Kau Hanya Tak Mau

Kau Hanya Tak Mau

Kau Hanya Tak Mau
Oleh : Ray Eurus

Sekuat tenaga kutahan diri agar tak sampai melontarkan bogem mentah ke wajah laki-laki berengsek di hadapanku ini, setelah dia mengatakan bahwa kau sudah tahu dan kau tak keberatan. Justru kau sendiri yang sudah pernah mempersilakan dia untuk bermain hati.

Ah, alasan saja si berengsek ini. Demikian pikirku, karena tak percaya kalau kau seperti itu.

“Memangnya, apa pedulimu?” selidiknya dengan wajah dihiasi seringai mengejek, tentu saja ditujukan untukku.

“Monik sahabatku, dan aku gak terima kamu perlakukan dia seperti itu.” Setengah berdesis aku menyatakannya.

“Halah, bullshit dengan persahabatan dua orang insan yang berbeda jenis kelamin. Kamu mencintai is-tri-ku, kan?” Orang yang baru saja kuajak bertemu ini menembak tepat ke dalam hatiku. Dia bahkan sengaja memberikan penekanan pada kata istriku. Aku geragapan. Dia lantas terbahak.

Aku menghela napas dan memejamkan mata sambil sesekali memijat pangkal hidung, berusaha meredam amarah sekaligus malu karena merasa seperti ditelanjangi oleh laki-laki dengan penampilan sangat berpendidikan ini. Tunggu … apa karena sikapku yang terlalu kentara menyukaimu, sehingga dia membalas dendam dengan bermain gila seperti itu?

Aku menegakkan kepala. “Kamu sengaja membalasnya karena sudah mengetahui perasaanku terhadapnya. Begitukah?” tuntutku seraya memajukan tubuh dan menautkan jari tanganku di depan wajah dengan siku yang bertumpu di atas meja kafe, tempat yang sengaja kupesan untuk membahas masalah ini dengan laki-laki tersebut.

“Buat apa?” Dia justru bertanya balik.

Aku semakin geram dengan sikapnya yang seolah-olah acuh tak acuh pada hal yang kubahas ini. Emosiku mendesak sampai ke ubun-ubun. Seketika aku menarik kerah bajunya dari seberang meja, setengah berdiri dari posisiku semula. Dia tersentak.

“Aku tak suka kamu menyakitinya. Jika kamu sudah tak mencintainya, lepaskan! Dia berhak bahagia, berhak dicintai juga.” Suara gigiku yang saling beradu sesekali terdengar.

“Jangan ikut campur urusan rumah tangga orang lain!” Dia meninggikan suara, lalu memaksa melepaskan cengkeraman kedua telapak tanganku pada kerah kemejanya.

“Jika kamu benar mencintainya, maka yakinkan dia untuk bersamamu. Toh, aku tak pernah memintanya bertahan. Aku sudah memberi restu.” Santai dia meraih american cappuccino yang sudah tandas sebagian dari atas meja, lalu menghabiskannya dalam sekali tegukan. Dia berlalu begitu saja meninggalkanku yang terpaku di tempat dudukku setelah meletakkan selembar uang berwarna merah di bawah cangkir kopi pesanannya yang sudah tandas. Bajingan itu lagi-lagi menginjak harga diriku.

“Aargh!” Aku meremas kuat rambutku sendiri, merasa frustrasi pada kenyataan yang baru saja kutahu ini. Aku sudah tak peduli dengan tatapan pengunjung lain yang merasa kurang nyaman atas sikapku.

Ah, bodohnya aku! Kenapa aku harus jatuh cinta dengan wanita yang sudah menikah?

***

“Aku sanggup, Den ….”

“Tapi apa? Pasti ada tapinya, kan?” kejarku padamu begitu berpapasan di lorong, menuju toilet. Aku pun dengan sengaja ke toilet pada jam biasanya kau ke sana, bersiap-siap sebelum melaksanakan salat Duha. Aku sudah tak sabar hendak menceritakan pertemuanku dengan suamimu, sekaligus menyelidiki kebenaran atas pernyataan laki-laki yang berprofesi sebagai dosen itu.

“Aku hanya tak mau,” ucapmu setengah berbisik. Bukan karena sedih atau malu padaku, tapi lebih seperti takut jika ada yang menguping.

“Oke, baik. Siang nanti kita bahas ini. Aku tunggu di parkiran. Kita ke tempat biasa,” cetusku tanpa meminta persetujuan darimu.

***

Panjang lebar aku muntahkan semua yang kuketahui dan kurasakan kepadamu. Akan tetapi, kau hanya bungkam. Air wajahmu datar, seperti biasa saja.

“Jadi, memang benar kata-kata bajingan itu, kalau kamu sudah tahu dan kamu rela?” desakku.

Kau hanya tersenyum tipis, sambil terus memainkan sedotan dari dalam gelas lemon tea yang sebagian esnya telah mencair, padahal belum sedikit pun kau cicipi. Tatapan matamu lurus menatap ke satu arah, tampak sekali menghindar jika berserobok pandang denganku yang berada persis di hadapanmu.

“Nik, bicaralah!” Aku meraih sebelah tanganmu yang terulur di atas meja makan. Aku tak bisa menahan diri untuk tak menggenggam telapak tanganmu. Bahkan, jika bukan di tempat umum, dapat kupastikan aku akan meraihmu masuk ke dalam dekapanku. Aku sungguh tidak terima dengan kenyataan hidup yang kau jalani ini.

Selama ini, aku berpikir bahwa kau bahagia. Kau yang merupakan istri dari seorang dosen terpandang, wanita karier yang cerdas sekaligus seorang ibu dari balita laki-laki yang sangat menggemaskan dan juga cemerlang. Akan tetapi, nyatanya ….

Setelah terdiam cukup lama, akhirnya kau mau meluahkan beban yang selama ini kau simpan sendiri.

“Aku yang salah, Den,” akumu. “Saat aku baru melahirkan, aku memintanya untuk memberikan izin padaku agar aku bisa bekerja lagi,” lanjutmu.

Aku diam menyimak, sambil terus menggenggam telapak tangan putihmu. Tidak sedikit pun aku berniat untuk melepaskannya. Aku ingin menyalurkan kepercayaan diri padamu, agar terus bercerita. Aku mendukungmu. Aku … mencintaimu.

“Aku bilang pada Mas Ardi, kalau suatu saat dia bertemu seseorang yang menarik hatinya, setidaknya aku bisa tetap berdiri kuat di atas kakiku sendiri. Aku tak mau bergantung sepenuhnya dengannya. Kau mengerti, kan, maksudku?” Akhirnya kau mengalihkan tatapan kepadaku.

Aku diam saja tak memberikan reaksi apa pun, sebab aku agak jengkel dengan pengakuanmu. Kali ini aku menarik tanganku, lalu melipatnya ke depan dada sambil duduk bersandar pada punggung kursi. Tak sedikit pun aku palingkan wajah dari memandangi dirimu.

“Begini ….” Kau menggeser gelas lemon tea lalu melipat kedua tangan di atas meja. “Aku berpikir, jika seseorang menghabiskan waktunya di tempat kerja hampir sepanjang hari, lalu lanjut sampai malam, maka interaksi dengan keluarga akan semakin berkurang. Orang-orang di tempat kerjamu, menjadi hidupmu. Dari itu semua, akan muncul rasa terbiasa dengan semua orang di sana. Bahkan sampai bermain hati secara sadar ataupun gak sadar. Kasus perselingkuhan kerap terjadi pada sesama rekan kerja, kan?” tuturmu seakan-akan menyindirku.

“Aku hanya berusaha bersikap realistis, Den.” Kau diam sejenak, dan aku masih menyimakmu dengan saksama.

“Hati manusia siapa yang tahu, kan? Mudah berubah-ubah. Apalagi bertemu dengan seseorang yang tampak lebih muda, lebih cemerlang, dan mengasyikkan jika diajak bicara. Belum lagi, selalu berada di sekitarmu. Benar-benar menjadi penawar lelah, saat penat dengan pekerjaan yang menumpuk,” cerocosmu dengan ciri khas tangan yang mulai bergerak-gerak seperti tengah berdeklamasi.

“Kamu gak realistis,” ucapku datar.

Kau mengernyit. “Maksudmu?”

“Sikapmu itu justru gak realistis!” Aku gemas denganmu. “Kamu tahu gak, secara gak sadar, perselingkuhan yang dilakukan suamimu itu, kamu sendiri yang merancangnya.”

“Aku gak ngerti,” ujarmu lirih.

“Ah, sudahlah!” Aku mengibaskan tangan ke depan wajah, seraya membuang muka.

“Kan, tadi sudah kubilang ini semua memang kesalahanku.” Suaramu bergetar.

Ck! Aku paling tak suka berada pada situasi seperti ini. Aku bingung harus melakukan apa jika menghadapi perempuan yang mulai menangis. Apalagi orang itu adalah kau. Hatiku ikut hancur.

“Maafkan aku,” ucapku tulus dengan suara sehalus mungkin.

Aku mengulurkan tangan, menyentuh puncak kepalamu, lalu mengelus perlahan ujung kepala yang berbalut tudung krem itu.

“Kalau begitu, kamu juga harus bersikap realistis, Nik.” Aku mencoba memecah kebekuan di antara kita, di sela-sela isak tertahan darimu.

Kau mengangkat kepala, menampilkan wajah jelita yang sedikit mendung dengan hidung yang kemerahan. “Apa?” kejarmu dengan suara parau.

“Biarkan dia. Mulailah hidup barumu. Dengan begitu, kalian tak harus saling menyakiti, kan?”

“Oh, gak, Den. Aku gak bakal lakukan itu.” Mantap kau memberikan jawaban.

“Untuk apa bertahan, Nik? Toh, kalian tetap bisa saling menjalin hubungan baik setelahnya. Hanya saja, kau terbebas dari ikatan penuh kedustaan ini,” anjurku sedikit memaksa.

“Tidak, Den. Aku masih sanggup hidup dengan keadaan seperti ini.”

“Kenapa, Nik?”

“Aku hanya tak mau.”[*]

 

Kota Minyak, 24 Maret 2021.

Ray Eurus, seorang pluviopile sekaligus penikmat petrikor ini sebenarnya juga menyukai memandangi langit malam, tetapi sedikit khawatir jika berada dalam kegelapan, kecuali saat akan tidur. Penulis dapat disapa pada akun: Facebook Ray Eurus, Instagram rayeurus, dan Pos-El. Rayeurus87@gmail.com

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply