Kedatangan Bella malam itu, membuat bara api yang baru dalam dada pria tua. Auman singa, kalah telak menyaingi kegeramannya. Dia tahu, Bella telah melewati perbatasan teritori terlarangnya, dan pria tua tak ‘kan membiarkan hal itu lebih lama.
Bella gegabah, tak tahu bahwa ketika ia berjanji, hal itu akan menjadi pertaruhan terbesar antara hidup dan matI.
Siang akhirnya tiba. Mengendap-endap masuk ke dalam perangkap singa, Bella datang membawa saudaranya, Joseph, seorang Dokter Spesialis Tulang yang akan memeriksa sang raja nantinya.
Engsel pintu berderik menyatakan kehadiran mereka. Dia memekik kegirangan.
“Bagaimana keadaan kamu? Jangan takut, aku akan membebaskanmu.”
Bella menenangkan dia yang terlihat pucat pasi, tangannya menunjuk-nunjuk ke arah gabah padi yang menumpuk di ujung gubuk. Tak mengerti, mengapa pria cungkring itu bertingkah tidak biasa.
Dua nyamuk sekali tepuk, pikir pria tua. Keduanya tak menyadari, sepenuhnya fokus menghancurkan pasung yang melingkari kaki dia. Sesekali, keduanya terlihat berdebat tentang bagaimana caranya. Mungkin akan sakit, karena kulit lukanya sedikit menempel pada tandan kayu dan hal-hal seperti, apa akan parah jika mereka melakukannya.
Batu kali dipilih pria tua untuk mengakhiri keduanya. Diam-diam melangkah keluar tanpa suara. Semesta tiba-tiba senyap, terpatri pada kejadian ironik yang menggetarkan. Pekikan, suara kesiap, dan lengkingan tinggi merobek kesenyapan yang tercipta, menakuti serombongan kambing pemakan rumput di sebelah gubuk.
Embikan kambing perlahan mereda. Semesta kemudian kembali senyap.
Yang mereka tahu, hanya ada satu hal yang harus dikorbankan untuk mereguk keadilan yang sebenarnya.
Batu kali terjatuh bisu menjadi saksi. tidak ternoda. Batu yang lain menyusul dengan pekat anyir yang menempel manja. Tubuh besar si rambut putih berdebam, menaburkan jelaga debu berterbangan.
Raga bergetar dengan deru napas tak beraturan. Bibirnya berkomat-kamit merapal asa, semoga suaminya tak benar-benar mangkat sekarang juga. Wanita tua, dia mengenalnya. Sosok yang menghangatkan tubuhnya tatkala menggigil. Ibu peri pemberi susu hangat yang begitu baik di balik kacamata kuda miliknya.
“Cepat pergi dan bawa dia dari sini!” titah wanita tua.
Terlihat pergerakan kecil pada tubuh yang tergeletak lemah. Keduanya mengangguk, menggendong dia yang meronta-ronta. Wanita tua mendekati, mengelus puncak kepalanya, dan mengalungkan sesuatu.
“Ibu menyayangimu, ikutlah bersama mereka.”
Jangan berpikir dia mengerti. Hanya insting percaya yang membimbingnya untuk menuruti.
Ketiganya menjadi pelarian. Bella bahagia, mereka berhasil membawa dia pergi. Joseph tersenyum, melajukan mobil yang ia sembunyikan beberapa ratus meter jauhnya.
“Kita akan segera bebas. Kamu senang?”
Dia hanya terdiam, tidak tersenyum mau pun tertawa.
“Kenapa?”
Tangannya kembali menunjuk-nunjuk sabana ilalang di kejauhan.
“Kita akan segera ke sana setelah kamu diobati ya.”
Dia menatap Bella. Ada hal yang salah, pikirnya.
“Ja-ngan per-gi.”
“Kita harus pergi. Kamu ingin ke sana, bukan?”
“Ja-ngan per-gi.”
Bella memilih bungkam dan membiarkan dia berceloteh sesuka hati.
“Bel, mau minum?”
“Boleh.”
“Kita bisa berhenti sejenak, mungkin tidak apa.”
“Apa? Jangan! Mereka akan menangkap kita.”
“Tapi, kita sudah sampai.”
Bella melihat ke sekeliling, mengernyit bingung, karena mereka baru bergerak tak lebih jauh 800 meter dari tempat tadi. Hanya ada kebun-kebun tak terurus sejauh matanya memandang, sebelum satu per satu pria berstelan jas hitam yang kemudian bermunculan.
“Si-siapa mereka?!”
“Kamu salah. Bukan kita. Aku yang akan membebaskannya. Maafkan Kakak Bella. Kakak terpaksa melakukan ini.”
Bella merasakan pusing yang tak tertahankan. Airnya. Ia menatap tak percaya.
“Mengapa? Mengapa Kakak melakukan ini?!”
“Karena pria gila itu tidak seharusnya hidup! Dia adalah pewaris kerajaan terakhir di negara ini. Dan itu adalah kehancuran untuk keluarga kita.”
Bella mencoba bertahan. Ia membuka pintu dengan cepat, mencoba mengeluarkan dia sesegera mungkin.
“Percuma saja! Kita dikepung!”
Dilihatnya semakin banyak pria-pria itu berdatangan. Jumlahnya seperti ratusan. Pusing yang menderanya bagaikan angin yang berputar-putar. Bella limbung.
“Aku telah berjanji! Tolonglah, paling tidak, biarkan dia menikmati berada di tanah ilalang untuk terakhir kali.”
Gadis itu kemudian terjatuh, tertindih tubuh dia. “Te-pa-ti jan-ji.” Itu adalah kata-kata terakhirnya.
“Bel-la.” Dia mengguncang tubuh Bella yang tak lagi bergerak.
Joseph bergeming, menghela napas berat, dan mengangkat kedua tangan. Beberapa orang mendekat, dia bernegosiasi untuk suatu hal. Hanya lima menit, sedikitnya mereka mengizinkan.
Tubuh Bella ia letakkan di mobil. Jaketnya ia bawa menutupi tubuh dia, menggendongnya di belakang punggung menuju sabana ilalang yang dia idam-idamkan.
Dia yang tak pernah merasa kehangatan mentari, lembut belaian angin, basah dan keringnya rerumputan kering di bawah kaki, tertawa lebar untuk pertama kali.
Kaki tangannya bergerak-gerak. Joseph menurunkannya. Ia menyeret tubuhnya. Menghidu bau tanah, daun-daun kering yang berjatuhan, dan kenikmatan udara segar mengisi paru-paru.
Joseph membentaknya untuk menyudahi. Dia hanya punya waktu lima menit saja. Dia murung, tangannya meremas jaket milik Bella. Meraba-raba kesenangan saat menemukan sebuah mainan di dalamnya.
“Letakkan pistol itu! Jangan main-main!”
Dia mengingat bagaimana pria tua memainkannya dan menirunya. Joseph mendekat, hendak melumpuhkannya. Mereka berebut, namun kepakan sayap burung yang menjauh, menjadi sebuah pertanda, bahwa ada satu hal lagi yang harus dikorbankan untuk mereguk keadilan yang sebenarnya.
Tubuh Joseph mengejang, membuat dia terlonjak, dan membuang pistol dalam genggaman. Dia menyeret tubuhnya menjauh, namun kilauan senja lebih menarik hatinya.
Dia putuskan untuk merebah. Menikmati awan-awan berarak menyusuri langit orange, memberinya sebuah gambaran tentang kebahagiaan.
Di tempat berbeda, tembakan saling beradu terdengar. Di bagian yang tak terjamah, di tengah rerumputan ilalang itu ia ditemukan sebagai sebuah oase bagi kebangkitan imperial. Di tengah ilalang yang dulu hanya dapat ia lihat dari balik celah bambu, di sanalah awal dari kebebasan dan kehidupan yang sesungguhnya dimulai.
Dia tertawa, begitu riuh dendang pohon-pohon melambai, berkemeresak menenangkan, dan menyapa.
***
End
Heuladienacie
Penulis amatir penyuka coklat dan mie. Penyuka drakor ini bisa dihubungi di akun Wattpad, Ig, dan Line: @heuladienacie.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata