akan terjadi kepadaku. Setelah aku hamil dan dicampakkan, sekarang aku bertemu dengan laki-laki yang selalu bertelanjang dada, bercerita tentang dongeng pangeran yang menunggu istrinya.
Alfares duduk berjongkok, memegang kedua tanganku. Aku melihat masa lalu dalam matanya, merasakan ketakutan yang menjadi hantu dalam hatinya. Aku menarik tangannya, menyuruhnya duduk di sampingku. Kemarahanku mulai menurun, aku memandangnya dengan tersenyum. Alfares membalas senyumku, ada gurat bahagia di kedua sisi bibirnya. Ini adalah senyum pertama yang kulihat dari seseorang yang telah menolongku.
Alfares diam sejenak, lalu melanjutkan dongengnya. Alfares mulai menyebut sebuah nama, bukan sebutan pangeran lagi yang digunakannya. Alfares bercerita bahwa dirinya dulu adalah seorang polisi, ditugaskan untuk menangkap pengedar narkoba. Suatu hari istrinya diculik dan diperkosa, lalu mayatnya di buang ke dasar laut. Alfares tidak bisa memaafkan dirinya sendiri, karena telah gagal menjaga dan menyelamatkan istrinya yang sedang hamil empat bulan. Istrinya disiksa karena Alfares melawan gembong narkoba kelas kakap. Meski istrinya telah ditemukan tewas dan dimakamkan, Alfares tetap tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Alfares keluar dari pekerjaannya, memilih tinggal di tepi pantai dan melukis wajah istrinya.
Alfares menatapku seperti hendak menembus dadaku, seolah mengetahui isi hatiku setelah mendengar ceritanya. Dia melanjutkan bercerita, suaranya bercampur di antara kenangan-kenangan pahit dan harapan. Aku melihatnya rapuh, mungkin lebih rapuh daripada diriku sendiri. Aku melihatnya menangis, aku melihat air mata ketulusan turun dari matanya, membasahi pipinya yang merah kehitaman. Aku mulai mengerti isi dongengnya, aku adalah pemilik wajah istrinya. Alfares menolongku bukan tanpa alasan, dia telah mengikuti selama ini. Dia melihatku bercumbu dan melepas nafsu bersama kekasihku. Dia mengetahui semua rahasiaku, tetapi dia tetap menolongku.
“Izinkan aku menjadi ayah dari bayimu.”
Aku tertegun, kalimatnya kembali membuatku terkejut. Aku menangis, membiarkan seluruh kemarahan dan kekecewaan terluap dalam ruangan yang serba putih. Aku menatap lukisan-lukisan pada kanvas, melihat bayangan-bayanganku sendiri yang tersenyum bahagia di wajah-wajah itu. Aku memeluk Alfares yang tertunduk di lantai. Aku merasakan kepahitan yang begitu dalam di dadanya. Aku melihat ketulusan dalam matanya. aku mencium pipinya. “Aku menerimamu.”
Rachmawati Ash. Siswi kelas menulis Loker Kata yang rajin, terampil, dan gembira.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata