Janji Kita
Oleh: Cahaya Fadillah
Cerpen Terbaik/Juara pada #Tantangan_Lokit_6
“Janji kau menikahiku?” tanya Rinai pada Awan.
“Aku tidak bisa berjanji seperti itu, menikah itu hanya untuk orang yang saling mencintai.” Awan menjelaskan dengan tersenyum.
Rinai terlihat tidak suka. Ia membulatkan mata dan mengembungkan kedua pipinya tanda protes pada jawaban Awan.
“Kalau begitu, cintai aku saja.” Rinai protes dengan berteriak lebih keras.
Awan tertawa lalu mengusap kepala Rinai dengan lembut.
“Kau janji?” tanya Rinai mendongak menatap wajah Awan yang jauh lebih tinggi.
“Haruskah aku berjanji?”
“Harus!” Rinai tidak mau kalah atas permintaannya.
“Baiklah, jika itu maumu adik kecilku.” Kali ini Awan berusaha untuk bungkam. Menahan tawa yang sebenarnya ingin meledak.
***
Sepuluh tahun telah berlalu, perjanjian itu terlihat hanya sebatas perjanjian anak usia lima belas tahun. Tapi bagi Awan perjanjian yang pernah ia setujui itu adalah sebuah hal yang harus dilaksanakan.
Awan kembali berdiri di sini, di bawah pohon cemara di atas bukit yang tidak jauh dari rumahnya. Embusan angin terasa membelai mata, membuat Awan harus melawan kantuknya.
Ia duduk di bawah pohon sambil menatap rumah yang tidak jauh dari rumahnya sendiri. Rumah Rinai tampak lapuk dimakan usia, tidak ada yang tahu ke mana penghuninya pergi sejak kejadian delapan tahun lalu. Saat kebakaran terjadi menghabiskan seluruh rumah penduduk. Lalu, penduduk mulai membangun rumahnya dari sisa puing yang ada.
Sejak saat itu Rinai dan keluarganya tidak pernah ditemukan. Padahal tidak ada korban dalam kebakaran.
“Kau di mana Rinai? Aku merindukanmu.” Awan menatap rumah Rinai tanpa berkedip.
Ada rasa perih yang terlintas di hatinya saat mengingat janji yang pernah ia ucapkan. Tidak menyangka janji yang tadinya hanya permainan, kini menjadi sebuah pegangan untuk Awan. Di usia dua puluh lima tahun Awan tidak pernah menyukai seorang wanita, dalam hatinya masih ingin menunaikan janji yang mungkin Rinai pun sudah lupa.
Angin kembali berembus kencang untuk kedua kali. Kali ini berhasil membuat Awan meneteskan air mata kerinduan yang telah bertahun ia tahan.
“Ke mana saja? Tidak rindu aku?” Suara kecil Rinai terdengar mendayu di telinga Awan.
“Kau yang pergi dan menghilang, bagaimana bisa kau menuduhku tidak rindu.” Awan berkata dengan sedikit berteriak melepaskan kegundahan.
“Maafkan aku, Wan.” Wajah Rinai terlihat sedih.
Awan terbangun, keringat dingin mengucur di tengkuk dan dahinya. Berkali-kali mimpi itu datang. Berkali-kali pula Awan berusaha melupakan tapi tidak bisa, semakin ia mencoba melupakan semakin ia merindukan Rinai.
Awan bangkit dari tidurnya, melangkah cepat menuju rumah. Sudah saatnya ia kembali ke kota, pekerjaannya sebagai seorang dokter spesialis sudah menanti. Kalau tidak buru-buru Awan akan ketinggalan kereta.
Sebelum jauh Awan kembali menatap pohon yang semakin menua di hadapannya. Pohon yang menjadi saksi atas janjinya pada Rinai.
Mungkin sudah saatnya melupakan Rinai.
***
Hari yang sibuk, membuat Awan tidak bisa istirahat. Beberapa operasi hari ini sudah disetujui. Mau tidak mau Awan harus melakukan yang terbaik untuk pasien yang ditanganinya. Walaupun tubuh dan pikiran Awan butuh istirahat, tapi menyelamatkan nyawa lebih dari segalanya.
“Operasi selanjutnya, Dok,” ucap suster Ella tegas mengingatkan Awan yang sibuk dengan resepnya.
“Baik, tunggu sebentar. Saya bereskan ini dulu.” Sambil menunjuk kertas resep yang sedang ditulis oleh Awan.
Resep selesai, Awan melangkah lebar menuju ruang operasi. Tampak seorang gadis berwajah tirus menahan sakit yang luar biasa. Rambut panjang hitamnya meliuk-liuk seirama dengan gerakan tubuh yang menahan rasa sakit. Poninya yang panjang menutupi sebagian wajahnya. Namun, tampak sisa air mata di sana
“Ini pasiennya, Dok,” ujar Suster Ella.
“Tunggu apalagi, segera bawa ke ruang operasi, siapkan segalanya dengan cepat!” Awan berteriak tegas agar lebih cepat ditangani.
Dada Awan bergemuruh hebat, membayangkan betapa sakitnya kaki yang hancur dengan tulang yang keluar dari tempatnya. Tatapan gadis itu seakan berkata ingin menyerah dengan hidupnya.
Secepat dan sebisa mungkin Awan melakukan operasi terhadap kaki gadis pemilik berambut hitam panjang itu. Walaupun akhirnya kaki itu harus diamputasi tapi Awan lega dapat menyelamatkan wanita itu dari maut.
Ada rasa haru dan puas atas kerjanya hingga Awan bersimpuh bersyukur pada Allah SWT yang membantunya hingga bisa melakukan pekerjaannya dengan sempurna.
***
Hari berikutnya Awan datang berkunjung ke beberapa kamar pasien yang ditanganinya. Kini, wajah wanita itu terlihat lebih baik, tidak ada lagi gurat kecewa dan sisa air mata walaupun ia tahu kalau harus kehilangan salah satu kakinya untuk diamputasi.
Wanita itu tersenyum dan berkata, “Terima kasih, Dokter. Terima kasih sudah menolong saya.”
“Itu sudah tugasku, Rinai.” Awan menatap kedua bola mata wanita itu dengan haru. Ada rasa rindu yang tergambar jelas dari wajahnya.
Wanita itu terkejut tidak menyangka kalau Awan masih mengingatnya setelah sekian lama tidak bertemu. Awan mengetahui hanya dari omongan orang-orang yang lalu lalang tanpa tahu keberadaan Rinai. Yang pasti orang tuanya bercerai hingga membawa Rinai jauh entah ke mana.
“Akhirnya kita bertemu,” ucap Awan dengan haru.
“Maafkan aku tidak memberitahumu, aku pergi dan tidak memberi kabar. Tentang janji kita, lupakan saja. Tidak mungkin kau mau menikahi gadis yang kehilangan kakinya.”
“Kau memaksaku untuk berjanji bukan? Kini bolehkah aku memaksamu untuk menikah denganku?”
Kali ini mata wanita itu basah karena haru.(*)
Cahaya Fadillah, penyuka Awan, pecinta hujan. Suka membaca cerpen tapi selalu kesulitan bagaimana cara untuk menuangkannya.
Tantangan Lokit 6 adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata