Laki-laki Kertas
Oleh : Reza Agustin
Dengan sebatang pensil, kubuat sebuah lingkaran samar pada kertas. Di tengah-tengah lingkaran yang bentuknya tak sempurna itu, kubuat tanda tambah yang yang membagi lingkaran menjadi empat bagian. Lalu, kupanjangkan garis vertikal itu ke bawah. Tak terlalu jauh, dengan ilmu kira-kira, kubuat sepanjang bentuk lingkaran itu. Lantas dari ujung garis perpanjangan itu, kutarik lagi garis menuju lingkaran. Namun, aku mengambil penghapus. Menggosok garis perpanjangan itu lagi. Kugosok kencang, hingga penghapus tersebut patah dan kertas robek.
Lalu menangis.
Berlembar-lembar kertas telah terbuang dalam sehari. Otakku masih menelusuri sisa-sisa wajah yang pernah kulukis apik dalam selembar kertas usang sisa bungkus serabi. Aku ingat pernah melukis sepasang mata sayu itu menggunakan pensil HB keponakanku yang buram. Dengan hasil goresan yang samar-samar, masih ada sepasang alis yang tebal. Kubuat membingkai matanya yang sayu, berharap dengan begitu matanya tak terlalu memancarkan pilu.
Hidungnya sendiri kubuat proporsional. Tak terlalu mancung bak orang kaukasia, juga tak terlalu jambu seperti orang Indonesia. Tak ada referensi menggambar, tanganku bergerak sendiri di bawah kendali otak. Mungkin sepotong wajah itu tak ada pemiliknya di dunia nyata. Seperti gambar-gambarku yang lalu. Pelengkap sebuah cerita bersambung yang diunggah di sebuah situs menulis populer.
Entah. Bagiku, ia sangat tampan dengan mata sayu, dahi agak lebar, hidung yang pas, lantas aku menggoreskan sebuah bibir yang tak terlalu penuh dan tak juga tipis. Aku tak menambahkan kumis atau jenggot. Secara pribadi, aku lebih menyukai wajah yang bersih, lebih rapi. Rahangnya tegas, seperti pahatan patung dewa Yunani. Mungkin sedikit-sedikit terbawa gaya lukisan realistis yang sering tertuang dalam kotak-kotak media sosial tempatku mempromosikan semua tulisan kecilku.
Ah, kembali pada kertas yang hilang tempo hari, aku tak begitu ingat bagaimana bisa kehilangan kertas lusuh itu. Sehabis menunggui keponakanku yang sedang sakit, aku tak menyimpan lagi ingatan ke mana kertas kumal itu hilang. Hanya saja, aku merasa kecewa. Aku belum sempat memberikannya tubuh. Wajah yang tampan tanpa tubuh yang bagus buat apa? Sejak hari hilangnya kertas itu, aku mulai menggambari semua media yang bisa dijadikan kanvas.
Kalender tahun ini, kertas minyak pembungkus makanan, beberapa lembar struk mungil dari plastik belanja Ibu, dan nyaris semua. Bapak mengamuk padaku tatkala ujung pensil yang tajam menusuk-nusuk kaus singletnya. Warnanya putih cerah dan mengundang tangan bergerak melukiskan lingkaran lagi. Bapak berpindah tempat dengan membawa selembar korannya menghindar dan mungkin akan mejauhiku untuk beberapa hari ke depan.
Belum habis masalah perkara tentang kertas yang raib itu, Ibu semakin memperlebarnya. “Kamu bukannya belajar yang bener. Malah coret-coret kertas gak penting. Emangnya nanti kamu bisa kerja kalau gak bisa kuliah di tempat bagus?!”
Selama beberapa tahun ke belakang, Ibu selalu terobsesi dengan mengantar anak perempuan semata wayangnya ke universitas negeri bergengsi di Kota Gudeg. Pengaruh teman-teman grup WhatsApp miliknya adalah kambing hitam atas tekanan-tekanan yang diberikan Ibu padaku. Tanpa ia ketahui, salah satu dari anak yang dipamerkan dalam grup tersebut adalah kakak kelasku yang kini sedang mengisi masa liburan dengan kembali ke kota asal.
Ia tertawa keras saat ketika kubilang bahwa seluruh isi grup menyanjungnya bak pahlawan dunia. Sekali lagi, pujian-pujian itu dipanen bukan karena kepintaran si anak semata. Melainkan karena orangtuanya yang meminjam utang di sana-sini untuk masuk jalur mandiri yang mengeringkan kantong. Tak ada yang dapat dibanggakan sebenarnya, hanya beribu cara dan upaya dikeluarkan demi puji-pujian yang sebenarnya merusak tubuh sedikit demi sedikit. Bukan sekali-dua kali kutemukan kasus seperti ini, dampaknya selalu lebih merusak pada anak.
“Ada baiknya kamu kejar apa yang jadi keinginanmu. Kalau kamu mengusahakan hal yang sama sekali gak kamu sukai, bukannya sama aja dengan melukai diri. Lagian kamu juga lebih hebat dariku. Kamu bisa menulis, menggambar juga. Nilai-nilai sekolahmu juga bagus. Iri banget,” ujarnya sekaligus menertawakan diri.
Dari sekian banyak manusia di dunia, hanya dia teman yang benar-benar menghargai hobi yang telah kutekuni secara diam-diam. Sementara teman yang lain, tak pernah kutemui selain pada lembaran kertas dan layar komputer. Mereka adalah karakter yang tercipta atas rasa kesepian dan tak berdaya. Selalu tokoh perempuan kuat, berpegang teguh pada cita-cita dan impian mereka. Mungkin sebagai refleksi diri yang perlahan tergerus oleh tuntutan harapan Ibu yang terlalu tinggi.
“Cerita yang kamu buat makin seru, gambarmu juga makin bagus, deh. Ceweknya makin cantik. Aku suka. Tapi, kenapa gak ada tokoh cowoknya?” Ia bertanya sembari membolak-balik halaman sketsa yang kukerjakan dalam diam selama satu tahun ini. Pernah aku berencana menerbitkan tulisan beserta sketsa-sketsa itu ke dalam buku cetak. Namun lagi-lagi terhalang restu Ibu.
Pertanyaan kakak kelas itu tak pernah mendapat jawaban dariku. Menciptakan tokoh laki-laki memang beberapa kali terlintas dalam benak. Apalah sebuah petualangan tanpa tokoh utama laki-laki yang keren? Kehadirannya akan menambah rasa pada cerita. Dan, mungkin akan menciptakan konflik asmara antarpara karakter perempuan yang telah kubuat. Namun ada satu ketakutan yang menghantui jika kuteruskan menggambar. Mungkin aku akan jatuh cinta padanya. Seperti bagaimana banyak karakter laki-laki dua dimensi lain yang pernah menghiasi masa putih-biruku dulu.
Alih-alih jatuh cinta dengan manusia, aku justru menamatkan hati pertama kali demi tokoh animasi bergerak. “Gak aneh, kok. Ada banyak temenku cowok yang begitu, nyebut-nyebut tokoh animasi sebagai pacar atau istri.”
Ia pun juga tak mencerca. Kalau kubawa tema ini rumah, mungkin aku akan dikurung dan dipaksa belajar. Laptopku pasti akan disita, lalu ke depannya aku dilarang menulis dan menggambar lagi. Kalau saat itu harus terjadi, setidaknya izinkan aku menggambar wajah dan tubuh tokoh yang belum sempat tergambar itu hingga selesai. Bayangan akan dirinya yang menangis karena tak diberikan tubuh selalu membayangi mimpi. Sering kali ia akan datang ke mimpi dan meminta pelukan hangat.
Ia tak dapat merasakan hangat, wajar saja. Tubuhnya hanya berupa lembaran kertas yang digunting seadanya mengikuti bentuk tubuh. Ditambah lagi tubuhnya dipenuhi dengan tulisan acak hasil tulisanku kala bosan. Dengan wajahnya yang dibentuk sebagai kepala, lantas anggota tubuhnya lain yang belum sempat tergambar juga dipotong menyerupai tubuh kue manusia jahe. Asalkan berbentuk seperti manusia dan memiliki sepasang kaki dan tangan. Kendati tak memiliki jari, lutut, apalagi perut kotak-kotak. Mungkin itulah yang membuatnya paling nelangsa.
Kuusap kepalanya lembut, tak ingin membuat tubuhnya kusut. Sepasang mata sayu itu selalu menerbitkan geletar aneh di hati. Kini setelah waktu dibiarkan berlalu, aku mulai menerima bahwa geletar itu adalah cinta yang untuk kesekian kalinya jatuh pada tokoh fiksi berbentuk dua dimensi pada selembar kertas. Dalam awan-awan mimpi itu, rupanya sangat jelas. Namun ketika aku terbangun, wajah yang telah kusimpan rapi dalam otak akhirnya hilang bersamaan dengan tuntutan Ibu untuk lebih meningkatkan nilai.
Terkadang, ketika kelas tak berjalan dengan biasanya, aku memilih berdiam diri di atas ranjang UKS. Lalu mengeluarkan catatan kecil polos. Di sanalah biasanya kusempatkan mengingat-ingat wajah sendu itu dan beberapa tulisan acak lain. Namun, sekeras apa pun mencoba, wajah yang terlukis dalam buku itu tak pernah sama. Bagaimana pula harus kugambar badannya jika wajah saja aku tak ingat? Hal yang serupa juga sering kulakukan di rumah, ketika Bapak dan Ibu keluar untuk acara tertentu, aku pun menenggelamkan diri pada tumpukan kertas.
Kuselami jauh-jauh ingatan tentang wajah yang memiliki mata sendu dan alis yang dilukis tebal. Semakin dalam, hanya menghasilkan coretan lingkaran berbentuk. Tak ada mata, tak ada hidung, apalagi mulut dan tubuh. Matahari telah tenggelam kala lampu kamar dihidupkan Ibu dengan muka masam. Ekspresinya makin kentara saat mendapati lantai kamar dipenuhi kertas yang tercoret abstrak.
“Kamu gak belajar, malah gambar aneh-aneh! Mau Ibu apakan kamu?!” Rentetan kalimat itu yang selanjutnya tersisa samar-samar. Mataku menutup perlahan karena kantuk dan mungkin juga dehidrasi karena selama dua hari tak ada satu pun cairan yang masuk ke tubuh. Begitu tersadar, yang pertama kali kulihat adalah wajah sembap Ibu dan tatapan datar Bapak. Mataku terpejam lagi, lalu kulihat selembar kertas dengan wajah yang hilang tersebut. Mataku membola dan tubuh tak berdaya ini kupaksa bangkit.
“Aku dengar kamu pingsan karena dehidrasi, jadi aku mampir ke sini mau balikin ini juga.” Ia menyodorkan kertas yang kini beraroma serabi samar dan minyak wangi maskulinnya. Bagiku ia akan selalu menjadi kakak kelas yang baik.
“Kenapa bisa ada di Kakak?” tanyaku lemas.
Ia menggosok kepala bagian belakangnya, kikuk. “Sebenarnya aku susulin kamu hari itu ke sini, terus aku lihat kertas pembungkus serabi itu pas kamu tidur. Karena lucu, jadinya kubawa pulang terus aku tunjukin sama Natasha. Dia bilang karakter ini bagus, kalau misalnya dia ngajak kamu kolaborasi, gimana?”
Nama Natasha sangatlah familier. Teringat pada setiap karyanya yang dipajang di media sosial selalu kutinggalkan tanda hati atau jempol. Ia adalah komikus muda yang karyanya telah masuk aplikasi komik terbesar di Indonesia. Dadaku bergemuruh saat nama Natasha dibawa dalam urusan ini.
“Tapi aku belum menyelesaikannya. Aku juga belum kasih nama.”
“Itu gampang, dia gak buru-buru kamu, kok. Kalau kamu udah keluar rumah sakit, nanti bakal kuajak kamu ketemu dia.”
Malam itu, ketika Bapak dan Ibu telah lelap dalam tidur mereka, aku beranjak dari ranjang. Selembar kertas yang masih menyisakan aroma minyak wangi itu tak kunjung tersentuh kendati telah kupandangi selama setengah jam. Pensil dalam genggaman pun pada akhirnya tergeletak di atas meja. Tak tersentuh lagi sampai pagi datang. Nama Natasha memenuhi kepala, terlebih lagi tawarannya yang kemungkinan tak akan datang lagi. Aku pun ingin sekali menjadi bagian dari karya hebatnya. Namun, sepertinya aku tak akan melakukannya.
Ketika matahari pagi hendak menanjak ke langit, kantuk yang diakibatkan efek obat itu mengantarkanku lagi pada sosok tak bernama itu. Ia masih dengan wujud yang sama. Matanya yang selalu memancarkan kesedihan, menatapku lekat-lekat. Ia tak kunjung mengawali pembicaraan hingga pada akhirnya aku berdeham lebih dulu.
“Ada yang mau kamu katakan ke aku?”
Ia menggeleng. “Aku yang harusnya tanya. Kenapa kamu mau mengucapkan selamat tinggal padaku?”
Lidahku mengecap asam, ia rupanya tahu niatku berhenti menggambar. “Ya, kamu harusnya tahu sendiri, ‘kan?”
“Lalu, apa kamu mau menyerahkan aku pada orang lain?”
Tak ada jawaban, bahkan sekadar gestur menggeleng ataupun mengangguk. Aku terdiam dengan menyimpan kegelisahan itu dalam mulut. “Tunggu saja waktu yang tepat.”
Orang bilang, mimpi tak pernah menyelesaikan hal penting yang kemungkinan tersembunyi di dalamnya. Namun, nyatanya aku mengalami hal sebaliknya, pembicaraan dengan selembar lelaki tanpa tubuh itu telah menemukan kata final. Tak ada lagi yang perlu dibicarakan antara kami. Aku terbangun dengan kepala ringan, tak lagi digantungi oleh beban yang kian mengimpit. Ketika dokter memanggil Bapak dan Ibu untuk sebuah pembicaraan panjang, aku pun telah menyusun kata-kata indah untuk dikatakan lagi pada Natasha.
“Jadi, kamu menolak tawaran untuk kolaborasi sama aku?” Natasha menatapku seakan memberikan kesempatan untuk berpikir ulang. Namun gelengan kepala itu juga menegaskan keputusan yang telah kubuat bulat-bulat. Ia menggenggam kertas serabi yang kuangsurkan penuh penyesalan.
“Ibu sama Bapak larang aku menulis sama menggambar lagi. Mereka mau aku fokus aja buat sekolah dan masuk kuliah.” Ada gelengan pelan yang menyertai keputusanku.
Natasha pun menatapku iba. Ia lantas menggamit lengan kakak kelasku, pandangan mereka saling bertukar. “Ya, kalau orangtua udah melarang, mau gimana lagi. Iya, kan, Sayang?”
“Aku juga udah dengar cerita yang sama dari kamu berkali-kali. Aku paham, kok. Kamu harus tabah sekarang.” Ia menatapku sama ibanya. Lantas tangan Natasha yang melingkar di lengannya, dielus perlahan.
“Kamu harus jalan lagi di jalan yang baru. Semangat, apa pun jalan yang udah kamu pilih, semoga itu jadi yang terbaik. Tapi sebelum itu, boleh kutanya nama karakter ini?” tanya Natasha di akhir kalimatnya.
Leo. Nama itu tak terucapkan, terjebak di ujung lidah. “Aku belum kasih dia nama, Kak.”
“Oke, sekarang karena dia jadi milikku, aku kasih dia nama Leo. Biar sama kayak kamu, ya, Sayang.”
Karakter dengan mata sayu dan alis tebal itu, adalah sang kakak kelas dengan sedikit perubahan lain. Coretan dalam kertas buram itu adalah sebuah pengganti atas rasa cintaku yang tak pernah sampai padanya. Dan, mungkin memang harus begini. Mengusir dirinya jauh-jauh dariku, bersamaan dengan gambar itu. Kendati Ibu dan Bapak sendiri mulai terbuka hatinya mengizinkan aku menggambar lagi. Namun biarlah. Pada dasarnya cinta yang kumiliki padanya hanyalah sebatas kertas.
Reza Agustin, lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Instagram: @Reza_minnie, dan Wattpad: @reza_summ08.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata