Ingatan Samar, Pagi yang Berulang, dan Perempuan Bernama Anne – I
Reza Agustin
Saya terbangun pada pukul tujuh seperti biasa, berjalan ke kamar mandi dengan langkah gontai, lalu membasuh muka. Kantung mata hitam yang tebal, jejak-jejak air liur di sudut bibir, dan wajah sendu yang tak mampu terbilas air. Setelah menggosok gigi dan mencuci muka dengan sabun wajah, saya berjalan ke dapur, mengambil selembar roti, mengolesinya dengan mentega, lalu dimasukkan ke dalam pemanggang, dan menyeduh kopi hitam. Harusnya akhir pekan saya tenang kalau saja bantingan pintu itu tidak datang dan seorang perempuan muda, mantan pacar saya.
“Kau keparat! Bisa-bisanya kau pakai uang yang sudah aku kumpulkan mati-matian untuk membeli tongkat golf sialan! Kembalikan uangku!” Ia menjerit, lalu tanpa aba-aba menerjang tubuh saya hingga terjungkal dari kursi.
“Aku bisa jelaskan, tolong jangan lakukan hal seperti ini!”
“Dasar bedebah! Kaupikir setelah menipuku, lalu mau kabur! Kau bukan hanya menipuku, kan! Kau juga menipu perempuan-perempuan lain yang kamu temui di kelab malam! Bajingan ini benar-benar keterlaluan! Pokoknya aku tidak mau tahu, kau harus ganti uangku!” Sebuah pisau belati besar dikeluarkan dari kantung mantelnya. Pisau yang berkilat-kilat, menunjukkan seberapa tajamnya benda itu jika mengoyak kulit.
“Iya, iya, aku akan ganti. Tapi sebaiknya kamu bangun dulu, biar aku ambilkan uangnya!”
Saya bangun, tapi dia tidak ada niatan melepaskan saya. Pisau itu ditodongkan di belakang punggung saya, sebagai peringatan kalau ia selalu mengawasi dan jangan sampai terjadi perbuatan mencurigakan. Kabur atau melawan misalnya. Namun, ia mantan pacar saya yang superceroboh. Memegang pisau setajam itu hanya akan berbahaya bagi kami berdua. Seperti saat ia tidak sengaja membakar taplak meja saat makan malam berhiaskan cahaya lilin atau ketika memasak, kompornya lupa dimatikan hingga masakannya gosong.
Memasuki kamar saya yang dipenuhi kabel-kabel yang berhubungan dengan komputer. Ia bukannya berhati-hati malah berjalan serampangan. Tak lupakah ia sering tersandung di sini?
“Hati-hati, jangan sampai tersandung. Bahaya.” Saya menegur, tapi ia berdecak tidak senang.
“Aku akan baik-baik saja kalau jatuh.”
Tentu saja bukan dia masalahnya. Dia masih menodongkan pisau di punggung saya. Ia tersandung dan jatuh ke sisi lain tak apa, bagaimana jika dia jatuh ke—“
“Ahhh!”
—depan.
Ia menjerit, bersamaan dengan jeritan saya pula. Juga pisau belati yang menusuk punggung saya.
***
Saya terbangun pada pukul tujuh seperti biasa, berjalan ke kamar mandi dengan langkah gontai, lalu membasuh muka. Kantung mata hitam yang tebal, jejak-jejak air liur di sudut bibir, dan wajah sendu yang tak mampu terbilas air. Setelah menggosok gigi dan mencuci muka dengan sabun wajah, saya berjalan ke dapur, mengambil selembar roti, mengolesinya dengan mentega, lalu—
Tunggu, sepertinya saya pernah mengalami aktivitas seperti ini. Itu adalah rutinitas pagi yang selalu sama. Mencuci muka, menggosok gigi lalu sarapan. Namun, denyutan familier di punggung itu menahan saya meneruskan memasak. Saya buru-buru berlari ke kamar dan menepikan kabel-kabel yang menghalangi lantai. Sebelum mengambil uang yang tersimpan di laci, pintu rumah saya dibanting keras.
Ah, itu benar mantan pacar saya. Dengan pakaian yang sama seperti terakhir kali kepala saya mengingat.
“Kau keparat! Bisa-bisanya kau pakai uang yang sudah aku kumpulkan mati-matian untuk membeli tongkat golf sialan! Kembalikan uangku!”
Ia berlari menerjang ke arah saya, untungnya belum mengeluarkan pisau. Namun, saya lupa di antara kabel-kabel yang saya rapikan tadi, ada yang bagiannya mengelupas. Ketika ia menerjang tubuh saya dengan keras, sebuah gelas air jatuh dari meja dan mengenai kabel terkelupas tersebut. Lalu percikan listrik besar mengenai kami.
***
Saya terbangun pada pukul tujuh seperti biasa, berjalan ke kamar mandi dengan langkah gontai, lalu membasuh muka. Kantung mata hitam yang tebal, jejak-jejak air liur di sudut bibir, dan wajah sendu yang tak mampu terbilas—sialan. Rasanya seluruh tubuh saya seperti disengat listrik dan denyutan aneh di punggung itu langsung menusuk-nusuk. Rasa sakit dua kali yang mengerikan.
Lupakan membasuh muka dengan benar. Saya mematikan computer saya lalu buru-buru mengeluarkan uang sejumlah tongkat golf saya yang baru. Saya letakkan uang itu meja sembari menunggu mantan pacar saya. Saya memiliki waktu lebih lama untuk berpikir. Kalau saja uang itu saya kembalikan, mungkin takdir kematian itu tak akan menghampiri. Tunggu, berapa jumlah uang yang dimaksud mantan pacar saya?
Saya baru ingat juga, kenapa setiap berbicara dengan mantan pacar saya, saya justru menyebut ‘aku’ padahal biasanya menggunakan ‘saya’ kendati bersama dengan orang yang dekat. Lalu, ingatan tentang kelab malam, uang yang diambil, dan tongkat golf itu benar-benar samar. Seolah memang tidak menjadi bagian dari ingatan saya. Lalu, saya ini siapa? Saya jadi tidak bisa mengenali diri sendiri.
Saya.
Aku.
Saya.
Aku.
Saya!
Ini bukan tubuh saya kalau begitu!
Semenjak bangun, terlalu banyak hal terjadi. Mantan pacar saya, ya, perempuan itu adalah mantan pacar saya. Tapi ia tak pernah berbicara sekotor itu. Apalagi membawa-bawa senjata tajam. Ia adalah perempuan lemah lembut yang bahkan tidak bisa membentak kucing. Namun, ia bisa mendobrak pintu seolah-olah memiliki kunci rumah atau punya keahlian merusaknya.
Lalu, rumah ini memang benar rumah saya. Rumah yang sudah dihuni selama sepuluh tahun sejak orang tua saya meninggal dunia karena kecelakaan.
“Tim, kamu harus jadi kakak yang baik bagi Jim, ya. Ia mungkin nakal, tapi ia adalah adik yang harus kamu lindungi, mengerti?”
Tim? Jim? Apakah saya ini Jim atau Tim?
“Kau keparat! Bisa-bisanya kau pakai uang yang sudah aku kumpulkan mati-matian untuk membeli tongkat golf sialan! Kembalikan uangku!” Mantan pacar saya kembali.
Saya terhenti lalu menatapnya kosong. “Apa menurut Anda saya ini Jim atau Tim?”
Pertanyaan itu meninggalkan ekspresi kosong di wajah ayunya. Pisau yang tergenggam di tangan meluncur ke lantai. Ia menendang pisau itu menjauh sebelum menghambur ke arah saya. Kali ini ia memeluk dengan erat dan hangat. Air mata yang luruh di wajahnya menandakan banyak hal. Mungkin rindu, tidak percaya, atau bahagia. Entahlah.
“Akhirnya kamu kembali Timothy.”
Jadi saya adalah Tim.
“Lalu kamu siapa? Saya mengenali kamu sebagai mantan pacar saya. Tapi sepertinya kamu juga pacar dari pemilik tubuh ini, apakah tubuh ini milik Jim?”
“Butuh waktu lama untuk menjelaskan, Tim. Izinkan aku bernapas sebentar. Jika kamu mau aku menguraikan semuanya, akan butuh waktu lama—“
Gemuruh besar dari perutnya menjeda kalimat. Ia merona malu dan saya terkekeh. “Saya ingat pernah memasakkan aglio olio untukmu.”
“Tapi tidak dengan Jim. Ia tidak pernah masak sendiri dan selalu menyetok minuman beralkohol di sini.”
“Oh, jadi ini rumahnya Jim. Hanya Jim seorang. Padahal saya ingat kalau saya bertahun-tahun tinggal di sini semenjak orang tua saya meninggal dunia.”
“Anne.”
Satu kata yang mewakili namanya bukanlah sebuah jawaban. Ia lantan meneruskan, “Kamu selalu memanggil aku dengan sebutan Anne. Jangan sebut mantan pacar lagi.”
“Jadi Anne … pertanyaan saya yang tadi—“
“Aku tidak bisa jawab kalau perutku dalam keadaan lapar. Setidaknya aku harus makan dulu untuk bercerita.”
“Lantas, kamu mau apa? Kamu sendiri yang bilang tak ada bahan makanan di sini.”
“Tapi di supermarket selalu ada.”
“Kau mau kita keluar rumah padahal masalah di antara kita belum tuntas?”
Pada akhirnya saya memesan paket sarapan pagi dengan sistem pengantaran. Anne mungkin orang kaukasia, tapi seleranya makanan Tiongkok. Saya jadi memesan dua paket pangsit hangat dan mi tumis pedas. Kendati tubuh Anne mungil, ia adalah mesin penyedot. Bahkan pangsitnya sudah berkurang separuh ketika saya baru menelan pangsit pertama. Dan ia masih mengeluh lapar setelahnya.
“Aku akan cerita sedikit soal kalian berdua. Jim dan Tim. James dan Timothy, kalian adalah anak kesayangan keluarga ini. Sepuluh tahun yang lalu, ketika kalian berdua berusia enam belas, orang tua kalian meninggal dunia. Mereka bukan orang kaya raya sampai kalian bisa mandi uang seperti di—“
“Saya sudah tahu itu, Anne. Tapi bukan itu masalahnya. Saya ingin kamu membantu saya menjawab semua pertanyaan-pertanyaan itu.”
“Sekarang bisa kamu sebutkan satu-satu. Aku tidak bisa menjelaskannya padamu kalau pertanyaan darimu saja tidak jelas begitu.” Ia menyilangkan kedua tangan di depan dada, dagingnya yang berlebih memberikan jawaban ke mana semua makanan dalam jumlah banyak itu lari.
“Terlalu banyak hal yang mengusik, saya tak bisa menuturkannya satu-satu.”
“Sayang sekali. Hari ini aku ada pekerjaan. Tuliskan semua pertanyaanmu, lalu kita bertemu lagi di esok hari. Aku sibuk,” ujarnya tiba-tiba.
“Tapi ….”
“Anggap saja kita akan berkencan.”
Ia berkata demikian, padahal kami tidak pacaran. Saya pun disuruh memanggilnya Anne. Padahal ingatan tentang perempuan ini sendiri masih berkabut. Tapi ia juga kunci dari segala pertanyaan-pertanyaan yang berlarian dan membelit kepala itu. Ketika ia telah memberikan tawaran, saya harus bisa membelinya.
“Baik, esok hari. Kencan yang mendadak. Itu kalau hari akan berubah esok, bagaimana jika saya mengalami hari yang sama seperti hari ini?”
“Tidak, besok dunia akan berjalan lagi. Jangan cemas. Mari taruhan kalau tidak percaya.”
Pada akhirnya tawaran itu terbeli, transaksi tanpa uang. Hanya iya-iya saja dan jadwal untuk esok hari telah ditetapkan. Anne buru-buru bangkit dari kursi, mengalungkan tas di bahu, lalu meninggalkan pisau bermata tajam tadi di meja makan. Untuk jaminan dan penanda katanya. Ia pergi dengan wajah yang agak berbinar, tapi masih menyisakan mendung di kepala saya.
Sebenarnya, apa yang terjadi dengan pagi ini? Terlalu banyak hal berlarian dan bertubrukan di kepala sampai-sampai tidak tahu mana yang harus dipilah. Malam itu, sebelum tidur, saya merangkum segala hal yang terjadi ke dalam selembar kertas. Membacanya berulang-ulang, lantas mencari kertas lain untuk menulis pertanyaan. Dan ini akan menjadi daftar pertanyaan paling panjang yang pernah saya buat.
Anne sendiri adalah salah satu pertanyaan itu. Ia adalah bola energi besar misterius berwujud manusia. Ah, saya terlalu mengada-ada. Besok, semoga esok hari tak ada repetisi, saya terbangun pukul dan seterusnya.
Bersambung
Reza Agustin, sedang berusaha mengumpulkan uang banyak.