Jalan —Tidak Berlari
Oleh: Mudaro_kun
Di antara kehidupan yang berjalan, akan ada sebuah titik ketika si buta mulai mencari mata. Apa pun akan dilakukannya ketika rasa serakah menjadi pembimbing di antara gelapnya dunia. Pembalasan juga pembantaian akan menjadi hidangan sehari-hari. Di hari itu, si buntung akan berhenti berlari.
Ia dilahirkan sebagai seorang monster. Tubuh hitam legam. Tanpa mulut, telinga, dan mata. Gereja bahkan menolak membaptisnya, sebelum kemudian mereka memasukkan selang ke dalam lubang di bawah tubuhnya sehingga paling tidak ia bisa makan.
Sepuluh tahun kemudian, saudarinya menikah. Umay dan Deniall berjodoh saat hidupnya berada di ujung tanduk. Gereja memutus selangnya, sedangkan ia beserta keluarga tak mampu berbuat apa-apa. Saat itulah mereka datang. Di bawah pengaruh iblis, mereka mengetuk pintu rumahnya dengan wajah gembira. Menawarkan donor mulut juga telinga.
Perjanjian terkutuk dengan Lucifer mereka lakukan di altar merah. Kontrak terlarang yang menyisakan dua lubang di wajahnya dan mengambil dua tangan dari bayi dalam kandungan saudarinya, tanpa pernah bisa digantikan oleh apa pun juga.
Dunia menjadi luar biasa baginya setelah ritual selesai. Harta, tahta, wanita. Ia mendapatkan segalanya dalam hidup. Namun, sesungguhnya ia telah lari dari kenyataan. Menggunakan jalan pintas menuju sesuatu yang tak harusnya ia tuju. Pandangannya semakin gelap. Lubang itu bergerak menuju hati nuraninya. Membutakan satu-satunya petunjuk tersisa dalam hidup seorang Mulpray. Ia kehilangan arah.
Di titik ini, sebuah ramalan menghampirinya. Memberinya alasan untuk bergerak dan melepas belenggu takdir. Menembus keniscayaan. Ia mengadu ramalan dalam Bibel khusus dari Keuskupan Agung bernomor tiga belas itu dengan kutukan demi kutukan dalam dirinya. Pada akhirnya, yang ia butuhkan adalah pengakuan dari surga sendiri.
Manusia berlari. Dari kenyataan, dari waktu, dari takdir yang sesungguhnya akan terus mengejar. Manusia berlari karena mereka takut. Atas izinmu Tuanku, wahai Malaikat yang ‘Diusir Surga’, jadilah saksi atas aku, seorang anak Adam yang berjalan menuju kenyataan meski bayangan membekas gelap di kejauhan.
Dan ramalan langit pun mulai terpenuhi.
***
Ada satu hal yang harus kau perhatikan dalam hidup ini.
Berjalan—jangan berlari.
Cukup jalani. Cukup dengan tidak melawan, sebab kau tak punya persenjataan.
Jalan. Lewatilah bara, es, kerikil, duri, dan takdir yang akan membawamu pergi.
Ingat pesanku baik-baik.
Suara itu bergema dalam kepala. Menyuruhku bangun. Sebuah memori masa lalu. Ibu yang mengatakannya dulu. Dulu sekali, sampai aku tak bisa mengingat kapan terakhir kali ia berbicara.
Oh ya, ibuku tak bisa bicara. Beliau memberikan suaranya padaku, kata Ayah suatu ketika ia mendengar dari Nenek. Ia selalu menasihatiku untuk terus memberi seperti yang dilakukan Ibu. Apa pun itu, meski hanya sedikit sekali, tapi bermakna besar dengan sebuah kata rela. Ayah memang luar biasa dengan mengatakan hal seperti itu, tapi ia tak pernah bicara masalah perjalanan, atau tentang hidup, atau berkata-kata bijak seperti normalnya hubungan sesama laki-laki di keluarga. Pria itu hanya berbicara apa adanya.
Sayangnya, Ayah juga tidak bisa mendengar. Jadilah selama ini kami berkomunikasi lewat tulisan dan bahasa isyarat, dengan aku yang mati-matian berusaha menulis menggunakan kaki. Mengerikan? Tidak juga. Mau bagaimanapun ceritanya, inilah cara kami hidup.
Terlepas dari benar atau tidaknya itu semua, sebagai remaja, aku terus bertanya-tanya siapa yang harus dipercaya. Aku mulai bergumam dengan mata terpejam. Apakah hari ini waktu yang tepat? Mungkin saja. Mungkin saja sudah giliranku membuka mata. Memperoleh jawaban atas sesuatu yang aku sendiri tidak tahu asal mulanya.
Namun, ketika sudah terlihat oleh kepala ada apa di pelupuk mata sana, aku justru menyaksikan neraka. Neraka yang sangat hidup. Ada api. Ada mayat. Ada orang menjerit-jerit. Dan yang paling mencengangkan, di sana, di tengah lingkaran merah darah, ada malaikat maut membawa sabit.
Aku memperhatikannya khidmat membaca bait-bait berbahasa Ibrani di atas altar rumah kami. Sejurus kemudian, kurasakan pandangannya tepat menembus wajahku. Pandangan itu benar-benar kosong. Sekosong kedua lubang yang menyaksikanku berdiri gemetar di balik tirai. Saat itu aku sadar. Aku harus pergi.
***
Kau tak pernah butuh tangan untuk dapat hidup dan menghidupi dirimu sendiri. Tak seorang pun mengatakannya. Kecuali kau menanyakan kaki, itu adalah cerita lain. Kaki bisa membawa kita pergi meski bahaya nyata di depan mata. Hidup adalah sebuah perjalanan, dan setiap perjalanan membutuhkan kaki untuk melangkah.
Hiduplah demi momen-momen luar biasa di depan sana. Tetaplah bernapas demi perjalanan kita, Nak.
Khayalanku terbang entah ke mana sepersekian detik lalu saat mengambil langkah mundur. Menyembunyikan diri, dan berharap semua ini tak pernah terjadi. Memastikan kedua mata agar tetap terbuka sampai polisi tiba.
Polisi? Entahlah, mungkin terdengar seperti lelucon aku memikirkannya ketika dua puluh detik sebelumnya beberapa dari mereka kulihat tergeletak santai dengan darah dari ujung kuku hingga ujung rambut.
“Dunia memang penuh dengan lelucon, Nak. Ada apa? Apakah kau belum terbiasa?”
Suara berat itu terdengar sangat tepat dengan isi kepalaku, seolah yang mengucapkannya mampu membaca pikiran. Paman Mulpray berjalan ringan melewati genangan darah sambil menenteng sabit seukuran tubuhnya sendiri. Tak biasanya kulihat ia memakai jubah hitam seperti sekarang ini. Mungkin pakaian khas sekte yang ia ikuti secara rahasia di belakang keluarga kami. Ia tidak pernah mau pergi ke gereja bersama-sama di hari Minggu, jadi sejauh bisa kusimpulkan Paman terlibat sesuatu yang melibatkan hajat hidup dan mati atas orang banyak.
“Bukankah wajar menjadi munafik di dunia kita? Seumur hidup, aku telah berusaha keras untuk menyenangkan hati orang-orang yang tinggal tubuhnya saja di altar sana. Apakah salah jika aku meminta sesuatu dari mereka? Sedikit pengkhianatan bukanlah hal yang buruk, Nak.” Ia kembali meracau. Posisinya semakin dekat denganku.
“Kenapa aku mengejarmu? Sederhana sekali. Aku lapar, hanya itu. Harta, tahta, dan tentu saja, mata. Mungkin lebih baik kau pikirkan tawaran untuk menyerahkan saja kedua permata di wajahmu itu, maka hal-hal akan menjadi lebih mudah.”
Mata? Bukankah itu berarti ….
Aku menendang sebongkah batu kecil ke arahnya. Meleset, tetapi pandangan kosong pamanku cukup teralihkan.
Aku menendang lebih banyak batu. Perjalanan kumulai kembali dengan langkah sesunyi malam.
***
“Sedih rasanya melihat kau merangkak tak berdaya seperti itu. Ya ampun, seandainya saja aku bisa melihat.”
Aku meringis. Antara tak tahan melihat seringai di wajah buruk rupa Paman Mulpray dan berusaha sekuat tenaga merelakan tajamnya pecahan kaca serta duri menusuk masuk ke dalam kulitku. Luka berdarah ada di mana-mana, kecuali di tanganku. Tentu saja, karena aku tak punya.
Sebelumnya, langkahku berubah menjadi pelarian karena orang ini bergerak sangat cepat. Keempat indranya begitu peka terhadap keadaan. Memberikan penglihatan luar biasa dari sentuhan, suara, aroma, bahkan rasa. Aku sempat melihatnya menjilat lantai beberapa kali, hingga sampai di titik tertingginya. Mengubah konsep dari ‘melihat’ itu sendiri.
“Akan ada sebuah titik di mana semua jawaban akan terbuka. Yakinkah kau untuk menerimanya? Menerima kenyataan bahwa bahkan hidupmu sendiri dipenuhi kebohongan?”
“Bo … bohong? Apa … maksudnya?” Aku memberanikan diri buka suara.
“Biar kujelaskan. Ibumu bisu karena aku mengambil suaranya. Ayahmu tuli karena ia menyerahkan telinganya, tentu saja dengan paksaan. Lalu, ke mana kita? Apakah kita cacat tanpa alasan?”
Aku masih memperhatikannya sembari terus menghitung risiko. Sepasang mata dan kaki. Itulah yang aku punya sekarang. Jelas saja posisi kami jauh dari kata seimbang. Aku hanya bisa berjalan. Berlari tidak dihitung karena merupakan sebuah kesalahan fatal yang mengantarkanku pada situasi serahkan-atau-mati ini.
“Tidak, Nak. Takdir mengikat kita oleh sebuah kutukan. Kutukan itu hanya bisa dipatahkan oleh ramalan itu. Tentang si buta yang membantai dan si buntung yang berhenti berlari.”
Ia mendekatiku dan berbisik, “Perjalananmu selesai, Nak. Sekarang, serahkan sebagian dari pengelihatanmu untuk hidup dalam kekosongan di dalam lubang mataku ini.”
“ARGH!”
“TIDAK!”
Hanya ada dua jeritan saat itu, salah satunya milikku. Setelahnya, semua terasa gelap.
***
Aku membuka mata. Tak lagi kulihat apa-apa. Hanya hitam dan kehampaan tanpa batas sepanjang mata memandang. Sesekali masih terasa perihnya serpihan kaca yang tersangkut dan mengoyak nadi di pembuluh bagian dalam. Kepalaku juga sepertinya masih belum sembuh dari vertigo setelah aku membantingnya belasan kali tepat menuju lantai.
Apa yang terjadi hari itu? Tidak ada. Aku hanya membiarkan Paman bunuh diri atas kegagalannya mendapatkan mataku—yang sengaja kurusak dengan pecahan kaca demi kepentingan kami semua di saat-saat paling krusial. Pada akhirnya, ia memakan kutukannya sendiri.
Lari tidak akan membuahkan apa-apa. Cukuplah bagiku berjalan saja. Tapi, hei, sepertinya aku salah melangkah. Aku tak lagi bisa merasakan tanah keras di bawahku. Hanya ada udara kosong.
Inikah jurang yang selalu diingatkan Ayah untuk tidak bermain-main di dekatnya? Entahlah. Toh aku tidak terlalu peduli lagi jika perjalananku berakhir di sini.
Tubuhku jatuh tanpa daya.(*)
Seorang kreator seni bernama Muhammad Da’i Kuncoro atau Mudaro_kun sebagai nama pena. Tinggal di Medan, saat ini menjadi pelajar di MAN 2 Model Medan. Hobi menonton film dan diskusi terbuka
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata