Innocent Bos
Oleh: R Herlina Sari
Part 10
“Kamu direkomendasikan untuk menjadi sekretaris CEO baru,” kata Bu Sherly, sesaat setelah aku memasuki ruangannya.
Bagai disambar halilintar, kabar yang aku dengar cukup mengejutkan. Pasalnya aku tak pernah berusaha untuk menonjolkan diri atau pun lainnya. Namun, bagaimana mungkin ini semua terjadi? Menjadi sekretaris CEO itu bukan perkara yang mudah.
“Saya tak punya pengalaman menjadi sekretaris, ‘kan, Bu? Lagian saya masih baru di perusahaan ini. Apa tidak akan menimbulkan rasa iri pegawai lama?” tanyaku dengan nada sopan.
“CEO baru yang memilihmu. Saya pun tak bisa menolak, Shera. Kamu tenang saja. Gaji akan menyesuaikan sesuai jabatan. Cukup itu saja informasi yang kamu terima. Untuk berkas pengangkatan, menyusul setelah masa jabatan CEO baru di mulai.”
“Apa saya tidak bisa menolak?” tanyaku.
“Saya lebih nyaman di bagian saya yang sekarang,” lanjutku, mencoba meyakinkan.
“Tidak. Itu sudah keputusan final.”
Huft! Mengapa kesialan demi kesialan terjadi dalam hidup ini.
Aku kembali terdiam. Kabar yang aku dengar sungguh memporak-porandakan hati. Bagaimana bisa seorang sarjana ekonomi harus beralih peran menjadi sekretaris? Terlebih belum ada sebulan aku bekerja di kantor ini. Damn it! Untuk orang yang seenak jidat mempromosikan diriku. Satu pertanyaan muncul dalam benakku. Siapa CEO baru perusahaan ini? Hingga dia memilihku menjadi sekretarisnya. Apakah seseorang yang aku kenal? Atau … ah memikirkannya saja membuat otakku gila.
“Kenapa kamu, Sher?” Suara bariton kembali terdengar. Aku tersentak. Kaget. Lagi-lagi Pak Nala muncul begitu saja bagai hantu. Tak kudengar langkah kakinya. Seakan-akan dia melayang. Padahal, sepatu pantofel yang dia kenakan seharusnya menimbulkan bunyi yang tidak pelan. Ah … sudahlah.
“Tidak ada, Pak,” jawabku. Aku segera meraih bolpen dan berusaha mencoret-coret kertas agar terlihat sedang bekerja. Padahal itu hanya alibi karena kepergok melamun. Bisa-bisa potong gaji.
***
Satu bulan pun berlalu. Aku mulai melupakan promosi perubahan posisi. Hari ini senyum mulai mengembang karena waktu gajian telah datang. Kubuka akun bank dengan jantung berdebar-debar. Pasalnya ini adalah gajian pertama di perusahaan besar yang nominalnya tak bisa aku bayangkan. Aku memekik saat melihat angka-angka itu muncul di dalam layar. Ah, begini rasanya saat mendapatkan gaji yang lumayan besar. Tiba-tiba otakku berkelana untuk memulai rencana berbelanja yang sudah beberapa bulan ini urung kulakukan. Aku tersenyum lebar, membayangkan betapa Emak akan bahagia saat diberi sedikit tambahan untuk membayar kredit panci.
Aku pun bisa menyenangkan diri, ke salon, misalnya. Atau belanja baju kerja yang baru. Sudah gajian tentu penampilanku harus lebih baik lagi. Atau travelling ke kota-kota terdekat. Tidak usah jauh-jauh, ke Gresik atau Tuban yang tidak memerlukan waktu lama di perjalanan. Bisa refreshing di hari Minggu. Selain menenangkan diri juga bisa me-refresh otak setelah dipaksa berpikir dalam waktu seminggu. Sudah banyak rencana-rencana yang ingin aku lakukan.
“Cie yang gajian pertama,” goda Raka. Entah bagaimana ceritanya cowok tengil itu sudah duduk di kursi kebanggaanku.
“Kamu juga, ‘kan? Ingat kita masuk kerja di sini barengan! Kalau kamu lupa.” Aku mengingatkan. Otakku berputar dan meminta traktiran. “Minggu ini kamu wajib traktir aku di hotpot Basrah. Aku tak terima penolakan,” ucapku.
Raka hanya tersenyum getir. “Kamu sering aku belikan makanan saat kelaperan, jika kamu lupa,” seringainya. Kemudian dia kabur. Berlari dengan kecepatan cahaya.
“Dasar!” Aku bergumam sambil tersenyum.
“Kenapa kamu senyum-senyum,” selidik Pak Nala. Aku mendongak ternyata pria itu sudah berdiri di depan meja sambil menaruh kedua tangan di saku celananya.
“Baru gajian, Pak. Alhamdulillah,” jawabku.
“Jadi? Kapan kamu traktir saya makan hotpot?” tanya Pak Nala. Alisnya naik satu dengan pandangan yang menusuk tajam.
Apakah orang satu ini mendengar seluruh percakapanku dengan Raka? Apa yang harus aku katakan jika aku tak mau mentraktir lelaki itu. Jika iya, bisa dipastikan kalau akan ada neraka yang datang. Pekerjaan lebih yang lebih banyak, misalnya.
“Saya tunggu jawabannya di ruangan,” ucap Pak Nala sambil berlalu. Dia berjalan perlahan tanpa berniat untuk menoleh ke arahku. Aku hanya memerhatikan dari belakang. Punggung tegapnya sangat cocok untuk dijadikan sandaran. Plak! Kembali pada kenyataan, Shera.
Setelah aku menyelesaikan beberapa berkas dan pekerjaan yang sempat tertunda, ketika jam sudah menunjukkan pukul 11.30 aku beranjak dan menuju ruangan Pak Nala.
Kuketuk pintu kaca dengan tutup gorden abu-abu tua itu beberapa kali. Namun, tak ada sahutan dari dalam. Kuketuk lagi dengan lebih keras. Namun, tetap tidak ada jawaban.
Aku penasaran, kubuka pintu yang ternyata tak terkunci dari dalam. Pak Nala sedang duduk memandangi laptonya dengan tangan yang memegang dahi. Kupandangi sejenak, tetapi lelaki itu masih bergeming. Seolah-olah dia terlalu larut akan kegiatannya. Namun, dilihat seperti ini Pak Nala seribu kali lebih baik. Dia bukan lagi bos galak dan sedingin es. Jika serius seperti ini, terlihat cukup tampan.
Kulihat Pak Nala melirik sebentar dan tetap diam lalu kembali menatap monitor laptop. Aku berjalan mendekat secara perlahan. Namun, Pak Nala masih saja memandangi laptopnya. Aku jadi penasaran, sebenarnya apa yang lelaki itu kerjakan hingga acuhkan kedatanganku seperti ini. Aku tak berani mendekat, hanya melihatnya dari depan dan memutuskan untuk duduk di kursi walaupun tanpa disuruh.
Aku tak menyia-nyiakan pemandangan di depan yang cukup menyegarkan. Wajah tampannya sedikit bertekuk, yang membuat rahang kokohnya sedikit lebih tegas. Bibirnya yang tipis sungguh menawan kala menyunggingkan sebuah senyuman. Rambutnya masih kaku karena pomade. Kali ini Pak Nala mengenakan kemeja biru muda yang terlipat hingga ke siku. Memperlihatkan otot-otot kekar saat menopang dagu. Matanya tampak santai saat memperhatikan layar monitor. Sungguh kontras dengan tatapannya yang biasanya menggoda, sinis, tajam, menakutkan di waktu yang bersamaan. Saat ini hanya ada sorot mata yang cukup menenangkan.
Aku cukup lama menunggu, tapi yang kunanti masih berdiam diri. Bodohnya aku tak mampu untuk menegur lebih dulu. Tak berani, lebih tepatnya.
Ini adalah vitamin terbaik hari ini, aku bahkan lupa jika saat ini harus memberi jawaban tentang traktiran hotpot. Apakah aku mulai terpesona dengan bos kejam di depan mataku ini? Entahlah.
“Udah mandangnya? Semenit lagi bayar, loh,” tanya lelaki es itu tanpa mengalihkan tatapan dari layar monitor.
Aku mencebik, tetapi tak urung kemudian tersenyum. Sebenarnya aku malu saat tertangkap basah seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi pemandangan ini tak mungkin kutemukan sehari-hari
“Besok kita pindah kantor,” ucapnya.
Hah! Pindah kantor? Aku tidak salah dengar? Kok tiba-tiba?
“Apa, Pak? Bagaimana bisa? Saya belum mengundurkan diri, loh. Masih sayang dengan uang gaji yang lumayan tinggi,” ucapku. Masih mengira itu hanya candaan belaka.
Lagi-lagi lelaki itu tak melirik. Masih fokus pada layar di depannya.
“Bapak ini nonton apaan, sih? Kok asik bener sampai ada wanita cantik dicuekin. Ini sudah jam istirahat, loh. Waktunya makan siang. Katanya pak Nala ingin ditraktir hotpot. Ayok nanti telat masuknya.” Aku cemberut dan lapar di saat yang bersamaan.
“Kamu lebih cantik kalau sedang cemberut gitu. Tapi aku serius. Besok kita pindah kantor,” ucapnya. “Kamu tunggu aja di sini. Sebentar lagi pesanan makan siang saya akan segera datang. Kita makan bersama lagi, saya mau lanjut ini sebentar,” lanjutnya.
Aku gemas, segera berdiri dan menuju ke arah Pak Nala yang serius dan menopang dagu. Saat aku melihat apa yang sedang dikerjakan Pak Nala. Aku termangu, antara yakin dan tak yakin.
Astaga sia-sia aku menantinya. Kukira ada pekerjaan yang tak bisa ditunda. Ternyata hal konyol yang membuat sakit kepala. Pak Nala nyengir.
Dia main domino!
Bersambung ….
RHS, wanita penyuka hujan, senja, dan lumba-lumba.
Editor: Imas Hanifah N